Ikatan Itu Keluarga


Semacam ingin mengembalikan kebersamaan yang dulu pernah kami ramaikan. Seperti itulah yang saya rasakan dengan istri, saat beberapa waktu lalu memutuskan untuk libur bersama ke Jogja. Rasanya canda tawa bersama teman akrab waktu kuliah terasa berjalan begitu cepat. Hal yang barangkali, kurang lazim bagi sebagian pasangan—bahwa liburan hanya untuk dinikmati berduaan: seintim mungkin. Lebih dari itu, kami menyadari lewat kota inilah kami dipertemukan untuk saling mengenal, melalui wadah organisasi yang saat itu saya yang mengetuanya. Dan istri saya menjadi divisi bidang pengembangan mahasiswa.

“Nanti ajak anak-anak pas jaman kita di BEM dulu ya, Yah?” ajak istri saya sejak kami masih dalam travel perjalanan ke Jogja.

“Memangnya kenapa” jawab saya pura-pura tidak tahu. Sekalipun sebenarnya tiap kali ke Jogja, saya selalu bertemu dengan teman-teman saya yang masih bisa diakses bertemu.

“Nggah, apa-apa. Kangen aja pengen ketemu mereka”

“Oke. Silahkan diatur jadualnya” jawab saya singkat.

Istri saya pun sentak menghubungi rekan-rekan kami waktu sama-sama masih di BEM. Satu persatu ia BBM sembari menentukan dimana tempat yang asik untuk bertemu. Sebagian besar berhalangan hadir dan hanya beberapa orang yang mengkonfirmasi. Barangkali, karena sekarang kami sama-sama memiliki kehidupan sendiri. Yang tidak sebabas waktu menjadi mahasiswa.

Dengan negosiasi yang alot. Maka reuni kecil-kecilan itu pun hanya dihadiri empat orang saja. