Waktu masih kuliah S1, saya suka
membaca buku-buku karya Eko Prasetyo. Karya-karya Eko Prasetyo beli sendiri dan
pernah sesekali mendapat dorprise saat menghadiri sebuah acara bersama si
penulis. Saking sukanya saya membaca buku-buku Eko Prasetyo tersebut, beberapa
teman menyebut saya Ekoisme. Entahlah, barangkali hal tersebut dikarenakan
nyaris semua buku Eko Prasetyo saya baca dan koleksi, serta kadang meminta
kepada teman diorganisasi agar saya dipertemukan dengan Eko Prasetyo jika
mengisi sebuah acara organisasi sekalipun hanya sebagai pembawa acara. Yang ada
dalam benak saya pada saat itu adalah bagaimana saya belajar teknik provokasi
yang biasa dilakukan Eko Prasetyo baik secara verbal melalui nada bicaranya
maupun dalam bentuk tulisan dalam semua buku-bukunya.
Bagi saya—tulisan Eko Prasetyo
seakan memiliki nyala sendiri dalam tiap rangkaian tulisannya. Selain bersifat
provokatif, cenderung berhalauan kiri dan keluar dari pakem kebiasaan menulis.
Eko Prasetyo mendorong saya terus membaca buku tiap kali ia menerbitkan buku
terbaru. Alasan yang ‘agak rasional’ saat itu adalah dikarenakan kebutuhan saya
untuk belajar teknik provokasi—bersama dengan gaya penulisannya, sehingga bisa
saya gunakan untuk membantu dalam proses berkader di organisasi dan
ketidakpedean berkomukasi dalam ruang-ruang publik. Namun, hal yang paling
membuat saya harus terkesan dan berterima kasih kepada Eko Prasetyo: pertama,
berkat buku ‘Jangan Tanya Mengapa Pabrik Rokok Untung Besar’ Eko Prasetyo, saya
memutuskan diri untuk berhenti merokok secara total sejak tahun 2008—tepatnya
saat mengikuti training politik di sebuah desa di Bantul dan kebetulan Eko
Prasetyo sebagai pembicaranya. Kedua, saya terbiasa menulis apa saja—yang ada
dalam benak dan pikiran saya, tanpa harus terbendung oleh pakem penulisan—yang
sebagian besar saya tuangkan dalam Blog ini sejak tahun 2010. Berkat kebiasaan
‘iseng menulis’ inilah saya menjadi terbiasa mengerjakan beberapa proposal
penelitian, artikel dan bahan ajar untuk kebutuhan mengajar.
Tiap kali saya membaca buku Eko
Prasetyo semaksimal mungkin secara disengaja saya mencari buku pembanding dari
penulis lain, sehingga pemahaman dan suplemen yang masuk kedalam otak tidak hanya
berisi satu tuangan gagasan semata, melainkan bisa banyak perspektif tuangan
gagasan. Sehingga dari sekian karya Eko Prasetyo, buku yang berjudul ‘Inilah
Presiden Radikal’ dan ‘Jadilah Intelektual Progresif’ semacam dua buku yang
saling bersahutan satu sama lain yang membuat saya membacanya berkali. Bahkan
tidak jarang dalam tiap makalah diskusi di organisasi, saya selalu
mengutip isi dari kedua buku tersebut
sebagai pembuka—atau perefleksi dalam tiap tulisan saya. Apalagi, literatur
yang dikutip Eko Prasetyo selalu berasal dari tulisan atau buku para pemangku
organisasi gerakan, baik intelektual, tokoh ataupun buruh. Kedua buku tersebut
semacam memberikan dan menyampaikan peringatan kepada mereka yang hidup dalam
dunia gerakan bahwa mereka tidak sendirian dalam membela mereka yang lemah dan
papa—sehingga harus keluar dari geladak perjuangan hanya karena bebalnya kritik
dan tidak lunaknya perjalanan hidup mereka.
