Jalan Panjang Sang Pahlawan

Kemarin, kita dikagetkan dengan sikap seorang Menteri yang ingin mempidanakan salah seorang guru honorer dikarenakan telah melakukan aksi ancaman melalui pesan singkat SMS terhadap diri dan keluarganya. Hal tersebut dilakukan oleh sang guru honorer karena sudah cukup prustasi, akibat tidak kunjung diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil. Barangkali, kekesalan yang dilakukan guru honorer tersebut juga dirasakan oleh hampir semua guru honorer di negeri ini. Tentu saja, dengan ekspresi yang tidak sama satu sama lain.
Terkait guru honorer. Saya dan beberapa orang mahasiswa, baru saja menerbitkan buku terkait kehidupan guru. Bisa dibilang buku ini merupakan mini riset yang dilakukan mahasiswa terhadap guru honorer yang ada di daerahnya. Mini riset ini dilakukan dengan metode wawancara eksploratif--dimana bentuk wawancara dilakukan secara terbuka, sehingga para guru honorer yang diwawancarai merasa lebih tenang dalam menyampaikan keluh kesah, harapan, motivas, dan potret kehidupan yang mereka jalani selama ini. Bahkan dalam telusuran buku ini menunjukkan bahwa lama pengabdian seorang guru honorer rata-rata sudah mengabdi antara 5-24 tahun. Tentu saja, hal ini bukan waktu yang singkat. Oleh sebab itu, buku ini patut baca oleh semua stakeholders yang terlibat dalam dunia pendidikan. 


Asop Saopuddin adalah seorang guru honorer yang harus berhadapan dengan masih buramnya potret pendidikan di negeri ini. Aop Saopuddin yang ingin berusaha untuk menegakkan aturan disiplin sekolah dengan mencukur rambut muridnya, yang melebihi ketentuan panjang pendek rambut—sebagaimana telah lazim dipraktikkan dibanyak sekolah. Ia pun harus berhadapan dengan tuntutan hukum oleh orang tua siswa yang tidak menerima anaknya dipotong rambutnya oleh Aop Saopuddin guna ketertiban dan peraturan sekolah tersebut. Kasus ini pun bergulir sampai kepengadilan, hingga Aop Saopuddin divonis hukuman pidana percobaan pada tingkat pertama. Sekalipun, pada tingkat banding di Mahkamah Agung (MA) membebaskan Aop Saopudin dari kasus dan tuntutan hukuman tersebut.
Kasus tersebut diatas, semacam menjadi salah satu potret buram pendidikan di negeri ini. Padahal, profesi guru harus dipandang sebagai upaya meletakkan kepercayaan antara orang tua dengan sekolah (guru) untuk didik. Bahwa, berjalannya proses pendidikan yang baik, harus diimbangi oleh kepercayaan oleh semua stake holders dalam dunia pendidikan. Sehingga, proses pembelajaran akan berjalan secara terarah, teratur, terukur dan komprehensif—tidak saja saat sang siswa berada di sekolah, melainkan pada saat berada di rumah dan lingkungan interaksi sebayanya.
Sedangkan posisi guru—bila dipandang dari sudut pandang profesi, barangkali tidak ada berbedaan, sebab para guru memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri. Namun, bila dipandang kesejahteraan kehidupan para guru, terutama para guru honorer atau wiyata bakti masih jauh dari tingkat sejahtera dibandingkan dengan kejehteraan para guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka—para guru honorer harus mencari tambal sulam penghasilan disamping profesinya sebagai guru. Sekalipun, tidak sedikit diantara mereka sudah mengabdi menjadi guru honorer sampai puluhan tahun dan urung diangkat menjadi seorang guru PNS. Barangkali, menjadi guru PNS semacam menjadi harapan tersendiri bagi para calon dan para guru. Tentu saja, hal tersebut merupakan hal yang lumrah untuk menjamin kesejahteran dan kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Maka, inilah tugas negara bagaimana menyediakan sistim dan pelayanan pendidikan yang baik dan berkualitas. Tidak saja, bagi sekolah, melainkan juga kesejahteraan para gurunya.
Hadirnya buku “Jalan Panjang Sang Pahlawan” ini merupakan edisi kedua setelah sebelumnya terbit buku “Mengguat Tuan Presiden” yang berisi surat kepada Presiden Joko Widodo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang mengambil matakuliah Aplikasi Komputer Pendidikan yang saya ampu. Kumpulan tulisan ini merupakan salah satu tugas dalam proses matakuliah tersebut agar sama-sama berkontribusi terhadap dunia pendidikan di negeri ini.
Buku ini adalah potret sebagian kehidupan guru honorer yang barangkali luput dari sudut pandang kita semua. Itulah sebabnya, para penulis dalam buku ini semacam membangkitkan semangat karya ikhlas guru honorer yang kadang-kadang masih mendapatkan perlakuan kurang setimpal oleh negara. Maka, keberanian para penulis dalam memotret guru honorer dengan metode wawancara ini akan senantiasa memberikan sudut pandang berbeda, jujur dan apa adanya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan buku ini, khususnya para dosen di lingkungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Serta Penerbit Samudra Biru dan MIM Indiginous School yang telah membantu terbitnya buku ini.

Makhrus Ahmadi  
@makhrusahmadi


0 comments: