Mengenang Almarhum Pak Tarlan ; Sebatang Rokok dan Selembar Kertas

Aku mengenal Pak Tarlan setelah aku menginjakkan kaki di Ekonomi dan Perbankan Islam UMY. Perawakannya yang sederhana dan mudah akrab merupakan sesuatu yang sering aku temui. Meski terkadang aku menemuinya merokok di loby fakultas. Seandainya ada nominasi Anugerah Pemakai Peci di UMY, maka Pak Tarlan menjadi nominator kedua setelah Pak Muhsin Haryanto.

Berita meninggalnya Pak Tarlan sangat mengagetkanku. Sebab aku baru bertemu dengan beliau seminggu yang lalu di kampus. Dan beliau pun masih dalam keadaan sehat. Bak petinju selesai latihan. Mungkin ada benarnya apa yang pernah disampaikan Pak Marsudi Iman bahwa pak Tarlan bekerja di kampus tanpa ada waktu pensiun. Sampai jelang usia menjemputnya. Barangkali inilah yang disebut pengabdian cong!

Ada banyak hal yang sulit aku lupakan mengenai perjumpaanku dengan Par Tarlan. Menemaninya menghabiskan sebatang rokok sebagai pelepas rasa jenuh disela kerja. Pak Tarlan suka rokok, aku tak suka rokok. Barangkali karena kematangan usianyalah yang membuat obrolan kami terasa hangat. Ragam nasehat pun tak jarang diluncurkan untuk mengajarkan tentang arti kehidupan dan bagaimana semestinya hidup. Sebagai orang tua yang sudah banyak mengenyam garam kehidupan.

-Dosen-

Gaji seorang dosen tak seberapa. Menghormatinya itu harus!

Tanggapan Pak Tarlan saat aku menceritakan waktu mengkritik seorang dosen lewat E-Learning. Awalnya, jelang pelantikan BEM dan Senat FAI 2009. Seorang Dosen mengajar kuliah di ruang sidang Fakultas. Padahal ruangan ini sudah dipinjam untuk pelantikan jauh hari dan sudah ditulis papan agenda penggunaan ruang sidang. Bahkan aku dibentak untuk keluar ruangan waktu mengingatkan sang Dosen.

Aku mendapat kabar dari bolang kalau sang Dosen pernah mencariku waktu ada rapat dengan pihak fakultas. Aku juga tak menyesal mengkritik. Toh, Dosen bukan Dewa yang haram di protes. Dan protesku ini merupakan rasa hormatku terhadap sang Dosen. Tapi dari sinilah aku berjanji akan memberikan reward pada mahasiswa yang aktif organisasi, berkarya dan bebas berdemo kalau aku menjadi Dosen. Hi!

Terima masih Pak Dosen

-Muhammadiyah Vs NU-

Muktamar 1 Abad Muhammadiyah sudah selesai dan Pak Din menjabat periode keduanya memimpin Muhammadiyah. Aku dan Pak Tarlan berada di Loby timur FAI. Aku menunggu pak Homaidi Hamid untuk mengantarkan hasil revisi skiripsi. Kami mengobrol mengenai Muhammadiyah dan NU. Terutama di alam Madura dan Jogja. Dua basis Ormas besar ini.

Muhammadiyah dan NU itu sama saja. Tak usah diributkan sebab hanya akan bertengkar krus. Yang penting mengerjakan ajaran islam itu secara benar dan ada dasarnya. Banyak tokoh Muhammadiyah yang berasal dari NU. Begitu juga sebaliknya.

Wuzzt.. Pak Tarlan menyemburkan asap rokok yang baru dihisap. Dia menyemburkankan kebelakang. Maklum saja Pak Tarlan tahu aku sudah tak merokok. Lain hal jika ada nasik, maka nasik-lah yang mengajak Pak Tarlan adu cepat merokok. Agh.. Nasik merusak suasana.

