Motoran Itu Perjalanan Spiritual

Hari ini saya memenuhi permintaan istri yang mengajak motoran dari Majenang ke Purwokerto yang berjarak sekitar 83 Km. Katanya untuk mengajarkan anak-anak perjalanan pekanan saya selama ini—sekaligus mencari suasana baru. Sebenarnya saya kasihan karena perjalanannya cukup jauh dengan jalan yang naik turun dengan motor Beat yang seusia pernikahan kami. Saya memberi syarat sebelum saya menyanggupi: dilarang mengeluh dan dilarang bertanya kapan sampai.


Perjalanan tersebut kami tempuh sekitar 3,5 jam dengan 6 kali berhenti—yang normalnya saya hanya sekitar 2 jam tanpa berhenti. Namun, kali ini saya cenderung lebih santai dan berhenti untuk sekadar istirahat, jajan, dan mengisi BBM. Sepanjang perjalanan hanya Luna yang banyak bertanya dan bercerita yang kadang-kadang saya terasa sayup mendengarnya, sementaranya Khawla sebagian besar dalam perjalanan ia habiskan untuk tidur.


Saya selalu menganggap apa yang kami jalani selama ini adalah bagian dari perjalanan spiritual. Melipat jarak puluhan kilometer yang telah berjalan selama satu dekade ini terkadang bukan persoalan yang mudah. Ini persoalan bagaimana membagi rasa bakti, menghormati, dan mengasihi harus dipupuk bersamaan. Saya harus menerima kenyataan bahwa istri saya harus membagi baktinya kepada saya dan ibu mertua saya yang telah sepuh dan sendirian.


“Mengapa tidak dibawa ke Purwokerto?”


Barangkali itu adalah pertanyaan yang sering saya dengar dari beberapa kawan yang saya kenal. Namun, kenyataannya ibu mertua tidak terlalu betah di rumah Purwokerto. Ia lebih memilih tinggal di rumah Majenang, dimana ia bersama dengan bapak mertua membangun seluruh mimpi dan harapan terhadap diri dan anak-anaknya. Sebagai seorang perantau yang jauh dari keluarga. Tentu saja, saya tidak setega itu membawa anak terakhirnya.


Sulit! Tentu. Maka, saya harus menghormati berbagai pilihan-pilihan itu. Termasuk saya tidak sepenuh waktu menemani dan mendidik anak-anak. Namun, saya cukup beruntung ditengah kealfaan saya tersebut, Ibu mertua saya selalu mengajak anak-anak saya untuk salat ke Mushola sepanjang waktu dan mengajarkannya mengaji. Posisi mereka salat selalu saya lihat berada di shof depan sebelah kiri. Sementara untuk mengaji dibimbing selesai salat Maghrib dan Subuh—awalnya, saya lakukan sebagai kontrak Luna bisa bermain HP.


Kadang-kadang, hidup memang tidak selamanya harus sama dengan kehidupan orang lain. Adakalanya harus berbeda untuk kebermanfaatan yang lebih besar.


Ubur-ubur ikan ikan lele. Sabar Le!

 


0 comments: