Kedua orang tuaku cukup berang
saat aku memutuskan diri untuk pindah kuliah setahun lalu. Apalagi, alasan
kepindahanku kuliah dikarekan agama baru—yang baru saja aku peluk. Aku
menyadari bahwa aku telah memutuskan diri untuk mengambil keputusan terbesar
dalam hidup. Bagaimana aku tidak ditentang, sebab kampusku yang dulu
itu—merupakan kampus favorit yang didambakan oleh banyak calon mahasiswa di
negeri ini maupun diluar negeri. Aku memilih kuliah di kampus swasta di Yogyakarta.
Mula-mula ketertarikanku untuk
pindah kuliah diawali dengan sebuah kekecewaan. Ya! kekewaan. Aku merasa kecewa
dengan diriku sendiri—yang lahir dari keluarga yang hanya sibuk dengan urusan
meniti karir. Ayahku hanya bisa aku ketemui diakhir pekan saja, itu pun hanya
dua jam untuk mengambil koper dan kemudian pergi lagi. Ia sibuk dengan
pekerjaannya. Sedangkan ibuku hanya sibuk dengan kegiatan belanja sana-sini.
Entahlah, apa saja yang ia beli, aku sendiri juga heran. Sebab apa yang ia beli
tidak lain barang yang ditumpuk dalam deretan lemari sebagai bukti bahwa ia
adalah maniak belanja.
Aku sendiri hanya anak
tunggal—yang lahir dari perkawinan campuran darah Indonesia dan Jepang. Ayahku
asli Jepang dan Ibuku asli Indonesia. Jadilah, aku yang memiliki perawakan
bermata sipit dan berkulit sawo mateng. Akibat kesibukan kedua orang tuaku itu.
Aku merasa sangat kesepian dan tak ada yang bisa aku banggakan untuk sekadar
berbagi cerita, perasaan dan pengalaman tentang perjalanan hidup. Hanya ada baby sister yang merawatku dari kecil
dan seekor anjing chihuahua yang diberikan oleh kedua orang tuaku sejak aku
berusia satu tahun. Setelah itu, aku tidak menemukan kehangatan kembali dari
kedua orang tuaku—sebagai keluarga yang utuh. Semua sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri.
Kembali pada cerita perpindahanku
kuliah. Tepatnya pada semester tiga aku berkenalan dengan Makbul. Ia mahasiswa asal
Indonesia asli Madura. Perkenalan kami bermula pada saat kami sama-sama berada
di Perpus kampus hingga larut malam. Aku memang suka membaca, begitu pula
dengan Makbul. Yang logat bahasa inggrisnya suka mendayu-dayu dan
mengulang—terasa sulit aku pahami. Mungkin, itu logat Madura. Apalagi, aku hanya
memiliki kemampuan bahasa Indonesia yang sangat terbatas sebab hanya berbekal
ajaran ibuku—tidak fasih.
“Aku mau belajar dari Jepang
tentang tradisi dan budaya membaca” Jawab Makbul, tiap kali aku menyakan
mengapa ia suka membaca. Aku memang tidak memiliki alasan apa-apa—sebab
kebiasaan membaca sudah menjadi kebiasan dari kami sehari-hari.
“Pernah ke Indonesia?” tanya
Makbul dalam sebuah diskusi di Perpus tempat biasa kami betemu.
“Belum?” jawabku sambil menutup
buku yang aku baca.
“Gimana, kalau liburan musim semi
Haruka Ikut ke Indonesia?” ajak Makbul.
“Boleh. Tapi, aku tidak fasih
bahasa Indonesia”
“Santai aja. Mun parloh noro guleh dhek madhreh lek.. (kalau perlu ikut saya ke
Madura dik)” ucap Makbul dengan
bahasa yang tak bisa aku pahami sama sekali
“Maksudnya?”
“Bukan, itu anuu” ucap Makbul lirih sambil menggaruk kepala.
“Apalagi itu?” aku penasaran.
“Kita berangkat bersama ke
Indonesia” pungkas Makbul sambil mengerutkan kedua alis tebalnya.
