Rahim Merah : Respon #1

Islam Kampung dan Rahim Merah
@Ach Khairie (Mahasiswa IAIN Madura)
“Barangkali,imajinasi kita mengalir pada perkumpulan, perserikatan hingga rumus struktur tertentu. Tetapi, bagaimana bila ikatan itu dipahami sebagai keyakinan atau ideologi? Maka, kita akan dihadapkan pada serangkaian peristiwa penuh turbulensi dan keresahan yang mengerutkan dahi.”
Itu pengantar penulis, kakak sepupu saya, Makhrus Ahmadi, dalam bukunya; Rahim Merah. Secara sepintas, buku tersebut dapat dianggap sebagai klimaks pergulatan batin Sang Aktivis, melalui perannya: Agent of Change, dan, Agent of Social Control. Pergulatan tentu tidak lahir dari ruang hampa, ia merupakan dialektika seseorang dengan realitas “yang terjadi” di satu sisi, dengan realitas “yang seharusnya terjadi”, di sisi yang lain. Pergulatan tersebut terjalin berkelindan bersama tempat di mana “ia tinggal”, dan tempat dari mana “ia berasal.” Itulah, hemat saya, terkait buku karya dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu.
Idealnya, saya sadar, tidak perlu ada dikotomi antara Islam Kampung—seperti yang terutarakan dalam judul—dengan Islam perkotaan, atau cara ber-Islam masyarakat urban. Tidak. Yang saya maksud adalah, bahwa sering sekali cara keberagamaan di kampung (kaum proletar?) itu tergolong pada apa yang “tidak seharusnya terjadi”. Bukan karena tidak baik, hanya karena tendensi kesalahan pemahaman dalam keberagamaan itu sendiri. Sekali lagi, inilah yang menjadi kegelisahan penulis; kesenjangan antara “yang terjadi” dan “yang seharusnya terjadi” yang, parahnya, juga mendapat legitimasi bahkan menjadi doktrin absolut dalam suatu masyarakat (lihat hlm. 22 & 25). Di tengah kesenjangan tersebut, buku ini merupakan buah dari cinta penulis pada ikatannya. Ikatan, yang kata penulis sendiri, menjelma menjadi ideologi yang mencipta turbulensi ketika bertabrakan dengan ideologi kampungnya sendiri.
Penting dikatakan di awal, penulis buku ini dilahirkan di suatu kampung, yang secara mayoritas mengamalkan cara keberagamaan Nahdhatul Ulama (NU). Tidak saja menjadi sebuah “ormas”, justru di kampung tersebut, NU sudah dianggap sebagai “Islam” itu sendiri. Akibatnya jelas, yakni sikap menutup diri pada doktrin yang tidak selaras dengan amaliah NU, seperti Muhammadiyah misalnya. Kenapa Muhammadiyah sebagai umpama? Karena diakui atau tidak, yang tersajikan dalam buku ini, timbul karena penulis memosisikan sebagai pihak “outsider” (sebagai bukti, lihat hlm. 19-22). Bahwa penulis, yang merupakan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), telah berhasil menemukan kekurangbenaran cara keberagamaan kampung tersebut, justru, ketika ia sudah menjadi bagian dari Muhammadiyah itu sendiri. Kecuali dengan sikap progresif-liberal, saya sebagai orang NU tidak akan pernah menemukan kesenjangan tersebut. Atau, sekalipun menemukan, mungkin tidak akan menuliskannya. Itulah keistimewaan pertama buku ini.
Oleh karena demikian, membaca buku ini, saya dibawa pada situasi dilematis ke mana seharusnya saya memosisikan diri. Di satu sisi, sebagai orang NU. Artinya, saya menjadi objek dari apa yang penulis bahas, karena saya adalah bagian dari kampung itu sendiri. Dalam posisi ini, saya tentu sudah dijejali sikap ke-NU-an dalam beberapa amaliah, seperti membakar kemenyan, ziarah kubur, qunut, tahlilan, de el el. Bagi saya, semua amaliah tersebut secara esensial sama, yakni “berdoa”. Perkara ditanyakan, apakah berdoa harus di kuburan, atau bukankah itu bid’ah, itu persoalan lain yang membahasnya di sini adalah ketidakmungkinan. (Silakan baca buku “Fiqh al-Ikhtilāf NU-Muhammadiyah”-nya M. Yusuf Amin Nugroho atau buku “NU Muda; Kaum Progresif dan Sekularisme Baru”-nya Laode Ida)
Dalam posisi lain, saya dituntut untuk selaras dengan posisi penulis, yakni posisi “outsider”. Posisi demikian harus ditempuh agar saya mampu bersikap objektif, memahami apa kesenjangan “yang terjadi” dengan “yang seharusnya terjadi” di kampung sendiri. Yang pertama dengan memahami realitas yang saya alami, dan yang terakhir merupakan sikap diri sesuai basis keilmuan. Di mana pun posisi, dan, ke mana saya harus memosisikan diri tidak perlu dipersoalkan. Yang jelas, melalui posisi itu saya berhasil menemukan sintesa kreatif; bahwa cara keberislaman di kampung—dalam beberapa aspek—mesti segera dibenahi karena tidak selaras dengan spirit keislaman, atau tidak seharusnya terjadi, tetapi terkait apakah upaya tersebut harus menjadi NU atau Muhammadiyah, itu persoalan lain. Itulah keistimewaan kedua buku ini.
Keistimewaan ketiga adalah, bahwa melalui buku ini, saya bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi beberapa tahun silam. Saya masih ingat betul, saat itu sedang nyantri di Bata-Bata, di kampung ramai perbincangan tentang berdirinya organisasi kepemudaan yang menamai dirinya Pemuda Kampung Diaspora (PKD). Rumor beredar seputar tujuan, bahwa PKD merupakan wadah dari proyek pe-Muhammadiyah-an (lihat hlm. 250-252). Saya juga masih ingat betul, bagaimana penulis yang merupakan satu-satunya orang Muhammadiyah di kampung, menjadi bahan perbincangan bahkan di Warung Kopi—tempang masyarakat kampung hang out (baca: membicarakan orang), lengkap peci dan sarungnya yang katanya simbol agamis.
Bahwa ternyata, secara esensial, PKD dibentuk untuk menumpas apa yang oleh Masdar Farid Mas‘udi—dalam bukunya “Pajak itu Zakat” —dianggap sebagai “feodalisme keagamaan”. Problem pengelolaan zakat yang ketiga, kata Masdar, adalah dalam organisasi pengelolaannya (lihat bukunya Masdar hlm. 35). Realita di kampung sama tidak baiknya dengan feodalisme, meski bukan feodalisme sekuler karena pelakunya adalah tokoh agama. Tujuan PKD tersebut dapat dibaca pada halaman 246-246.
Akhiran, banyak keistimewaan lainnya dlam buku ini. Terlebih bagi saya, yang merupakan bagian dari kampung itu sendiri. Thus, banyak tokoh yang tersurat dalam buku ini yang saya kenal, yang ternyata orang-orang sekitar saya. Bahkan, saudara sendiri yang sempat sekolah di Jogja juga disinggung dalam buku ini. Pendek kata, di tengah perbedaan amaliah NU dan Muhammadiyah yang sampai kapan pun selalu diperbincangkan, utamanya di kampung-kampung, buku ini memosisikan diri sebagai pencerah perspektif, lalu menemukan ke mana kita harus mengarahkan jalan kita. Menemukan jalan kita, di tengah perbedaan yang memang merupakan keniscayaan dari Tuhan. []



0 comments: