—Kamu terlalu percaya!
Petikan kata-katamu yang aku
dengar dari gagang telepon tadi siang. Ratusan detik berhamburan lewat speaker telepon butut yang usianya sama
dengan usia kita berdua. Tanpa jeda kamu memarahiku, karena untuk yang kesekian
kalinya kamu tak pernah bosan menasehatiku—Alifa.
Hampir tidak pernah ada kepercayaan dalam praktek
politik.
Aku juga
masih mengingat kata-katamu dahulu. Waktu aku kalah dalam proses pemilihan praktek
(ber)politik. Matamu merah menyala-nyala mirip mata kucing yang pakai softline. Barangkali sikapmu lebih
didasari pada realitas bahwa hampir segala hal yang ada dalam praktek politik
seakan menjadi sampah yang memuakkan. Rasanya, ada sejuta trauma dalam dirimu
atas satu nama—praktek politik. Hingga terkadang aku merasa heran mengapa dua title Sarjana Ilmu Politik dibelakang
namamu tak mampu menggugah sedikit pun hatimu hanya untuk sekedar akomodatif dengan—praktek
politik.
Terlepas dari
puluhan teori yang pernah kita diskusikan. Entah, mengapa sampai beberapa waktu
yang lalu aku masih menaruh kepercayaan atas nama barang yang bernama praktek
politik. Meski, dalam beberapa kejadian
selalu ada penghinatan—atau menghianati. Sungguh, aku tidak begitu pintar
masalah praktek politik ini, Alifa. Aku hanya mengerjakan apa yang aku bisa dan
menjalankan apa yang aku yakini. Karenanya, kepercayaan bagiku masih menjadi
senjata utama untuk bisa menafsirkan tentang praktek politik. Barangkali, aku
begitu bodoh bagi sebagian orang. Anggap saja itu hanya perbandingan atas
kepercayaan.
Kadang-kadang praktek politik menyisakan
rasa sakit hati ataupun senang. Maka, tak perlu engkau taruh senjata ‘kepercayaan’
pada keduanya.
Aku dan kamu
memang selalu punya persepsi yang berbeda dalam memahami praktek politik. Seakan
dalam praktek politik selalu memberi celah atas perbedaan. Perbedaan inilah
yang barangkali menyisakan persekongkolan, perselingkuhan—atau bahkan
persahabatan dan pertemanan.
Aku ingin melihat mahasiswa-mahasiswa. Jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis walau bagaimana kecilnya selalu didasarkankan pada prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka harus berani mengatakan benar sebagai kebenaran. Dan salah sebagai kesalahan dan tidak menerapkan kebenaran atas nama agama, ormas atau golongan apa pun!
Kira-kira
seperti itulah pesan seorang penulis yang idealis, demonstran, cakap dalam
berbagai hal dan selalu punya pandangan yang berbeda dalam melihat banyak hal
termasuk dalam praktek politik. Sayangnya dia mati muda—dan dinisannya tertulis
Soe Hok Gie
Maka, untuk
kali ini aku percaya dengan ungkapanmu; tak
perlu menaruh kepercayaan dalam praktek politik. Setidaknya, untuk kejadian
hari ini; aku bisa belajar untuk mengetahui bahwa bahwa praktek politik
membutuhkan kedewasaan.
Gambar klik (disini)
0 comments:
Posting Komentar