Perbincangan kami pun sampai ada seorang tokoh saat aku menyebut berasal dari IMM AR. Fakhruddin. Pak Tarlan menjelaskan mengenai sifat qonaah-nya Pak AR., akrab dengan penguasa (Pak Harto). Bahkan suatu ketika Pak AR. diberikan kendaan, namun tenyata pak AR. malah memberikan pada kampus hanya karena terlalu bagus bagi beliau. Pak Tarlan juga menceritakan soal kebiasan Pak AR. yang suka shalat malam di daerah UGM.

-Nilai-

Untuk melihat hasil jangan kamu melihat angka yang ada didalam kertas. Tapi liat usaha yang kamu habiskan untuk mendapatkan nilai itu. Makanya rajin belajar cerdas itu penting. Jangan Cuma main saja.

Aku menerawang IPK-ku yang terasa tanggung. Sebab nilai kuliah yang harapkan justru malah tak sesuai dengan harapan. Nampaknya, lulus lama memang tak menjamin mendapatkan nilai yang bagus. 3.47 bukankah itu nilai tanggung. Padahal jika meloncat selangkah barangkali aku bisa lulus dengan cum laude. Pak Tarlan hanya tersenyum dan hanya meledekku dengan ucapan diatas.

Jika kelulusan hanya dinilai dari rentetan angka. Maka kalkulator dan angka 9 akan menjadi pemenang. Kalkulator bisa menghitung sampai angka tertinggi hingga angka yang ingin hitung merasa bosan. Dan 9 sembilan jadi angka terakhir. Namun, ia merasa sial kalau tak penah mau menikah dengan angka yang lain. Jadi melihat hasil tak bisa dilihat dengan secarik kertas. Dan unjuk gigi saat wisuda. Tapi bagaimana proses bisa dinilai. Dan proses itu bukan angka.

Rajin belajar cerdas itu berbeda dengan belajar pintar. Pintar menempatkan diri pada oposisi biner dimana malas dan bodoh menjadi biang keladi dari ragam persoalan. Cerdas tak lain mengoptimalkan memampuan dan bakat untuk dioleh menjadi nampan. Hingga pintar akan timbul dengan sendirinya. Inilah apologi orang yang lulus 4 tahun 8 bulan 10 hari. Hi!

-Wisuda-

Aku berencana untuk mengikuti ritual wisuda. Lambang supremasi para kaum terdidik ini cukup membuat telingaku gatal. Asumsiku wisuda tak lain bentuk dari ucapan selamat mengganggur bagi yang tak bisa bersaing, foto keluarga dan pacar (tambah mertua kalo datang), pidato pak Rektor (bagi yang jarang lihat Pak Rektor pidato, yang bisa ditemui di sambutan saat Mataf, Milad Kampus dan Wisuda), foto angkatan dan meledek mereka yang belum lulus. Terakhir, kewajiban traktiran.

Wisuda itu kebanggaan setiap orang tua. Orang tua itu merasa bangga saat anaknya wisuda dan menikah. Jadi alasanmu itu tidak masuk akal. Jangan terlalu egois jadi orang. Tak baik sikap kayak gitu.

Akhirnya, aku pun mengikuti saran Pak Tarlan. Dan sebagai penghormatan aku mengajak orang tuaku berziarah ke makam Kyai Dahlan di Karangkajen. Hasilnya, mereka kaget dan ngenes melihat makan Kyai Dahlan dan Pak AR. yang sangat sederhana. “Seakan tak ada penghormatan sama sekali, apa orang Muhammadiyah berziarah ke makam ini” protes bapakku.

Sebenarnya, masih banyak hal yang aku dapatkan melalui sebatang rokok Pak Tarlan dan selembar kertas yang aku pegang. Dan orang yang pernah mengenal Pak Tarlan pasti mempunyai cerita tersendiri. Dan aku yakin semua orang yang mengenal Pak Tarlan pasti mendoakan agar beliau mendapatkan tempat terindah disisi-Nya. Amin..

2 comments:

kamal hayat mengatakan...

Sungguh kita kehilangan Pak Tarlan ya...

Anonim mengatakan...

Kehilangan memang menyakitkan. Tapi kenangan keikhlasan sebagai penawar. Agaknya pak Key In satu ini tak tergantikan..