Sebelum Februari lalu, saya sering berdiskusi panjang dengan
istri tentang resign istri dari pekerjaannya sebagai bankir. Sebuah profesi
yang ia geluti sebelum kami menikah. Pasca menikah pun saya tidak pernah
menyuruh dan melarang ia bekerja. Saya memberikan kebebasan untuknya. Apalagi,
selama ini kami telah terbiasa saling berbagi pekerjaan rumah tangga. Saya pun
terbiasa nyapu, ngepel, nyuci, ngasuh anak, mandiin anak, nyetrika, dan lainnya
kecuali masak. Soal masak, saya sangat tidak berdaya.
Dalam rangkaian diskusi itu. Istri saya ada banyak rencana,
salah satunya akan kuliah lagi, menjadi guru, berdagang, dan menjadi ibu rumah
tangga penuh waktu untuk anak-anak. Saya pun memintanya untuk pilihan terakhir
yaitu penuh waktu untuk anak-anak. Apalagi, saya masih pulang akhir pekan dan
anak-anak sudah mulai besar.
Pekan ketiga Februari tiba, istri memilih resign. Ia melepas
profesi yang telah ia geluti selama satu dekade. Anak-anak pun senang, sebab
mereka dapat bertemu bundanya penuh waktu.
"Nda resign dan bareng anak-anak. Luna rangkingnya
naik, Khawla tumbuh kembangnya sesuai harapan" ujar saya beberapa bulan
lalu.
Berjalannya waktu. Istri saya semakin terbiasa menjadi ibu
rumah tangga. Salah satunya masakannya makin enak dan variatif yang nyaris
mustahil saya lakukan. Apalagi, hampir dua bulan ini ibu mertua sakit. Jadilah,
istri saya juga harus mengurus ibu mertua.
"Bolehlah, nanti mulai dianggarkan untuk nyalon"
pinta istri untuk tambahan bulanan. Soal ini, saya belajar kepada Laporta di
Barcelona agar mampu mengolah tuas-tuas ekonomi. 😁
Terima kasih, Nda. Saranghaeyo..
0 comments:
Posting Komentar