Hari kemarin—ada seorang teman
yang mengirimkan email ke saya terkait tulisan saya di Blog ini. Sebut saja
namanya Nona S.A. Tulisannya cukup banyak dan untuk memudahkan pernyataannya
barangkali saya perlu merangkumnya.
Aku belum terlalu berhasil mengabstraksi kenapa galau = lollipop.
Seperti yang sudah saya sampaikan
dalam beberapa pertemuan yang lalu. Galau, saya gambarkan seperti permin lollipop.
Model permen lollipop yang kebanyakan modelnya berpola garis memutar dengan
berbagai warna-warni yang bermacam-macam. Putaran itu mirip jalan yang tak mau
berujung. Hal ini menandakan Galau—merupakan situasi yang dengan sengaja kita ciptakan
dan kita nikmati secara terus menerus; juga nyaman. Misalnya, orang yang patah
hati dinikmati sedalam mungkin sakit hatinya hingga rasanya hidup terasa
kacau-balau. Dari sinilah galau menempatkan dirinya.
Galau berbeda dengan
gelisah—gelisah adalah hasil usaha yang sudah kita lakukan secara serius dan
berulang-ulang sampai akhirnya isi kepala pun terasa gerah akibat kegagalan
yang berulang-ulang. Gelisah bukan hal yang kita nikmati dalam perihnya hati
melainkan akibat ke-mandeg-kan
solusi. Tiap orang selalu punya cara untuk menyelesaikan lollipop galaunya—juga
gelisahnya. Lollipop hanya bentuk analogi Nona S.A; tidak lebih.
Dalam proses politik. Aku menduga, aku tidak terlalu punya posisi tawar karena aku perempuan. Benar memang harus selalu ada yang rela berkorban (jangan gunakan kalimat “dikorbankan”. Karena rela “berkorban” lebih terhormat).
Politik—kadang menjadi hal yang
menyakitkan atau bahkan menyenangkan dalam mencari kekuasaan (structural). Dan keberadaan
kaum perempuan dalam berpolitik saat ini bahkan bukan menjadi permasalahan yang
mencukup mendasar. Soal perempuan dipandang masih kaum minoritas barangkali hal
itu terjadi karena bebalnya budaya patriarkhi baik ditingkat social, budaya,
hokum—atau bahkan dalam politik. Padahal, peran perempuan pernah ditunjukkan
oleh Khadijah, Aisyah, Nyi Dahlan, Cut Nyak Dien, Kartini, Rosa Luxemburg, Marsinah
dan lainnya. Mereka perempuan yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam
putaran sejarah perjuangan kaum perempuan. Dan sedikit pun aku tak meraguinya. Jadi,
bagi saya anda tidak perlu menduga-duga dengan sesuatu yang justru memperlemah
anda sendiri—dalam berpolitik.
Dikorbankan—itu hanya bagian
bentuk ekspresi kata untuk menunjukkan atas situasi tertentu. Ismail harus
menjadi bagian yang harus dikorbankan untuk mengetahui sejauhmana rasa cinta
Ibrahim terhadap Tuhan. Bagi saya kalimat itu mempunyai arti yang dalam.
Menggerakkan sebagian orang untuk ikhlas menjadi tumbal kebaikan begitu juga
sebaliknya. Saya tidak meminta anda setuju dengan kalimat yang saya ungkapkan.
Sebab setiap orang selalu mempunyai banyak ekspresi untuk mengungkapkan sesuatu
yang hendak ia capai—dan jika anda memilih kata “berkorban” saya pun menghargai
apa yang menjadi keputusan anda.
“Aku berani menjamin atas nama-nama orang yang aku bawa” kata-katamu itu tidak dapat dipertanggung jawabkan sampai saat ini. Aku minta segara diklarifikasi dan dicabut. Karena itu melukai perasaanku. Sebenarnya, aku juga sakit hati saat aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi aku juga tidak bisa sendiri.
Sebelumnya maaf—sekiranya kata-kata
saya tersebut terasa tidak nyaman didingar dan berjalan sampai ulu hati. “Aku berani menjamin atas nama-nama orang
yang aku bawa” semoga anda masih ingat mengapa saya sampai mengeluarkan
kata-kata tersebut. Barangkali, kata-kata itu lahir ditengah pertarungan
politik yang jelas-jelas tidak menguntungkan sama sekali. Dan anda tahu kondisi saya pada saat itu bagaimana
keadaannya—hanya satu orang; dan itu saya sendiri.
Sampai tulisan ini saya tulis.
Tak ada keinginan saya sedikit pun untuk menarik kata-kata tersebut. Alasannya,
orang-orang yang saya bawa (baca; sahabat) dari 5 orang sudah tinggal 3 orang.
Mereka memundurkan diri secara tertulis dan itu sah secara administrasi seperti
yang sudah sama-sama kita pelajari dan kita pahami. Dalam wilayah kinerja, saya
mengakui 3 orang dari sahabat saya belum optimal—dan bukan tidak ada kinerja
apa-apa. Hingga pada akhirnya kita harus berfikir objektif dalam melihat
persoalan “apakah karya yang hasilkan
selama ini dan dari mana dia dilahirkan”. Terlebih, sampai saat ini kita sama-sama
masih belum bisa berbuat apa-apa yang mempunyai nilai lebih. Dan bukankah nilai
kinerja dan pengabdian tidak hanya dinilai dengan hadirnya rapat—melainkan apa
yang sudah diperbuat.