Terus terang, sejak pertemuan
dengan Makbul—aku selalu menemukan hal yang baru untuk kami diskusikan. Bahkan beberapa
kali waktu aku menghampiri apartemennya. Dan aku mendapatinya sedang beribadah—kadang
juga dia dalam keadaan membaca kitab suci. Kalau tidak salah namanya Al Qur’an.
Rasanya, itu tidak asing bagiku. Sebab, aku pernah melihat ibuku dulu beribadah
dan membaca kitab saci—sama dengan yang kerjakan dan dibacakan oleh Makbul. Sekarang
sudah tidak lagi, tidak sama sekali. Entahlah, aku tidak tahu alasannya.
Dalam penjelasan Makbul. Bahwa
kitab Suci—Al Qur’an yang selama ini baca merupakan hal fundamental dalam
kehidupannya sebagai orang Islam. Ada banyak pengetahuan yang bisa dipelajari
sebagai sebuah sumber ajaran dan keilmuan yang mampu menembus seluruh cakrawala
pengetahuan dan kehidupan. Sekalipun, dalam praktiknya ajaran pertama yang diajarkan
dalam Al Qur’an adalah membaca ada banyak orang Islam yang belum mampu
mengamalkannya dengan baik. Dalam tradisi membaca misalnya, Indonesia hanya
menduduki nomor 85 dari 174 negara dengan tingkat melek huruf. Malah Australia,
Austri dan juga Jepang sebagai negara tingkat melek huruf terendah. Hal ini
membuat Makbul begitu ingin membalas praktik pengalaman membaca itu dengan
membiasakan membaca. Ia menghabiskan waktu seharian—bahkan sampai malam ia
habiskan untuk membaca di Perpustakaan.
Lambat laun Makbul mengajariku
tentang agama. Ya! agama. Sesuatu yang kadang menjadikan seseorang bisa
berdamai dan berselilih tentang apa yang diyakininya dengan orang lain—setidaknya,
hal itulah yang aku ketahui dari berita di televisi. Selama ini aku tidak tahu
agamaku apa. Sebab kedua orang tuaku tidak pernah memberikan pemahaman dan
penjelasan tentang agamaku. Barangkali, hal itulah yang kadang membuatku
semacam kehilangan orientasi hidup—tidak memahami apa-apa. Aku hanya belajar
tanpa mengetahui apa yang hendak aku ingin capai dari apa yang kerjakana. Sosok
MakbuIlah mengajari semua agama—mulai dari mengajakku ke gereja, wihara, kuil
hingga ke masjid. Sampai pada akhirnya, aku memantapkan diri untuk memeluk
Islam dan menyakininya sebagai keyakinan yang final—sebagai agamaku.
Musim libur pun tiba. Aku dan
Makbul berangkat ke Indonesia. Disana ia mengajakku berkeliling Jawa dan Madua
mengunjungi keluarga Makbul, tempat wisata hingga tempat wisata spiritual. Namun,
yang membuatku tertegun saat beberapa hari di Yogyakarta—dan mengikuti sebuah
pengajian ahad pagi disalah satu masjid besar di pusat Kota tersebut. Aku semacam
menemukan muara perjalanan spiritualku menjadi seorang muslimah. Tidak hanya
aku merasa semakin tenang, melainkan aku bisa memahami orientasi hidupku kini,
nanti dan kelak.
Untuk memperdalam ilmu
pengetahuanku tentang agama. Pada selesainya musim liburan. Aku memantapkan
diri untuk pindah kuliah di salah satu kampus swasta berbasis Islam Yogyakarta.
Makbul tetap setia menemaniku—tidak saja dalam memberikan penjelasan terhadap
kedua orang tuaku. Namun, juga turut membantu mengurusi proses pindah kuliah dan
dimana aku harus tinggal. Makbul semacam menjadi jalan petunjuk bagiku—sosok
yang dikirim Tuhan agar aku bisa mengenal agama dan Tuhanku. Maka, wajar saja—aku begitu kehilangan dia
saat ia harus kembali ke Jepang untuk menyelesaikan kuliahnya... Makbul aku
merindukanmu. Merindukan bimbinganmu.
Ku tunggu kamu di kota ini..
0 comments:
Posting Komentar