23 tahun yang lalu. Tidak seperti
biasanya saya bangun lebih pagi. Sejak dari subuh, ibu saya sudah membangunkan
saya untuk segera mandi, shalat subuh dan sarapan—lebih pagi ketimbang biasanya.
“Hari ini, kamu akan masuk
sekolah. Nanti bapak yang mengantarkan” ucap ibu. Awalnya, saya sempat bingung
bagaimana saya bisa sekolah. Sebab saya tidak punya seragam sekolah.
“Nggak apa-apa. Pakai biasanya
aja. Hari pertama sekolah memang bebas, tidak pakai seragam” jelas ibu. Saya
pun menunggu bapak dengan hanya pakai kemeja, celana panjang dan sepatu—sisa
lebaran tahun kemarin.
Saya pun menunggu bapak pulang
dari warung kopi. Kebiasaan di kampung kami—dan sebagian orang Madura, suka ke
warung kopi di pagi, siang atau malam hari. Namun, ternyata bapak malah pulang
seperti biasanya dan seakan lupa kalau saya hari ini akan masuk sekolah.
Padahal teman-teman yang lain sudah berangkat ke sekolah sejak dari subuh tadi
bersama orang tuanya. Itu karena agar mereka bisa mendapatkan kursi dan meja
belajar. Maklum saja, sekolah SD satu-satunya di kampung saya waktu itu hanya
ada 1 sekolah—yang sekali penerimaan siswa berjumlah ratusan.
Meski, sudah tahu saya sudah
pasti terlambat sampai ke sekolah. Bapak tetap mengantarkan saya ke sekolah
dengan menaiki sepeda jengki kesayangannya. Sepanjang perjalanan bapak
menasehati saya agar pada saat di sekolah saya tidak nakal dan banyak bermain.
Setibanya di pintu gerbang sekolah saya merasakan aura yang sangat menegangkan:
keringat dingin mengalir deras dan debar jantung saya berdetak lebih cepat.
Apalagi, saat usai mendaftarkan diri dan hendak memasuki kelas—dimana proses
pembelajaran di hari pertama itu sudah dimulai. Perasaan saya sangat tidak
menentu..
“Masuklah... Bapak tunggu diluar”
ucap bapak saya yang berbaris dengan barisan orang tua. Saya pun menatap wajah
bapak lekat-lekat yang seakan tidak mengerti perasaan saya—yang serba
ketakutan. Dengan kondisi badan yang serba gemetar, saya pun memasuki kelas
sembari diantar oleh salah satu guru. Untuk pertama kalinya, saya berdiri
dihadapan ratusan mata anak sebaya saya. Mereka menatap saya tajam dan menunggu
apa yang selanjutnya akan terjadi.
“Ayo memperkenalkan diri dulu...”
ucap guru yang sedari tadi sudah didepan kelas. Saya pun semakin gemetaran
tanpa bisa mampu mengeluarkan kata-kata. Saya hanya memandangi bapak yang ada
diluar kelas, sembari memberikan aba-aba agar saya menjawab pertanyaan si guru
tadi. Saya tetap diam.. hingga pada akhirnya, saya tidak jadi pernakalan. Sebab
saya, tidak mampu berkata apa-apa. Saya
pun diminta duduk di kursi yang mirip kursi warteg. Kursi panjang yang sudah
diduduki tiga orang anak sedari tadi. Karena kursi sudah tidak ada lagi—semua
sudah terisi. Ada yang duduk bertiga, ada pula pula yang duduk satu kursi empat
orang. Tak terkecuali kursi yang saya duduki.
Beberapa saat saya mengikuti
pelajaran. Ternyata, bapak sudah tidak kelihatan dari tempat tadi ia melihat
saya di dalam kelas. Entah, bapak pergi kemana. Saya pun menjadi lebih takut dan
tanpa disadari saya menangis. Saya melingkarkan kedua tangan diatas meja dengan
dahi mencium meja. Teman yang duduk disebelah saya memberitahu kalau saya
sedang menangis. Dan guru pun datang menghampiri dan menanyakan mengapa saya
menangis—saya lagi-lagi tidak menjawab dan tetap menangis—saya begitu takut
sekolah waktu itu. Intinya, hari pertama kali
saya sekolah, saya isi dengan menangis..
Bapak hanya mengantarkan saya ke
sekolah hanya tiga hari saja. Maksudnya, mengantarkan dan menunggui saya di
sekolah. Selebihnya saya diminta pergi sendiri bersama teman-teman saya. Alasan
bapak enggan mengantarkan karena saya sudah memiliki seragam sekolah.
***
Dalam soal pendidikan bapak saya
memang cukup keras. Saya pernah dipukul bapak pakai sapu lidi hanya karena tidak
mau sekolah dan mengaji. Dan tiap kali memukul saya dan atau saudara saya
terkait soal sekolah, ucapan yang selalu muncul dari ucapannya “mau jadi apa,
jangan menyesal, mau bodoh”. Rasanya, tiap pukulannya bapak merasakan kesal dan
harapan yang ia akumulasikan melalui pukulannya. Dan barang tentu, saya atau
saudara saya yang dipukul malah riang gembira, melainkan menangis
meronta-ronta.
Berkaitan dengan pendidikan pula.
Bapak bahkan begitu enggan dibantu pekerjaannya berdagang, kalau masih hari/jam
waktu sekolah. Ia berpandangan pekerjaan anaknya selagi masih muda adalah
belajar. Namun, jika sudah tidak ingin belajar, bapak tidak segan-segan
menyuruh bekerja secara keras. Anehnya, bapak tidak pernah “marah” jika ada
anak-anaknya yang tidak naik kelas atau memiliki nilai jelek. Bahkan, saat saya
tidak naik kelas waktu SD. Pola asuh bapak yang keras itulah yang membuat
sebagaian orang ada yang tidak setuju. Karena mendidik anak tidak musti dengan
kekerasan. Namun, apa boleh buat—bagaimana pun bapak punya pemikiran dan cara
sendiri dalam mendidik anak-anaknya. Sekalipun, kini ia jauh lebih lunak
ketimbang saya dan saudara saya masih kecil.
Kini, setelah 23 tahun berlalu.
Saat saya sudah mulai menjadi orang tua, merampungkan sekolah hingga jejang
strata dua dan bergelut di dunia pendidikan. Rasanya, apa yang dilakukan bapak
terhadap saya dan saudara saya sungguh begitu berharga. Rasanya, saya
membutuhkan waktu 23 tahun untuk bisa mengetahui tiap pukulan dan omongan
bapak. Sebuah jawaban yang barangkali begitu tidak mudah dijelaskan kapan dan
kepada siapa saja, selain perasaan kami masing-masing. Bahkan, bapak bagi saya
tidak saja hanya sebagai relasi orang dan anak. Bapak seakan mampu menjadi
teman dan guru spiritual terhadap apa-apa yang sedang saya hadapi.
Makasih, Pak. Jangan pukul lagi :)
0 comments:
Posting Komentar