Beberapa hari ini—dan mungkin
kedepan, adalah hari-hari dimana jantung saya berdetak lebih kencang dari pada
biasanya. Kegelisahaan saya akan lebih penat ketimbang suasana biasanya. Waktu
tidur akan berkurang daripada biasanya. Bekerja akan lebih giat dari pada
biasanya. Dan kecintaan saya kepada istri saya akan bertambah volume ketimbang
biasanya. Hal tersebut dikarenakan jelang kelahiran anak yang sedang bersemayam
dalam rahim istri saya. Yang diperkirakan dokter akan lahir tanggal 22 Agustus,
bulan ini. Kalau hal tersebut melalui proses persalinan normal. Namun, dua hari
terakhir. Istri saya merasakan sakit asmanya mulai kumat. Bahkan katanya lebih
sesak daripada biasanya—dan tidak mengenal waktu tertentu. Sebab biasanya,
istri saya terasa sesak nafasnya karena asma, sekitar jam 01.00-03.40 dini
hari. Namun, kini malah hingga siang hari. Istri saya selalu sakit jika kalau
tidak bekerja, barangkali dengan bekerja penyakitnya seakan tidak terasa karena
aktivitas pekerjaan di kantornya. Dan sekarang istri saya sudah cuti
lahiran—dan malah kumat asma.
Dokter yang selama ini menjadi
langganan untuk memeriksakan kandungan—dan termasuk obat apa saja yang harus
dikonsumsi agar istri dan anak yang dikandung istri sehat, hanya bisa membantu
pada saat awal kehamilan. Malah istri saya merasa kecanduan obat asma,
sekalipun istri saya sudah pernah pakai pengasapan dan semprot. Sehingga kami
pun memutuskan memakai jasa dua dokter untuk bisa membantu—namun, yang terjadi
antara dokter yang satu seperti sedang tidak menemukan titik temu. Dokter yang
satu memberikan obat dan menyarankan agar proses kelahiran istri saya dilakukan
secara cesar. Sedangkan dokter yang satunya menyarankan tetap dilakukan secara
normal. Terus terang, kami merasa kebingungan dokter mana yang bisa kami jadikan
rujukan—sebab kedua dokter tersebut bisa dibilang terbaik di daerah kami.
Kini, saat tanggal persalinan
semakin mendekat, kami harus menentukan pilihan dan tindakan yang tepat untuk
kami terima. Saya yakin istri saya kuat menjalani proses persalinan,
sebagaimana kuatnya ia selama ini lebih sering sendiri. Akibat pekerjaan saya
yang di Purwokerto hanya memungkinkan saya pulang maksimal 2 kali seminggu.
Makanya, terkadang saya merasa perlu ‘membalas’ waktu yang telah terbuang dalam
kehidupan rumah tangga kami. Apa yang dilakukan istri saya selama ini, bukan
semata-mata untuk mengajar karir semata. Melainkan juga ikut berjuang membantu
saya—agar dapur rumah tangga kami tetap bisa mengebul, tidak hanya untuk diri
kami berdua, namun juga untuk orang disekeliling kami berdua—dalam pemahaman
yang sederhana saya menyebutnya ‘jangan tanya mengapa aku mencintaimu’.
Apa yang saya tulis ini: tidak
lain merupakan kekacauan dalam isi kepala saya. Saya hanya mengetik apa yang
ada dalam pikiran dan benak saya. Makanya, tidak mengherankan jika tulisan ini
agak ‘kesana kemari’ tanpa alur tulisan yang jelas. Saya tidak mengedit atau
membacanya dari awal dari apa yang saya tulis ini. Itu karena dalam bathin
tidak tega meninggalkan istri saya yang sedang sakit dan harus kembali ke
Purwokerto untuk bekerja dan besok harus ke Semarang untuk presentasi
penelitian yang baru saja disetujui.
Istriku, aku selalu mencintaimu
:)
0 comments:
Posting Komentar