Untuk Bos Pabrik Rokok

Kami bukan penjarah harta tapi hanya ingin menuntut hak.

Dari jutaan orang yang merokok barangkali kami segerombolan orang yang tidak tahu diri. Kami meninggalkan kebiasaan merokok tanpa harus permisi terlebih dahulu—tanpa alasan apa-apa selain karena kesehatan kami yang kian menurun. Lambat laun kami pun menyadari bahwa dalam kebiasaan kami selama ini ada permainan modal yang kian menggila. Modal yang kami pahami disini adalah gundukan kekuatan uang dalam mengeksploitasi para buruh dan perokok demi akumulasi laba. Sebagai bagian orang yang miskin dan penyakitan. Nampaknya, tidak ada lagi yang kami miliki tentang rokok; selain curiga. Modal curiga inilah yang kemudian menghadirkan kami pada sebuah pertanyaan. Jangan-jangan kebiasaan merokok kami selama ini hanya untuk menambah pundi kekayaan anda sebagai Bos Pabrik Rokok?

Bukan hal yang salah bukan, apabila kami mencurigainya? Seorang aktivis beberapa hari lalu menceritakan pada kami bahwa majalah internasional tahun 2011 memberikan peringkat nomor satu kepada salah satu diantara anda. Tak tanggung-tanggung angka kekayaan Bos Pabrik Djarum mencapai 58.5 trilun—2 diantara anda juga menyusul anda; Sampoerna dan Gudang Garam.

Kekayaan anda berbanding terbalik dengan gaji para buruh pabrik rokok yang mengenaskan. Pabrik rokok di jawa timur hanya menggaji buruh Rp. 9.000 per 1.000 batang. Sedangkan dalam sehari harus melinting 2.500 dengan kata lain hanya 135.000 tiap minggu. Para pekerja yang mayoritas perempuan ini harus bekerja selama 11 jam. Dan sistem kerjanya yang borongan jelas tidak mendapatkan jaminan social. Bahkan pengamatan seorang pengamat pada tahun 2000-2006 buruh pabrik rokok hanya digaji 452.000 per bulan. Kami bukan bermaksud ingin menjarah harta anda, tapi kami hanya ingin menuntut hak atas beban kerja yang tidak seimbang dan hak atas dampak yang ditimbulkan bisnis ini.
Islam yang ajarannya memerangi para penindas di muka bumi. Islam yang berusaha membentuk pemerintahan yang universal. Islam yang menganggap dunia sebagai menanam amal demi kehidupan akhirat. Islam mengundang kaum tertindas untuk memberontak dan mengangkat senjata dalam perjuangan. Islam simbol keshalehan dan kesucian. Kemurnian spiritual melahirkan para pemimpin anti pemerataan. Dan ekonomi sebagai struktur moralitas serta materialis sebagai tangga menuju spiritual.

—Ali Syariati—
Anda mampu mengendalikan Negara bahkan agamawan

Pabrik rokok menyumbang devisa terbesar dan menyerap tenaga kerja yang besar pula? Petani, tengkulak, buruh, pengecer, sales, pemilik warungkecil—dan Negara. Mereka seakan aktor yang menggantungkan nasib pada usaha yang anda kelola. Benarkan ini? Ataukah ini hanya alibi untuk menutupi melanggengkan kekuasaan anda. Bukankah laporan Depkes diberbagai media menerangkan total biaya konsumsi untuk tembakau, pengobatan, kematian sebagai akibat dari konsumsi mencapai 127,4 trilun dan penerimaan cukai kepada Negara hanya 16.5 triliun—sungguh, kami benar-benar terjabak dalam permainan ini.

Negara ini seakan lumpuh menghadapi kekuatan modal yang anda miliki. Kelumpuhan Negara ini terlihat dari keengganannya untuk menandatangani pengendalian tembakau yang dilakukan oleh beberapa Negara ASEAN. Karenanya, tidak heran kalau negeri ini menjadi perokok nomor 3 dunia dengan total perokok mencapai 65 juta atau 28 % dari total penduduk dengan total konsumsi 225 miliar batang per tahun. Sungguh, anda mampu mampu mengontrol Negara-pasar-rakyat dalam proses penjajahan ini. Alibi perlindungan terhadap kretek dan kaum buruh selalu menjadi alat untuk menghindar—padahal dalam kenyataanya anda mulai mengganti tenaga buruh dengan mesin sehingga anda tidak perlu membayar gaji, tunjangan atau pesangon. Sedangkan, kretek bukti nyata bahwa ada persaingan usaha rokok global. Dan kecurigaan kami bukan karena keberpihakan anda pada petani kretek sebab harga kretek tidak sesuai dengan laba yang anda peroleh. Tepatnya, stabilitas pasar dalam negeri harus dijaga ditengah ketengangan persaingan global—hasilnya, laba anda pun semakin menggunung.

