Kita tidak tahu sesungguhnya, bagaimana beragama yang paling benar. Termasuk menjadi seorang Islam yang paling benar. Sebab, semuanya terserah pada pilihan kita sendiri untuk mencari makna dan memilih keberpihakan, tatkala kita hendak memahami apa yang disebut sebagai keberagamaan dan keshalehan— Moeslim Abdurrahman
Belakangan ini, kita seakan
menerima berbagai kegagetan sebagai seorang muslim. Kegagetan tersebet hadir
dengan begitu cepat dengan berbagai varian bentuk, pola dan gerakan yang
nyata-nyata tidak sama dengan yang lain. Seseorang dengan paham dan pemikiran
tertentu cenderung memaksakan—segala apa yang ada dalam dirinya, harus
dipikirkan dan digerakkan oleh orang lain. Bisa dibilang hal ini semacam
menjadi arena saling tarik ulur pengaruh. Maka, yang terjadi adalah klaim atas
kebenaran hanya ingin dimiliki dan diekpresikan sesuai standar kelompok
tertentu. Yang secara perlahan seseorang atau kelompok dengan begitu tega mudah
mengganggap orang lain kafir, sesat dan keluar dari ajaran agama.
Lebih parahnya lagi, beberapa
media online, tidak terkecuali yang menggunakan lebel agama. Malah cenderung
menjadi media propaganda yang terus menebarkan kebencian dan permusuhan, baik
untuk sesama intraagama yang berbeda pandangan, pemikiran dan gerakan. Maupun
dengan sesama antar umat beragama. Mereka mengaburkan kesejutan dan moralitas
universal agama untuk mengejar jumlah rating follower dan viewer, yang pada
tahap tertentu dipakai untuk pemasangan iklan. Intinya, kadang-kadang ini
banyak didasarkan pada orientasi bisnis dan akumulasi laba, bukan menjadi
ladang dakwah baru yang perlu digerakkan sebagai bagian membangun kesadaran
kolektif dan inklusif, baik intra maupun
antarumat beragama.
Memang. Diperlukan pemikiran dan
gerakan yang tidak sebentar dan mudah untuk benar-benar memahami agama secara
damai pada era yang penuh dengan praktik keagamaan yang serba kompleks ini. Apalagi,
perkembangan masyarakat, pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran agama, relasi
negara dan masyarakat yang cenderung lebih akur dan sebagainya. Haruslah
menjadi menjadi pijakan awal tentang bagaimana membangun kesadaran beragama
bersama. Sehingga perbedaan tafsir dan pemahaman keislaman haruslah dialogkan
secara baik, tanpa harus menimbul permusuhan dan konflik berkepanjangan. Dengan
adanya kultur keagamaan yang damai tersebut, pada akhirnya persoalan
fundamental umat manusia, seperti kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan,
kesejangan dan berbagai persaoalan lainnya bisa diselesaikan secara lebih
sistemik. Inilah yang harus dilakukan oleh umat Islam saat dengan tanpa ragu
melakukan ijtihad pemikiran dan gerakan dalam membangun tatanan kehidupan yang
jauh lebih baik.
Persoalan fundamental umat
manusia diatas saat ini terkadang malah menjadi ladang kedua setelah perdebatan
soal paham (madzhab) untuk segera diselesaikan. Sehingga keberpihakan terhadap
kaum mustadh’afin tersebut dipandang hanya bisa diselesaikan dengan rentetan
doa dan ceramah, tanpa hendak membangun pemikiran dan gerakan secara kolektif
dan sistemik. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya kita menilik kebelakang mengenai
‘Islam Yang Memihak’ (LkiS: 2005) yang pernah disampaikan oleh Moeslim
Abdurrahman. Mula-mula Moeslim
Abdurrahman memberikan catatan terkait Islam dan Ijitihad, sebab baginya ada dua
unsur dinamika Islam berkaitan dengan ijtihad. Pertama, kaum muslim diberi hak
seluas-luasnya dalam menafsirkan Islam sebagai agama yang universal, sehingga
pesan Islam mampu mengikuti bahkan melampaui jamannya. Kedua, kaum muslim
diingatkan harus selalu menjaga risalah Islam yang paling dasar sebagai agama
yang memiliki kepedulian dalam menegakkan amar
ma’ruf dan nahi mungkar dalam
wujud yang selalu memihak kepada keadilan dan kebenaran. Barangkali, pekerjaan kita kedepan adalah
melakukan penyegaran terhadap pemikiran yang selama ini cenderung bebal
terhadap persoalan baru—kontemporer yang cukup pelik menemukan ruang hukum dan
penyelesaian. Sehingga pada tahap selanjutnya dapat menghasilkan tindakan pribadi
dan gerakan secara kelompok dalam bentuk tindakan yang lebih inklusif dan
emansipatoris.
Selamat merefleksi.
0 comments:
Posting Komentar