Gerakan 4 November

Seruan aksi tanggal 4 November 2016--aksi bela Al Qur'an, semakin menjadi viral dalam media sosial. Entah, hal itu bersifat dukungan atas aksi tersebut maupun upaya tarik simpatik atas aksi tersebut Aksi ini bermula dari pernyataan gubernur Ahok mengenai QS. Al Maidah 51 saat berkunjung ke Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu.

Adanya seruan aksi ini tidak merupakan keberlanjutan atas aksi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Namun, agaknya aksi kali ini sepertinya akan lebih besar dari beberapa aksi sebelumnya. Sebab hal tersebut tidak hanya dilakukan di DKI, tetapi juga dilakukan secara serentak di beberapa kota di Indonesia. Kemudian, ditambah dengan amunisi fatwa MUI yang mengganggap pernyataan Ahok tersebut melecehkan Al Qur'an dan "kecap" Pilkada DKI yang saat ini sudah memasuki musim kampanye. Jadilah, aksi ini tidak hanya sekadar aksi damai belaka, tetapi menjadi semacam gerakan yang menusuk dalam berbagai isu.

Saking "agak" pentingnya mengenai aksi 4 November ini--bahkan ada yang mengkampanyekan ada "bau" surga di Jakarta. Namun, adapula yang menganggap kalau pada tanggal tersebut ada upaya penggulingan atau makar terhadap Tuan Presiden. Entahlah, aksi ini semacam menjadi isu liar yang semua orang bisa memiliki penafsiran dan pemahamannya sendiri. Bagi mereka yang bersimpatik, tentu aksi tersebut sebagai ladang jihad untuk membela kepentingan agama, namun bagi mereka menarik simpatik lebih memandang hal tersebut sudah diselesaikan--dengan permintaan maaf oleh Ahok dan kasusnya sudah ditangani Kepolisian. Barangkali, aksi ini semacam sebuah reaksi bersama yang dibalut dalam berbagai bentuk. Bahkan beberapa hari yang MAR menulis artikel dikoran nasional yang mempertanyakan sikap Tuan Presiden. Dan hari ini pun ditanggapi oleh mantan kolega di partai yang ia dirikan.

"Kamu ikut aksi demontrasi besok di Jakarta atau di Jogja, Cak" tanya seorang kolega yang sesama pensiunan tukang demo.

"Oh, Nggak. Sekalipun saya ke Jogja. Saya tidak akan ikut berdemo" jawab saya dengan tersenyum.

"Loh, ente kan dosen Agama. Kok malah membiarkan ada orang yang menghina Al Qur'an berkeliaran begitu saja. Harusnya, sebagai mantan tukang demo. Ya, prihatin jugalah dengan masalah umat ini. Aku berangkat besok!" ketus kolega saya tersebut.

"Terus. Apa yang harus saya jawab?"

"Harus ikut berdemo. Ini jelas fatwa dan himbauannya"

"Hem! begini, Bung. Sekalipun aku mantan tukang demo dan dosen agama. Apa dengan ikut berdemo yang penuh politis itu semua urusan Agama akan selesai? Kitab Al Qur'an yang sudah berdebu di rak-rak kamar, kapan terakhir kita baca? saat masalah korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan semua persoalan umat dan kemanusiaan lainnya--kita tidak pernah acuh dan peduli bahkan pernah ada aksi jalanan. Terus kalau apa karena saya ikut berdemo besok itu--saya tidak beragama dan abai terhadap sumber agama saya?. Saya tetap hormati sikap dan pilihan sampean itu. Silahkan sampean berangkat ke Jakarta. Maaf saya tidak ikut" jawab saya saking tidak tahannya.

"Munafik!!"

Imbuhnya sembari meninggalkan saya. Saya pun hanya menggelengkan kepala. Saya sendiri tidak tahu apa yang telah merasupi alam pikiran kolega saya tersebut. Hingga sama-sama lupa kalau kami pernah satu kata dalam panas dan harumnya aspal jalanan. Barangkali, ada benarnya apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie sebagai mantan demonstran bahwa--"menjadi seorang Indonesia hanya ada dua pilihan, yakni menjadi seorang yang idealis dan pragmatis. Dan aku memilih menjadi seorang yang idealis sampai batas yang sejauh-jauhnya". Jadi, mungkin kolega saya tersebut seorang idealis dan saya yang sudah pragmatis. Atau mungkin ia tersesat dalam sikap idealisme yang eksklusif--hitam-putih.

Sebagai bagian orang lemah iman dan Agamanya. Saya yang tidak ikut berdemo, namun turut mendoakan semoga aksinya lancar tanpa anarki. Dan semoga tetap satu barisan dalam persoalan aksi keummatan lainnya--tidak mudah kempes dengan sikap reaktif-politis lokal dan transnasional.

Kita tunggu saja--gerakan 4 November ini.



0 komentar: