Usia Bukan Hanya Masalah Hidup

Untuk sahabatku :
Fina Gunawati

Selamat ulang tahun ya. Sekarang umurmu bertambah—juga mengurang karena kamu semakin menua. Barangkali aku harus menyampaikan maaf sebab belum bisa membungkus dan mengirimkan kado untukmu. Dan jika saja tadi semalam aku tak tertidur barangkali aku sudah mengucapkan selamat ulang tahun lebih awal—hanya doa yang bisa aku panjatkan untukmu; doa kebaikan.

Sahabatku,
Pertambahan usia hanya masalah angka yang tersusun rapi dalam kalender kehidupan. Dari angka 0 yang terus berjalan menapaki angka berikutknya. Menyeberangi bulan dan akhirnya kembali lagi pada angka yang sebelumnya. Tahun hanya pertemuan dari beberapa angka dan bulan yang telah dinapaki. Karenanya, usia bukan hanya soal lama dan sebentar. Melainkan sejauhmana kita memaknainya dan mempergunakan untuk menghargai kehidupan. –Hidup yang tidak direfleksikan maka tak layak untuk dilanjutkan begitulah pesan filosof terkenal; Descartes.

Aku dan kamu—dua orang yang mempunyai tensi sensitifitas yang sangat tinggi. Penuh dengan perbedaan dan pandangan akan segala hal. Bahkan tak jarang kita harus berdebat sengit hanya karena mempertahankan agumentasi masing-masing—kita selalu benar. Namun, kita berdua selalu tertawa dan mengheran dengan memaku diri ketika sampai pada pertanyaa “kan, kita gak pernah bertemu. Kenapa ya kita malah begitu akrab? Dan kenapa dulu aku percaya banget sama kamu?”–dan sekarang, persabatan kita sudah menginjak tahun ke-5 dan juga masih belum bertemu.

Nampaknya, aku harus sedikit memutar isi kepalaku untuk kembali mengingat awal kita bersahabat. Kita hanya kenal lewat jejaring social yang sekarang sudah raib yakni Friendster. Dan kebetulan kamu teman sahabat SMAku. Lambat laun kita pun akrab dan tak jarang kamu memintaku untuk membelikan buku yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah—kamulah orang pertama yang mempercayaiku terkait masalah uang. Padahal disaat yang bersamaan merebak kasus penipuan penggelapan uang, hipnotis dengan mengambil seluruh barang yang dimiliki bahkan penipuan pembobolan uang lewat rekening. Sebenarnya, aku merasa cukup heran mengapa kamu begitu mempercayaiku—apalagi kita tak pernah bertemu dan tak menutup kemungkinan orangtuamu akan bertanya. “Kok bisa?”.Entahlah, aku sendiri tak mampu menjelaskannya. Marilah kita rayakan persahabatan kita ini dengan menyanyikan lagu “Sahabat Sejati” Shella On 7 dalam album Kisah Klasik Untuk Masa Depan.

Sahabat sejatiku, hilangkah dari ingatanmu
Di hari kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi, aku datang menghampirimu
Kuperlihat semua hartaku
Kita s’lalu berpendapat, kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah
Aku raja kau pun raja
Aku hitam kau pun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi

Pegang pundakku, jangan pernah lepaskan
Bila ku mulai lelah… lelah dan tak bersinar
Remas sayapku, jangan pernah lepaskan
Bila ku ingin terbang… terbang meninggalkanmu
Ku s’lalu membanggakanmu, kau pun s’lalu menyanjungku
Aku dan kamu darah abadi
Demi bermain bersama, kita duakan segalanya
Merdeka kita, kita merdeka

Tak pernah kita pikirkan
Ujung perjalanan ini
Tak usah kita pikirkan
Akhir perjalanan ini

Hentakkan kakimu untuk menikmati lagu ini, meski aku tahu kamu lebih menyukai lagu-lagu Jikustik—aku juga. Aku tak menemukan lagu yang tepat untuk persahabatan di lagu-lagu Jikustik yang cenderung romantic. Anggaplah aku ini sedang menjadi penyiar Radio. Yang tak bisa memutar semua playtlist lagu yang diminta di daftar atensi. Cukup dengarkan saja apa yang diputar dan menikmati hentakan musik dan raungan liricknya.

Kita memang selalu berbeda—aku suka baca buku, baca komik, berdemo, menulis—dan merenung. Kamu sebaliknya, selalu ingin hidup dalam duniamu yang bebas untuk berekpresi tanpa terpaku dengan riuhnya rutinitas yang mengekang. Taukah kamu sahabatku, bahwa dalam Komik One Piece, Naruto—Samurai-X banyak membicarakan persahabatan, keinginan dan bermimpi. Dan aku tak memaksamu untuk membacanya—kamu bebas untuk berekspresi. Aku kutipkan apa yang pernah diungkapkan Jirayya guru Narutojelang kematiannya “bukan bagaimana cara kita hidup. Tapi apa yang kamu lakukan sebelum kematianmu. Sebuah kisah baik adalah kiasan dan kegagalan adalah hiburan. Maka jangan remehkan musuhmu itu ,siapapun itu”. Pesan nampaknya bisa menjadi bahan reflektif bagi kita.–hidup memang butuh perenungan dan perbaikan.

Kita memang tak pernah mengerti apa yang akan terjadi dimasa depan sahabatku. Setidaknya kita tak pernah merasa lesu untuk tetap menjadi orang yang terus berproses menapaki tangga kebaikan dari kehidupan yang kita jalani. Mengakrabi kembali mimpi yang ingin kita raih—karena semua itu tak lain hanyalah wujud doa yang terus kita kumandangkan. Doa dan mimpidua hal yang saling menyatu.

Akhir-akhir ini kamu begitu sering mengeluh soal studimu—kedokteran. Studi yang barangkali lebih banyak menelan waktu juga biaya. Beberapa waktu yang lalu aku mendapat informasi bahwa perbandingan dokter dengan penduduk Indonesia masih 1:3.400. Maksudnya, satu dokter akan menangani 3.400 orang penduduk—dan rata-rata mereka mereka adalah kaum miskin juga tak terpelajar. Yang masih menganggap bahwa kesehatan masih menjadi kebutuhan nomor dua setelah makan. Maka dapat disimpulkan bahwa negeri ini masih dalam keadaan miskin dan tak maju—sebab kemajuan sebuah Negara diukur dari kualitas pendidikan dan jamninan kesehatannya.

Baiklah, aku akan mencoba sedikit melanjutkan mengenai pentingnya kesehatan dalam kehidupan sahabatku. Barangkali terlampau naïf aku menjelaskannya. Tak apalah, paling tidak aku bisa merasakanbahwa kesehatan itu sangat penting. Meski itu bukan bidang studiku—kedokteran. Contoh nyata bahwa negeri ini masih belum menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan primer bisa dilihat masih minimnya MCK yang baik. Saat ini Indonesia menempati Negara nomor tiga dengan sanitasi terburuk. Nampaknya, kita belum beradab dalam membuang hajat—masih bercokol disekitar pekarangan.

PBB juja pernah memberi laporan bahwa 2.6 miliar orang dari total 7 miliar orang penduduk dunia masih belum mempunyai MCK yang baik. Sungguh tak bisa dibayangkan jika hal ini tak segera ditangani, maka secara otomatis kesehatan menjadi barang langka hanya akibat buang hajat yang sembarangan. Mungkin terdengar terasa jorok untuk aku sampaikan, tapi hal ini kenyataan yang tak bisa kita hindari sahabatku–kebiasan yang dianggap sepele justru menggiring pada penyebaran penyakit. Dan ini benar-benar masih ada di negeri ini.

Selain itu, kebiasaan lainnya—merokok. Kebiasaan yang sudah lama aku tinggalkan. Dan nampaknya merokok sudah menjadi kebutuhan diatas kebutuhan primer. Hal ini terbukti sebagian dari mereka yang merokok lebih mementingkan untuk membeli rokok ketimbang beras, daging atau pun susu. Dan Indonesia saat ini sudah ada sekitar 141 juta orang pecandu rokok. Kita berada setelah Amerika dan jepang dalam konsumsi rokok. Ironisnya, dalam laporan terakhir menyebutkan bahwa orang terkaya di negeri masih diduduki oleh Bos Paprik Rokok. –dan disisi lain, jumlah penduduk miskin mencapai 31.2 juta. Itu pun yang terdata. Pusing aku memikirkannya. Hem!

