Harus (tanpa) Rokok


Hal baik dari merokok adalah tidak merokok!

Setelah membaca tulisan Bang Mohamad Sobary di Oase Kompas tetang Ideologi di Balik Rokokku. Pikiran saya tentang rokok pun kembali menyeruak. Membuka kembali tabir kelam tentang rokok yang dahulu pernah saya tutup—sekitar tahun 2008

Merokok sudah menjadi kebiasaan sekaligus budaya dalam masyarakat kita—indonesia. Seakan Tuhan telah menabur rejeki rokok sekaligus para perokok ke negeri ini. Hingga diberbagai tempat pun selalu subur orang merokok. Bang Sobary hanya ingin mengetuk kesadaran para perokok dan orang yang anti rokok. Ternyata, dalam dataran global ada agenda terselubung para kaum kapitalis rokok (rokok putih) untuk membunuh industri rokok kretek. Dan rokok kretek sudah menjadi bagian budaya khas merokok orang Indonesia. Industri rokok kretek nasional kemudian digebuki dari berbagai arah melalui larangan merokok.
Dinamika utama masyarakat kapitalis terletak pada perkembangan modal, modal berkembang dengan cara melakukan eksploitasi pada kelas pekerja. Tumbuh melalui penambahan alat-alat produksi dan pemakaian maksimal tenaga kerja. Hubungan inilah yang membuat kapitalisme tumbuh dan memperluas wilayahnya untuk mendapat alat produksi dan sekaligus penambahan konsumsi.

KarI Marx—
Anggota DPR pun juga ikut andil dalam rencana pembunuhan kretek melalui alih fungsi lahan. Akademisi, ilmuan, peneliti, aktivis anti rokok—bahkan agamawan, tak jarang ikut masuk kedalam ring menjadi bagian dari upaya penghapusan rokok kretek. Alasannya beragam, merokok menyebabkan serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin seperti yang sudah tertera dalam bungkus rokok. Bagi perokok yang berasal dari keluarga miskin, merokok bagian upaya dalam pemiskinan dirinya karena mengutamakan rokok ketimbang membeli beras, susu, daging dan kebutuhan lainnya—bahkan rokok lebih utama ketimbang membayar SPP sekolah anaknya.

Hal baik dari merokok adalah tidak merokok!

Bang Sobary, saya sudah menjadi perokok aktif sejak kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Waktu itu bapak saya sudah membelikan saya rokok. Pertama kali beliau membelikan saya rokok bermerk; Nikki. Kegirangan saya pun melebihi ketimbang dibelikan sepeda Jengki. Alasan bapak sederhana “merokok semakin dilarang semakin menjadi”. Barangkali, bapak saya sudah paham sedari kecil atau bahkan ketika dia lahir. Sebab kakek dan buyut saya seorang petani sekaligus pedagang tembakau—petani kretek. Kami diajarkan bagaimana cara bertani tembakau yang benar; mencari bibit unggul, menanamkan benih, menyiram, memilah, menanamkan kembali pada kotakan tanah, memupuk, menyiram lagi setiap hari (1 hari tidak disiram;kering), membuang hama, memotong bunga, panen, digudangkan selama 5 hari, menggulung hingga mirip roti, mengiris (kami sebut; nyek sek), menyacah (kami sebut; Ared red), menjumur 3 hari dan itu harus dibolak balik mirip orang memanggang kemplang, membungkus kedalam bungkusan dari tikar lontar—semua rangkaian proses itu dilakukan kurang lebih 3-4 bulan, tanpa jeda sehari pun.

Lantas kepada siapa kita menjual? Bang Sobary menyebut Philip Morris sebagai big bos salah satu industri rokok nasional. Padahal satu sisi Philip Morris juga merupakan musuh industri kretek—pemilik pabrik rokok putih. Salah satunya kepada merekalah kami menjual.

Dan berapa harga belinya? tahun 2010 saya mendengar kabar Rp. 18.000/kg untuk tembakau sawah dan 26.000/kg untuk tembakau gunung, selisih tersebut terjadi karena tembakau gunung kualitasnya lebih bagus akibat kadar airnya tidak terlalu banyak. Dan berapa harga rokok setelah mendapat bumbu rasa dan merk dari pabrik rokok nasional tersebut? Mereka (pabrik rokok nasional) menjual dipasaran setelah dipotong cukai rata-rata mencapai Rp. 8.000 sampai Rp. 10.000/12 batang. Padahal dalam 1 kg tembakau bisa menghasilkan antara 450-500 batang. Adilkah ini?

Hal baik dari merokok adalah tidak merokok!

Bang Sobary mengakui mendukung para kapitalis rokok lokal tapi membenci kapitalis rokok global—dengan rokok putihnya. Hanya karena, kapitalis rokok lokal bisa memberikan cukai rokok sampai trilunan rupiah pada Negara dan bisa menyerap/menciptakan lapangan kerja. Namun, bagi saya lokal maupun global akan menjadi sama saja jika yang menjadi korban malah kaum petani rokok/kretek bahkan buruh pabrik rokok yang sebagian besar kaum perempuan. Belakangan, sebagian dari kampung kami membuat rokok sendiri, melebeli sendiri dan menjualnya sendiri secara kreatif kewarung-warung kecil. Dengan cara seperti ini keuntungan mereka bisa berlipat ganda ketimbang dijual ke industri rokok nasional. Tak jarang pabrik kreatif itu digrebek dan ditutup polisi dengan alasan tidak membayar cukai pada Negara dan itu merupakan tindakan illegal.

Nampaknya, bukan dengan cara seperti ini yang kita inginkan. Jika saja, Pabrik rokok nasional juga membeli tembakau dengan harga yang layak sesuai dengan keringat kuning yang mengucur selama 4 bulan. Bukan malah menjadikan bos Pabrik Rokok Nasional menjadi orang terkaya di negeri ini—Toh, semua pabrik rokok tak memberikan jaminan sosial pada perokok dan para petani?

Hal baik dari merokok adalah tidak merokok!

Bang Sobary, sejak tahun 2008 menjadi titik balik saya berhenti menjadi perokok aktif. Alasannya sederhana, Hampir semua ruang puplik saat ini malah menjadi tempat iklan para kapitalisme rokok—nasional atau global. Tak ada ruang bagi mereka yang tidak merokok untuk menjalankan hak bebas dari asap rokok—juga bebas dari iklan rokok. Barangkali inilah pola penjajahan kapitalisme rokok. Tidak semua orang yang tak merokok bagian dari perselingkuhan pemodal pabrik rokok global atau pabrik farmasi global dengan obat rokoknya; yang tujuan menghancurkan petani kretek

Dan diantara kami; yang tidak merokok masih banyak mempertahankan keimanan sehatnya tanpa harus membunuh penghasilan para petani kretek. Barangkali, tulisan saya ini tidak banyak solusi yang ditawarkan. Setidaknya kita bisa menyadari bahwa dibalik kebiasaan merokok ada modal yang mengalir—termasuk penjajahannya.

Terima kasih atas tulisannya Bang Muhammad Sobary yang cukup inspiratif; dan tulisan ini pula menjadi jawaban saya terhadap Nisa (Kader IMM STIKES Aisyiyah Yogyakarta) yang menanyakan pendapat saya tentang rokok hari Jum’at kemarin. Hanya ini yang bisa saya jawab NisaJ

Hal baik dari merokok adalah tidak merokok!

Link tulisan Mohamad Sobary :
(http://oase.kompas.com/read/2012/04/09/15205091/Ideologi.di.Balik.Rokokku)


12 comments:

Anonim mengatakan...

Terima kasih sudah berbagi, Cak! Tidak banyak yang mau membuka tabir ketidakadilan. Hari Minggu awal April lalu saya bertemu dengan seorang bapak-suami yang berjuang berhenti merokok sesudah batuk berdarah. Hebat buat saya, dari 36 batang menjadi 2 batang (saya lupa, untuk berapa lama). Sang istri pun dengan tegas menagih janji sang suami untuk berhenti merokok. Lebih hebatnya lagi, sudah sejak beberapa tahun lalu beliau mengajak petani di sekitarnya untuk beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain yang tetap bernilai ekonomi dan menyehatkan. Saat ini, Kang Kiman, begitu kami memanggilnya, terus mempromosikan hidup sehat tanpa rokok di lingkungan tempat tinggalnya di lereng Merapi sana. Salam!

anu mengatakan...

Seminggu yang lalu saya iseng2 main ke Temanggung. Desa Legoksari. Di sana saya mendengar langsung dari petani2, bahwa sekilo tembakau dibeli seharga 200. 000 (dua ratus ribu rupiah). Maka melihat perkampungan petani tembakau, sama sekali tak terlintas bahwa petani tembakau identik dengan kemiskinan. Monggo dicek langsung di lapangan.

Anonim mengatakan...

@ Anonim : Iya terima kasih. ini persoalan kita bersama. baik yang merokok ataupun tidak. Barangkali yang anda contohkan tadi bagian kecil realitas kaum perokok. Beberapa waktu lalu saya pernah baca buku milik teman yang membahas tentang "Kretek". Andai saja ada jaminan sosial bagi yang kena kanker, jantung, impotensi dan lainnya barangkali ini akan lebih adi. Tapi memang dalam industri seperti ini rada sangsa saya. Sekarang sebagian petani tembau di kampung saya di Madura sudah beralih dari petani, tengkulak dan buruh tembakau jadi TKI, mengadu nasib ke ibu kita atau wirausaha lainnya. meski tetap meokook. Kapan2 kalo ada waktu saya mau dong di kenalkan dengan kang Kiman. saya stay di Jogja sekarang ini. :)

Anonim mengatakan...

@ anu : Wah, kaya kalau begitu ya.hehe.. Barangkali kita tidak bisa melihat petani kasus petani tembakau ini dari harga saja tapi juga dari harga tanam. Kadang ada Pabrik rokok yang menyediakan bibit dan membeli kembli dengan harga yang sudah ditentukan diawal. Entah mengapa yang menjadi orang terkaya menurut majalah Forbes beberapa tahun belakangan selalu Bos paprik rokok. sedangkan petani juga itu2 saja nasibnya. bagi saya ini jadi persoalan:)

JEJAK CERITA mengatakan...

sekedar nambahin referensi aja sepertinya temanya berkaitan.. http://sains.kompas.com/read/2012/03/27/05254733/Fisika.Kuantum.Penyembuhan.Penyakit

Anonim mengatakan...

Makasih ya atas tambahan referensinya :)

izzah mengatakan...

saya benci rokok, dan kalau hidung saya menangkap asap rokok lngsung pusing dan pandangan kabur. apalagi di kendaraan, lngsung mual2.

entah apa manfaat rokok selain ngabisin duit, bikin kenyang enggak, bikin sehat enggak. mendzalimi diri sendiri dan orang lain.

Obat Kuat Herbal Alami mengatakan...

Terima kasih anda telah memberikan kesempatan untuk berkomentar. Artikel anda sangat bagus. Semoga bermanfaat untuk semua

Citro Mduro mengatakan...

Tulisan yang bagus tretan
memang kita harus lebih objektif menanggapi berbagai persoalan yang kita temukan di depan mata kita

Salam dari Pamekasan Madura

Anonim mengatakan...

:))

Anonim mengatakan...

Terimas kasih :))

Anonim mengatakan...

Enggi tretan. Salam kenal juga :))