Ku lihat senyummu masih seperti dahulu. Seperti pertama kali aku terlahir—senyum sareh nan damai. Perlahan aku lihat garis kelopak matamu tak lagi menampakkan pengerat untuk sekedar mengencangkan kelopak matamu yang mulai menjatuh. Disudut pipi, dagu, leher, bibir dan dahimu mulai membentuk garis sejajar mengerut. Usiamu tak lagi muda—namun, entah mengapa nasihatmu selalu tak pernah berubah sedari dulu—jangan pernah meninggalkan ajaran agama.
“Ibu jadi pulang malam ini?” tanyaku tadi pagi waktu selesai makan
“Iya, terlalu lama di Jogja berarti meninggalkan terlalu lama masak untuk adikmu di rumah” jawabmu dengan lirih. Padahal rasanya baru kemarin aku bertemu—tapi tidak menurut ibu, ia sudah 10 hari berada di Jogja. Barangkali karena aku tak mudik saat lebaran kemarin sehingga pertemuan kami terasa cukup singkat.
Dihari yang terakhir bersama ibu di Jogja. Aku malah sibuk kuliah dan mengikuti pelantikan pengurus cabang yang baru di Kampus 1 UAD. Aku baru bias pulang selesai shalat maghrib sebab aku harus menemani kawan yang datang dari Jakarta untuk melakukan lawatan politik. Sebelum pulang aku menyempatkan diri membeli brownies kukus di Jl. Veterran—sengaja aku membelikan dua bungkus meski aku menyadari bahwa Ibu tak suka dengan makanan roti yang satu ini.
Bagi sebagian orang brownies representasi makanan penuh cinta. Rasanya yang manis, lembut dan penuh lapisan cokelat hampir tak ada yang tak menyukainya. Namun, tidak untukmu—ibuku. Engkau masih setia dengan nasi jagung, ikan laut, sambal dan sayur tumis. Brownies bagimu hanya masakan modern yang penuh dengan rasa senang tak tersusahkan. Barangkali demi satu hal—bahwa aku hanyalah pengangguran yang penuh dengan acara. Engkau pun memaksakan lidah untuk menyicipi meski hal itu tak biasa. Bukan karena rasa manis namun hanyauntuk menghargaiku—maafkan aku ibu jika sampai saat ini masih belum memberikanmu banyak bentuk yang bermateri.
ikuti kata hatimu, Ibu hanya berdoa agar segalanya dimudahkan
Ungkapan yang menyambarku kembali setelah 1 tahun lalu aku memilih tak mengambil pekerjaan di Surabaya hanya karena aku memilih jalan organisasi dan studi lanjut dengan biaya sendiri sebagai jalan masa depanku saat itu—sebagai akibat semua tabunganku pun harusaku korbankan. Aku sendiri juga tidak paham apakah yang pilih jalan yang terbaik—aku hanya mengikuti apa yang dalam hati. Dan sekarang sebagian besar seangkatanku sudah ada yang menjabat dibeberapa jawaban struktural di kampung—dan pastinya sudah berkeluarga. Hal mafhum bagi orang kampung.
Brownies; manis lembut
Lambat laun ibu memahami jalan yang aku pilih—meski aku menyadari bahwa aku terlalu egois dengan mimpiku sendiri. Dan jelang isya’ pesan dan petuah masih saja meluncur deras untuk sekedar menjelaskan pelajaran agama dalam hidup “ilmu meski hanya seujung kuku itu bermafaat kalau di amalkan dan diajarkan pada orang lain” pesanmu kembali sebelum bis jurusan Jogja-Surabaya menggendongmu bersama dengan adik yang masih enggan untuk pulang—jogja telah memikat hatinya.Dan barangkali tidak akan pernah berubah sampai sekarang sejak aku kecil, Ibu masih saja tak pernah menghilangkan atau bahkan melalaikan tugas selalu menggedor pintu waktu kamar untuk membangunkan shalat subuh—aku harus bangun sendiri besok pagi.
Kalau hati sudah terikat dengan waktu kewajiban sebagai hamba Allah, tanpa dibangunkan dari tidur pun dengan sendirinya kamu akan bangun kapan saja sekehendakmu untuk beribadah—ucapnya kemarin pagi.
0 comments:
Posting Komentar