Barangkali, saya merasa perlu
mengucapkan “maaf” yang kedua jika
sekiranya klarifikasi dan harapan anda tidak saya penuhi. Sebagai pilihan
politik dan pengabdian; maka tidak elok jika saya harus paparkan semuanya dalam
tulisan ini.
Dalam suratmu yang berjudul Misteri Malam aku mengutip satu “Membangunkan setiap impian gila yang tak dipunyai banyak orang”. Ini benar-benar bukan soal suratmu untuk orang itu. Tapi karena imajinasi yang kamu bangun melalui kalimat itu yang membuat aku tergelitik. Aku ingin bertanya apa kamu sungguh-sungguh ingin membangunnya dengan siapa pun kamu akan berkeluarga? Atau itu sekedar omong kosong untuk candu pembaca. Atau hanya sekedar pemanis suratmu yang romantis? Aku mengakui terkesan dengan kalimat itu. Karena dikehidupan yang penuh dengan tuntutan, realistis, materialistis, kamu justru memiliki imajinasi seperti itu. Hehe..
Nona S.A. yang baik. Terima kasih
anda masih menyempatkan diri untuk membaca tulisan saya berikut dengan kritik
dan sarannya. Perlu di garisbawahi tulisan “Misteri Malam” itu dalam
prosesnya saya membutuhkan 2 hari untuk menulis dan sekitar 1 minggu untuk
mencari ide. Karenanya, saya berani mengatakan tulisan itu sebagai tulisan
paling romantis yang saya pahat selama ini—barangkali, inilah salah satu
kegilaan orang yang sedang jatuh cinta. Tulisan memang selalu mempunyai magnet
tertentu untuk menemukan objek pembacanya. Dan si penulis akan menemukan seribu
ide ketika ia terjebak dalam labirin ide.
Pertanyaan anda sungguh subjektif
Nona—selain penjelasan diatas. Objek dalam tulisan itu merupakan mantan kekasih
saya beberapa waktu yang lalu. Dan tulisan itu merupakan surat cinta yang saya
berikan untuknya. Sungguh saya benar-benar tidak tahu apakah ia tersentuh
dengan surat cinta itu atau tidak; sebab sampai kami bersepakat untuk
mengakhiri hubungan hal tersebut tidak pernah saya mempertanyakannya. Maka,
silahkan anda mengatakan “membangunkan
setiap impian gila yang tak dipunyai banyak orang” sebagai pemanis, omong
kososng atau candu pembaca. Namun, yang jelas saya benar-benar menulisnya
dengan penuh perasaan—dan hal itu merupakan situasi yang tidak bisa dijelaskan
oleh mereka yang pernah mengalami jatuh cinta :)
Tiap tulisan memang selalu lahir
dalam ruang imajiner dan kemudian berjalan menuju barisan kata untuk dibaca.
Barangkali, dalam menulis nampaknya memang dibutuhkan imajinasi untuk bisa
mengalirkan ide menjadi sebuah cerita; baik fiksi ataupun non fiksi. Karenanya, tiap
penulis mempunyai resep tersendiri—termasuk saya. Dan jawaban atas pertanyaan
anda “ingin membangunnya dengan siapapun”
itu merupakan resep pribadi saya untuk saya simpan baik-baik tanpa diketahui
banyak orang.
Kamu bilang membawa perempuan ke hotel? Apa dia pacarmu? Apa kamu pernah minta maaf setelah kejadian itu? Aku menduga itu benar-benar dosa manis yang kamu sadari. Kamu juga membuat catatan di blogmu. Meski aku merasa beruntung karena tidak mengalami nasib seperti perempuanmu dimasa lalumu. Aku sakit hati kalau ingat kalimatmu. Tapi karena kejujuran ungkapanmu, pada sisi lain aku menganggap itu sebagai penyesalanmu. Dan mudah-mudahan itu bisa jadi pengikis dosa manismu itu.
Nampaknya, anda membaca tulisan
di Blog saya dengan penuh perasaan beserta rasa curiganya. Baiklah, saya akan
mengakui. Tiap tulisan yang saya tulis di Blog merupakan apa yang saya dengar,
saya amati, saya kerjakan, saya fikirkan dan segala bentuk yang bisa membuat
jemari saya bisa berlari diatas keybode komputer.
Bila anda mendengar lagu Tere “Dosa Termanis” dengan seksama. Apakah
Tere melakukan dosa? Tentu pernah bukan.
Bukanlah, Tuhan menitipkan kepada manusia tempat salah (dosa) dan lupa. Namun,
hemat pandangan saya setiap orang mempunyai dosa termanis. Entah, ia masih
mengingatnya atau tidak; dan saya pernah mengalami dosa termanis tersebut. Soal
anggapan anda (mungkin dalam tulisan Pelangi), saya membawa perempuan ke Hotel dan anda menganggap diri sebagai
perempuan beruntung tidak mengalaminya; hingga detik ini saya berani bertaruh
dan mengatakan sebagai perjaka yang masih ting-ting.
Ha!
Barangkali, hanya itu saja yang
bisa saya jelaskan Nona S.A. Kiranya, bila ada yang kurang berkenan setidaknya
kita tidak pernah merasa puas untuk berusaha lebih baik. Kesempurnaan hanya milik Tuhan; kira-kira seperti itu kata Bunda
Dorce Gamalama.
0 comments:
Posting Komentar