Kenapa Menulis


Beberapa teman pernah bertanya: kenapa saya begitu suka menulis di blog ketimbang di media massa. Bahkan beberapa diantara mereka bilang tulisan yang saya tulis di blog (http://makhrusahmadi.blogspot.com) tersebut malah isinya curhat dan refleksi tidak penting dan cenderung 'menye-menye'. Saya memahaminya, sebab kenyataannya memang demikian adanya. Sejak menjadi blogger dari tahun 2010, saya semacam menemukan media dialog yang lebih nyaman dengan apa yang saya lihat, dengar dan saya rasakan. Tanpa harus susah payah terkejar deadline, point atau bahkan fee tertentu. 

Tidak hanya itu, buku yang pernah saya tulis juga demikian. Tak sedikit yang bilang kalau buku saya tersebut kurang layak dipasaran, lebih-lebih buku pertama saya (Melawan Lupa). Bahkan konon (katanya) buku terakhir saya yang dihibahkan untuk pengembangan kelompok diskusi dianggap terlalu mahal. Meski tanpa melihat bentuk dan isi dengan buku sejenis, serta tanpa mereka sadari dengan membeli buku tersebut adalah bagian dari berderma. 

Bagaimana pun para pengkritik atas apa yang saya tulis, saya menemukan dua jawaban: pertama, mereka membaca tulisan saya di Blog dan buku yang pernah saya tulis. Kedua, mereka memberi dorongan kepada saya untuk selalu belajar membaca dan menulis. Toh! Selama ini saya tidak pernah memikirkan berapa viewer yang berkunjung di Blog saya. Atau bahkan royalti atas buku yang pernah saya tulis dan saya edit. Semuanya, saya lakukan karena kesukaan atas membaca dan menulis. Jika ditanya mengapa saya menulis—bagi saya—menulis ya menulis. Itu saja. Sebab dengan menulis saya bisa tetap bermesraan dengan hal-hal—yang barangkali sangat sederhana dalam kehidupan dijalani dengan orang dan alam disekitar saya. Oleh karenanya saya menyebut menulis sebagai cara melawan lupa, serta menyisakan risalah kenangan yang bisa dinikmati oleh istri, anak dan keturunan saya kelak—bahwa saya selalu ada bersama mereka.  

Tidak ada salahnya, kita belajar pada Pram, Hamka, Hatta, Syariati dan sebagainya. Yang mampu merekam jejak langkah perjalanan dan gagasan mereka dalam bentuk tulisan. Hanya, dengan tulisan sejarah perjalanan hidup manusia bisa direkam dan dikenang para penerusnya. Menjadi pengkritik tanpa pembanding yang sejajar bisa jadi hanya akan membawa diri pada sikap ketidakmampuan dalam berbuat terhadap apa yang dikritik. Tentu, saya sebagai bagian jamaah pelupa—hanya meyakini bahwa menulis adalah cara lain melawan lupa. Dan menulis bisa dilakukan dengan merekamnya dalam berbagai bentuk: tak terkecuali dalam media sosial. 

Tak ada tulisan yang mubazir atau tidak ada gunanya. Sebab tulisan ibarat anak yang baru lahir—yang memerlukan waktu, tahapan dan proses tertentu agar mengenal diri, keluarga dan alam sekitarnya. Begitu juga dengan tulisan—pada titik tertentu juga akan menemukan pembacanya sendiri. 

Sekali lagi. Percayalah, setiap tulisan akan menemukan pembacanya sendiri :-)



0 comments: