Kasus Dimas Kanjeng adalah potret dinamika pemahaman keagamaan disekitar kita. Dimana agama dibawa dalam arus komoditas modal yang jahat lewat serangkaian agenda-agenda berbau simbol agama bertarif dan politis--yang seakan mendorong keshalihan jalan pintas. Implikasinya, pemahaman agama kehilangan sifat dan sikap revolusionernya.
Tulisan diatas adalah status Facebook saya beberapa hari yang lalu. Ada beberapa teman yang kirim inbox yang tidak setuju dengan apa yang saya tulis. Katanya, saya sekadar berasumsi tanpa memperhatikan fakta yang ada, khususnya tentang "serangkaian agenda-agenda berbau simbol agama dan politis". Bagi, mereka simbol agama menjadi hal yang sangat penting dalam hal apapun--sebab, simbol merupakan identitas agama dan pemeluknya. Jadi, tidak perlu soal benar-salah.
Saya pun tidak meresponnya hal tersebut dengan berlebihan. Sebab, semua orang selalu memiliki alasan dan apalagi soal beragama. Atau mungkin tidak perlu memerlukan sebuah alasan--mengapa beragama dan berkeyakinan. Saya hanya menjawab sekadarnya saja. Dan saya tidak perlu memberikan alasan apa-apa terhadap status Facebook saya tersebut. Toh! nyatanya masih lebih banyak yang memberi like ketimbang yang mengkritik. Tentu saja, bukan anti kritik, sebab saya masih sempat membalas--ketidaksepakatan beberapa orang teman tersebut.
Realitas pemahaman agama memang--kadang-kadang terlalu menyakitkan untuk kita saksikan. Apalagi, hal tersebut dilakukan dengan cara-cara mencari keuntungan tertentu. Kita bisa melihat beberapa event keagamaan suka memberi tarif yang kadang tidak masuk akal. Misalnya, dalam sebuah pelatihan shalat khusyuk, seorang peserta harus membayar sekian juta rupiah agar shalatnya dapat khusyuk setiap hari. Padahal, dalam posisi yang lebih agung bahwa khusyuk dan keterimanya ibadah seseorang semuanya hanya Allah--yang Maha Mengetahui dan Menerima. Jadi, pertanyaan kritisnya bagaimana seseorang (orang lain) dapat menentukan bahwa shalat kita khusyuk dan diterima atau tidak diterima. Dan berbagai kegiatan yang membawa simbol agama dengan tarif irasional lainnya..
Sekali lagi. Saya merasa tidak perlu memberikan penjelasan apa-apa. Kita jawab sendiri-sendiri.
0 comments:
Posting Komentar