Muktamar—sebuah kata sakti dalam
pertemuan besok pagi sampai beberapa hari kedepan. Perhelatan terbesar dalam
tampuk pergantian kepemimpinan IMM. Muktamar bisa kita maknai seperti yang ada
dalam kamus bahasa indonesia; kongres, perundingan, konferensi, rapat atupun
pertemuan—atau bahkan pemilu.
Belakangan, ada
kesangsian beberapa kalangan akan runtuhnya nilai ideologis di Muktamar kali ini-; termasuk kader sendiri; hal ini diakibatkan oleh adanya dominasi politisasi dan ikut bertandingnya Partai Politik tertentu. Tapi aku
memang tak begitu tertarik dalam perdebatan masalah ini—biarlah kegiatan
histeria politik lebih ditonjolkan demi kepentingan sesaat. Menghilangkan batas
rasional kecintaan dan kepedulian. Membunuh rasionalitas berfikir jangka
panjang. Dan perhelatan ini mengingatkanku pada tulisan 5 tahun silam.
—flash back—
Surat Untuk Sahabat
Apakah guna sekolah-sekolah didirikan kalau toh tak dapat mengajarkan mana hak mana tidak, mana benar tidak.(Pramoedya Ananta Toer)
Untukmu sahabatku.
Mahasiswa
dalam sejarahnya selalu dikenal dengan kaum intelektual, kaum yang lahir dari
pergulatan wacana sebab dia merupakan kaum elit dari angkatan muda. Mahasiswa
tak jarang mendapat sebutan agen perubahan maupun agen pengontrol terhadap segala
hal baik struktur masyarakat, politik, budaya maupun ekonomi.
Aku tahu
kalau usia kita yang sekarang ini merupakan usia peralihan dari masa remaja ke
masa yang menuntut kita untuk bersikap dewasa karena itu merupakan fitrah hidup
yang harus kita tapaki bersama. Perjalanan hidup akan terus mendewasakan kita
dalam segala hal termasuk impian dan bangunan masa depan yang akan kita bangun.
Kita pasti akan berkata “aku akan
membangun surga masa depan dengan tanganku sendiri”. Kemudian yang menjadi
pertanyaan, apa yang sudah kita kerjakan sekarang dan apa saja yang akan kita
lakukan untuk membangun surga kita di masa depan?
Semuanya
kembali kepada kita semuanya. Peduli atau tidak tergantung pada diri dan
getaran iman yang ada di dalam hati. Aku tak bisa memaksamu untuk berbagi
dengan mereka sebab itu adalah hakmu. Bukankah pendidikan sudah selayaknya
melahirkan para kaum yang tercerahkan, para intelektual yang mempunyai
kesadaran social. Kadang aku sangat iri terhadap Che Guevara yang dengan berani
meninggalkan kemapanan yang dimiliki bahkan ia tinggalkan juga pendidikan
dokter yang telah ia enyam demi keperpihakan terhadap mereka yang tertindas. Ia
berani meninggalkan sang kekasih kemudian ia bergabung dalam sebuah “GERAKAN”
sehingga sejarah mencatat dirinya sebagai seseorang yang bukan pengecut!.
Aku tahu aku mencintaimu dan sangat mencintaimu, tapi aku tak bisa mengorbankan kebebasanku untukmu sebab ini akan mengorbankan diriku dan aku adalah hal penting di dunia ini, seperti yang ku katakan padamu
(Surat Che Guevara untuk kekasihnya; Chichina)
Aku tak bisa
memaksa imanmu untuk dapat berdiri bersama dalam sebuah gerakan yang mengorbankan
sebagian bahkan semua yang kamu punyai. Dahulu Abu Dzar mampu hidup dalam
sebuah kederhanaan meski harus melawan kekuasaan khalifah yang saat itu sedang
terlelap dengan kehidupan dunia materi yang begitu menyilaukan sehingga
mengakibatkan dia diasingkan dan meninggal dalam kesunyian persis dengan yang
pernah diramalkan oleh nabi. Sepertinya para hamba tuhan yang mempunyai
keimanan revolusioner memang harus diasingkan. Adam harus keluar dari surga
sehingga mengerti bahwa kehidupan adalah sebuah kegetiran, Ibrahim harus diasingkan
dengan dibakar sehingga diperlihatkan kekuasaan sang Tuhan, Sarah (istri
Ibrahim) harus diasingkan ke tanah yang begitu gersang sehingga melahirkan
keturunan terbaik, Muhammad harus diasingkan (pemboikotan ekonomi) sehingga
mampu mengajarkan umatnya jangan mudah menyerah dengan kebenaran islam, Soekarno
harus diasingkan untuk memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini, Tan Malaka harus
diasingkan bahkan saat ini jasadnya tak jelas berada dimana, begitu pula dengan
Sjahrir, Hatta, Ali Syariati, Khomeini dan sebagian besar orang-orang yang
mempunyai jiwa dan iman keberpihakan harus mengalami pengasingan.
Akan datang suatu zaman atas manusia. Perut mereka menjadi Tuhan-Tuhan mereka, perempuan-perempuan menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar mereka menjadi agama mereka. Kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka. Waktu itu, tidak tersisa iman sedikitpun kecuali namanya saja. Tidak tersisa islam sedikitpun kecuali pelajarannya saja. Masjid- masjid mereka makmur dan damai akan tatapi hati mereka kosong dari petunjuk. Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk dipermukaan bumi. Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka berbagai bencana (al-bala) kekejaman para penguasa, kekeringan massa dan kekejaman para pejabat serta pengambil keputusan
(Kanjeng Nabi Muhammad)
Sungguh sangat menyakitkan saat semburan
Lumpur yang jelas-jelas kesalahan manusia dianggap bencana alam, sungguh
memilukan saat orang miskin hanya di jadikan alat komoditas partai politik
untuk mendoplang suara, sungguh sangat memprihatinkan saat kaum miskin
diajarkan menjadi manusia tak produktif (baca, pengemis) hanya untuk
mendapatkan uang 300.000 dengan mengorbankan nyawa dan ternyata uang tersebut
hasil hutang.
Kita semua
tahu bahwa agama yang kita yakini tidak pernah mengajarkan tentang sikap balik
arah. Yang justru menjadikan diri sebagai manusia paling dicela sepanjang masa.
Persoalan kebangsaan hari ini bukan hanya tanggung jawab orang yang hidup dalam
dunia gerakan. Sedang disisi lain kehidupan glamor jauh begitu menggoda dengan
jutaan pengikut—ini persoalan kita semua.
Lantas apa yang harus kita perbuat?
Apakah kita
mau diasingkan seperti yang dialami orang-orang revolusioner diatas. Jawabannya
tak segampang itu sahabat. Mereka mempunyai keberanian dan maqom keimanan yang berbeda dengan kita dan kita pun juga hidup
dengan jaman yang berbeda dengan mereka. Yang harus kita lakukan adalah belajar
mensformasikan segala hal yang kita dapat selama belajar kepada masyarakat.
Ajarkan mereka yang masih buta huruf, jumpailah mereka yang hidup di jalanan
kemudian jadikan mereka sebagai manusia produktif, ingatkan para penguasa (qum fa’andzir) yang telah lalai dengan
kewajibannya sehingga menyebabkan si
miskin jatuh pada kesengsaraan yang begitu dalam, ambillah dan perjuangkanlah
hak mereka yang dirampas.
Ingatlah kuliah
yang hanya mengajarkan ruwetnya rumus, absensi kehadiran 75%, tidak bisa mengukur
tingkat kemiskinan hanya dengan angka-angka. Memperdebatkan ayat suci tanpa
keimanan dan pengamalan sampai kapanpun tak akan pernah mengasah diri menjadi
manusia yang berpihak dan tak akan pernah memperlihatkan dengan “angkuh”
tentang kebenaran. Itulah pengasingan yang seharusnya kita lakukan meninggalkan
budaya mahasiswa “kupu-kupu” (kuliah
pulang-kuliah pulang), menyempallah dari budaya itu kemudian hidup dalam “dunia gerakan” yang semakin mendekatkan
diri dengan mereka yang harus dibela haknya. Kelak kita akan tahu kanapa kita
harus berbuat seperti ini—Kami tunggu kedatanganmu dalam dunia gerakan.
—pause—
Hampir semua gerakan mahasiswa saat
ini mengalami kelesuan gerakan. Sibuk dengan masalah internal dan tak bisa
memberi pola gerakan baru. Karenanya, tidak begitu menarik untuk sebagian
kalangan mahasiswa dan atau dengan kadernya sendiri yang lebih memilih untuk
berjalan sendiri—tanpa identitas organisasi. Barangkali inilah proses yang
harus dilalui untuk menuju kedewasan gerakan pasca reformasi.
Kedepan pola gerakan tidaknya
hanya memberikan mimpi kosong dan angin surga kembali. Segala bentuk yang semu
harus bisa diraba agar kesangsian dan kegalauan akan masa depan bisa dihadapi
dengan cara yang optimis—baik organisasi atau pun mereka yang mengatakan diri
sebagai kader.
—play—
Sosok kaum intelektual nampaknya
harus kita berikan indikator secara lebih jelas. Jika kaum intelektual dalam karyanya diberi indikator menulis.
Maka, tidak ada jalan lain saat atau pasca Muktamar harus digalakkan program
menulis dari segala lini—apapun itu bentuknya. Hanya tulisan yang bisa
menjelaskan tentang sejarah organisasi atau pun kadernya. Pada akhirnya, jika
kita tidak bisa menulis maka jangan pernah menyalahkan kader masa depan tak
mengerti apa maksud dan tujuan organisasi ini. Muktamar memang cenderung
politis; tapi jangan lupa menulis diri organisasinya sendiri.
Inilah kado dari Sekolah Lintas Pimpinan (SLP) DPD IMM DIY
http://www.mediafire.com/?u1pkxo347wztwk3%2Ccp6we450cbh08uc
Silahkan klik linknya untuk mengdownload softcopy buku "Menatap Masa Depan Gerakan IMM; Refleksi Jelang Setengah Abad". Semoga bermanfaat :)
Selamat Muktamar XV IMM
5 comments:
Mas sdh bagaimana gerakan itu pasca Muktamar Medan?
Mas sdh bagaimana gerakan itu pasca Muktamar Medan?
Kok Khomeini?
Gerakannya hanya menghasilkan ribut2. Masih belum dewasa dalam bersikap dan bergerak.
Kenapa ya?
Posting Komentar