Fidel Castro, Hugo Chaves, Evo
Morale dan Mahmoud Ahmadinejad merupakan salah presiden radikal yang harus
ditiru oleh semua dan calon pemimpin. Merekalah presiden yang mampu membawa
negaranya tegak lurus—sama rata, sama rasa dengan berbagai kesejahteraan
rakyatnya, tanpa harus bergemetar berhadapan dengan Amerika serta bentuk
hegemoni lainnya. Mereka tersebut diatas lahir proses panjang sampai akhirnya
menjadi pemimpin yang tidak saja disegani oleh rakyatnya, melainkan juga oleh
para pemimpin lain, generasi dan para pendahulunya. Pelajaran yang bisa kita petik
bahwa—mereka yang menjadi atau calon pemimpin haruslah lahir dari tradisi yang
tidak instans tanpa proses, pemahaman dan refleksi yang panjang. Sebab, para
pemimpin prematur yang lahir dari tradisi instans tersebut, hanya akan
memprioritaskan segala hal yang nampak dipermukaan saja, tanpa perlu mendalami
terlebih dahulu melalui pemahaman dan refleksi. Akibatnya, ego diri menjadi
payung legetimasi atas tindakan—yang bisa jadi tidak bukan untuk kepentingan
bersama, melainkan untuk kepentingan diri sendiri yang dibalut kepentingan
bersama. Sedangkan sosok seperti Ali Shariati, Sayyid Qutb, Che Guevara,
Antonio Gramsci dan Rosa Luxemburg yang didialogkan secara reflektif sebagai
intelektual progresif—dapat menjadi jalan bagi kaum gerakan agar tidak selalu patah
arang dan mengambil jarak, antara ruang gagasan dan realitas sosialnya.
Bisa jadi, memilih ruang gagasan
tertentu sebagai pilihan untuk bisa menentukan arah gagasan dan gerakan baru
akan menjadi akan sulit, bilamana hal tersebut hanya dilakukan pada ruang
simbolik, naratif dan pengambilan jarak tertentu. Maksudnya, tidak melakukan
secara mendalam mengenai gagasan yang dipilih tersebut—entah, dengan menyelami
gagasan, gerakan dan hasil karya sang pengusung gagasan yang dipilih yang pada
akhirnya menjadikan diri dapat memiliki pengetahuan, pemahaman, refleksi yang
mendalam. Misalnya, untuk meniru sosok seorang Soekarno, Adolf Hitler atau
bahkan Moh. Natsir hanya dilakukan secara simbolik, naratif dan pengambilan
jarak tanpa melakukan pendalaman terhadap gagasan, gerakan dan hasil karya
mereka—apalagi, malah pada titik tertentu menganggap diri terdapat
pembeda-pembeda tertentu yang sebenarnya ia sendiri masih kebingungan atas apa
yang disebutnya sebagai pembeda. Tentu, yang terjadi bisa diketahui secara mudah
yakni terjadi kontroversi dan kontradiksi dari berbagai pihak dikarenakan apa
yang dilakukannya hanya sebagai lipstik: simbolik, naratif dan pengambilan
jarak—itulah titik narzisme yang berlebihan.
Apa yang ditulis Eko Prasetyo
dengan menyematkan ‘radikal dan progresif’, kini semacam memiliki ruangnya
sendiri, sama dengan halnya ‘korservatif dan liberal’. Namun, yang bisa kita
lakukan adalah mendalami semua rangkain dan ruang-ruang tersebut—yang
harapannya bisa menemukan ragam perspektif yang lebih inklusif dan bukan
ekslusif yang anti kritik. Terakhir kali saya bertemu dengan Eko Prasetyo saat
ia menghadiri seminar pra muktamar yang dilakukan di kampus saya mengajar. Kami
pun sempat berbincang sejenak untuk saling bertukar sapa, semacam reuni
perbincangan kami saat di Jogja. Saya pun hanya menyampaikan masih menunggu
tulisan-tulisan terbarunya—yang bisa jadi akan semakin banyak memprovokasi
banyak orang, khususnya mereka yang menjadi dan atau hendak menjadi presiden
progresif.
0 comments:
Posting Komentar