Agamawan yang harusnya membangunkan perlawanan atas penindasan. Justru malah saling tawar untuk saling bantah fatwa. Makruh dan haram seakan menjadi dua sisi yang yang saling berseberangan. Bukan merupakan bentuk ijtihad untuk melihat kemaslahatan kemanusiaan atas pengrusakan dan penjajahan. Dalam ajaran agama manapun pengrusakan atas diri dan alam sosialny amerupakan bentuk penindasan yang tak bisa ditelerir. Agamawan, seakan terlampau tidak percaya dengan kalangan medis dan ekonom bahwa akibat rokok bukan hanya persoalan kesehatan juga adanya akumulasi modal. Barangkali, karena tidak adanya ayat yang menerangkan secara khusus tentang rokok hingga fatwanya terasa hambar—padahal rokok dan khamr (minuman keras) sama-sama barang merusak.
Dalam roadmap industri rokok tahun 2007-2020 pemerintah telah menargetkan peningkatan produksi rokok dari 220 miliar batang tahun 2007 menjadi 240 miliar batang pada tahun 2010-2015 dan terus meningkat menjadi 260 miliar batang pada 2015 sampai 2020
Sungguh tidak adil; bagi anda untung-rugi tapi bagi sebab-akibat.

Kala anda, penguasa dan sebagian agamawan; bahkan antek anda. Selalu menganggap bisnis yang menggantungkan pada loyalitas dan kebiasaan ini sebagai hubungan tentang untung dan rugi. Semakin banyak produksi maka akan semakin banyak keuntungan dan lapangan pekerjaan yang terserap—tentunya, devisa Negara juga akan bertambah. Sedangkan, kami sebagai kaum perokok; aktif atau pasif dianggap sebagai sebab-akibat. Disebabkan merorok maka akibatnya penyakit yang hinggap dikemudian hari disebabkan kebiasaan merokok kami. Barangkali, kali dengan pola inilah anda selalu mendapat perlindungan dari berbagai sisi—dan jelas bagi kami hal ini bentuk ketidakadilan.

Sekarang, kami bukan bagian orang yang terlampau lelap percaya dengan bualan tentang rokok. Bahwa pengrusakan akibat rokok bukan lagi hanya persoalan kesehatan melainkan perjalanan modal dan penumpukan kekayaan diatas penindasan yang begitu sempurna—juga sistematis. Anda bisa menyulap berbagai ruang puplik untuk beriklan, mensponsori berbagai kegiatan, beasiswa meski hal itu hanya 2 % dari keuntungan yang anda peroleh. Seakan dengan beban tanggung jawab social perusahaan yang anda lakukan ini menyelesaikan semua dampak. Ataukah hal itu, hanya keterpaksaan rasa “iba” bukan karena “keharusan dan kewajiban”.

Anda mempunyai banyak modal; kekayaan, kuasa, massa, loyalitas dari kebiasaan—bahkan negara. Karenanya, anda bisa berbuat banyak untuk memberikan kebaikan dan harapan masa depan terhadap bangsa ini. Memberikan jaminan social atas dampak bisnis yang anda kelola. Membangun mimpi terhadap banyak orang lewat generasi yang sehat dan pintar. Kami sebagai pemberontak hanya ingin mengingatkan anda ketika anda lupa. Seperti kupu-kupu yang hinggap pada merahnya bunga dan akan pergi kembali tanpa merusak—atau kami akan menginvasi untuk melakukan perlawanan atas kelupaan anda.


Tinggalkan kaltulator dan mari saling membuka hati!

Kami memang tak pandai cara berhitung. Tak fasih memasarkan produk—atau bahkan tak punya kuasa mengeluarkan peraturan dan fatwa. Ditengah ancaman yang cukup serius terhadap generasi bangsa ini kedepan akibat rokok. Barangkali, tidak ada salahnya kita menonton film diatas untuk sekedar meluangkan waktu ditengah kesibukan kita—kami dan anda.

Tinggalkan kaltulator dan mari saling membuka hati!


4 comments:

Unknown mengatakan...

Teman yang berkisah sama dengan rokok,

http://alfaghi.blogdetik.com/2011/11/30/bertobat-diantara-tubuhku-yang-rapuh/

Jika terpikirkan secara mendalam bahwa ini tak punya guna sama sekali! Tapi kenikmatan telah merasuki jiwa dan otak terus merasakan hambarnya dunia tanpa rokok.
Beruntunglah orang-orang yang tak pernah merasakannya, beruntunglah orang2 yang pernah merasakan lalu melepaskannya. Dan sangat beruntunglah negara jika bertambah konsumennya. :D :D

Anonim mengatakan...

Makasih rekan atas postingannya; "Sungguh aku ingin berbagi untuk para sahabat, janganlah sampai menunggu lama untuk bertindak, jauhi alkkohol.rokok. bergadang malam" begitulah bagian tulisannya. Kita kadang tak ada alasan yang kuat kenapa harus merokok; kebiasaan yang kadang malah menjadi ajang penyiksaan dari dan penyesalan.

Unknown mengatakan...

Yupz seperti itulah rekan! Makanya kata2 sederhana selalu diabaikan "Berpikir dahulu baru bertindak".

Anonim mengatakan...

Mantab rekan. Revolusi sosial hanya bisa terjadi setelah adanya revolusi diri; kesadaran.