Sahabatku, Fina.

Mungkin aku terlampau jauh berbicara sehingga terkesan tulisan ini malah menjadi kolom analisa bukan menjadi surat. Dan memang harus kita sadari bahwa kenyataan menjadi rakyat di negeri bukan sesuatu yang bisa santai dengan hanya menitipkan masa depan pada pemimpin atau aparat negeri ini—mereka terlampau sibuk dengan kebahagiaan mereka sendiri. seperti yang sering aku ungkapkan padamu.
Oya, semoga pasangan kita tak cemburu atas persahabatan kita berdua. Barangkali, kita musti menyampaikan pada mereka agar memutus urat cemburunya—terlalu ekstrem ya. he!. Kita memang tak pernah tahu persahabatan kita sampai kapan. Paling tidak kita bisa tetap memeliharanya untuk tetap menyambung tali salaturahim, meski dengan berdealektika panas—bertengkar. Aku pernah memasukkan tentang persahabatan kita dalam tulisanku di buku [Melawan Lupa]. Meski gagal cetak, soft copynya sekarang buku ini sudah menyebar kebanyak orang—tulisan 29 lembar 4 tahun lalu yang pernah aku kirim untuk ulang tahunmu. Aku kutipkan kutibkan bagian akhirnya.
Fina juga Ayu selalu memberikan semangat dalam segala hal termasuk saat judul skripsiku ditolak terus menerus. Bahkan sampai tiga kali mengajukan semuanya ditolak dengan berbagai alasan oleh kepala jurusan. Mereka selalu ada saat aku butuh, termasuk aku juga harus ada ketika mereka butuh meski jarak dan persahabatan ini tak pernah bertemu secara langsung tapi kepercayaan yan selalu menjadi perekat persabatan ini.

Biarlah orang menilai persahabatan ini seperti apa, semua orang punya persepsi yang berbeda termasuk kami. Mungkin hal ini sesuatu yang biasa, akan tetapi dari yang biasa inilah kami ingin membuat sesuatu yang luar biasa. yang pasti hiduplah dalam sebuah keyakinan dan kepercayaan sebab itu merupakan pembuktian dari sebuah kata.

Aku tak mau mengakhiri cerita ini, biar tak ada kata bersambung apalagi tamat dalam sebuah episode persahabatan. Ini hanya sekelumit kisah yang kami alami meski terasa sederhana. Karenanya biarlah waktu yang mengakhiri seluruh cerita ini, cerita yang membawa kita pada arti persahabatan yang tak terbatas oleh ruang dan waktu, persahabatan yang dilandasi kepercayaan tanpa adanya sebuah keraguan. Aku juga tidak akan pernah tahu nantinya persahabatan ini bermuara dimana. Semoga perjalanan yang sudah berlangsung ini dapat menjadikan kita menjadi manusia yang saling melengkapi dan semoga kita tak pernah lelah menelusuri jejak langkah para pencari kebenaran yang di ridhai dan diiringi pancaran kasih sang Ilahi.
Ya! seperti yang ada dalam alinea tulisan diatas. Aku memang tak perlu memberi kata terakhir sebab kisah persahabatan kita belum berakhir. Aku sudah lama tak mendengar kabar Ayu—adik sekaligus sahabat baikmu. Semoga dia baik-baik saja. Dan terima kasih kamutelah mengenalkan dan mempertemukan aku dengan KH. Umar Habibie yang banyak memberiku pelajaran tentang caranya berkeinginan, bermimpi dan berdoa. –perjalanan ini belum berakhir, sahabatku :)

Kadomu tak akan tertukar dan hilang
hanya sedikit sabar untuk menunggu, tak lama.
Muky, sahabat alam Cybermu—

0 comments: