Toilet Meteor (?)



Beberapa waktu yang lalu, sebagian sahabat meledek terkait tulisan saya di Blog ini yang belakangan lebih banyak menonjolkan sisi “galau”. Padahal bagi mereka beberapa tahun lalu tulisan saya cenderung meledak-ledak. Hingga tak jarang mereka menjuluki saya sebagai Ekoisme. Ya! Pengikut Eko Prasetyo—penulis buku-buku gerakan di Jogja, salah satu karyanya ; orang miskin dilarang Sekolah. Saya suka dengan gaya progandanya Bung Eko dalam menulis buku. Sebagian besar saya ada buku-bukunya.

Pertengahan 2007
Toilet diciptakan bukan hanya soal buang limbah—tapi juga soal canda dan inspirasi. Kejadian ini terjadi waktu saya masih kuliah S1 di Kampus Matahari Terbit. Tepatnya waktu semester 5. Kabiasaan warga kelas usai kuliah langsung meluncur ke toilet. Ada yang buang air kecil—atau hanya membenarkan penampilannya.
Waktu itu saya masuk toilet sebelah timur dekat fakultas Isipol. Disana sudah berjejaran beberapa orang yang sedang sedang buang air kecil. Hasilnya, posisi tempat buang air kecil yang berderet macam bilik pencoblosan pemilu semuanya terisi penuh.
ciye-ciye, lagi kontes nih ye!” ledek saya para mereka. Mendengar ledekan saya, seorang teman tidak terima.

1 menit kemudian..

Dari bilik paling ujung keluar Pak Dekan yang baru selesai buang air kecil dengan keadaan tersenyum. Saya pun kaget dan malu sambil menenteng perut yang geli. Ha!

Selain itu, sahabat saya juga sering mengatakan saya tampak bukan Madura asli—katanya saya kehilangan sikap sangar dan humornya. Aih, ada-ada saja sahabat-sahabat saya. Dan itu tidak ada relevansinya dengan tulisan. Wah! sudah mulai rasis ini. He!

Sekitar 1991
Sebagai anak kampung, tempat belajar saya mengaji memang cukup jauh. Jarak surau dan rumah sekitar 300 meter. Malam itu, selesai mengaji saya hanya pulang berdua dengan Sakur—teman sekaligus tetangga saya. Dan kebetulan kedua orang tua kami tak bisa menjemput karena sedang ada tahlilan di kampung sebelah. Kami hanya diberi 2 senter warna perak yang berisi 3 batere.
Nampaknya, pulang hanya berdua bagi anak usia 5 tahun cukup menegangkan. Tepat dibawah pohon asam tak jauh dari rumah. Kami melihat api terbang di udara. Kami pun lari tunggang langgang sambil berteriak—senter pun lengap ntah kemana.
Pana taeh, pana taeh, pana taeh…
Ya! Kami meneriakkan pana taeh. Dalam mitos dikampung kami kalau ada api terbang tandanya ada teluh (sihir) yang dikirimkan dukun pada orang yang tidak disenanginya. Masyarakat di kampung kami menyebut teluh dengan pana. Biasanya orang yang terkena pana dipastikan dia tak pernah selamat—setidaknya pasti penyakit yang bersemayam ditubuhnya.
Lantas taeh itu apa? taeh dalam bahasa Madura berarti tai atau kotoran manusia.
Dan kaitannya dengan pana?
Ini dia rahasianya. Orang yang melihat pana secara tidak langsung mengetahui ada maksud tidak baik atau mencelakakan pada orang lain. Mengingat pana merupakan ilmu hitam yang selalu dikonotasikan perselingkuhan dengan setan. Maka taeh sebagai kotoran tak lain obat dari penawar pana. Kayakinan di kampung kami, kalau pana itu sampai pada orang yang dituju kekuatannya sudah berkurang—karena sudah disebutkan taeh. Iiih.. ha!
Makanya setiap ada cahaya atau api yang terbang di udara—termasuk meteor. Tak jarang sebagian orang dikampung kami berteriak “pana taeh!

attention!
Tulisan ini ditulis selesai tidur pagi setelah selesai shalat subuh. Makanya jangan tidur lagi kalau sudah bangun pagi. Ikut ngelantur juga kan tulisannya. Untung tidak ngorok. ha!


0 comments: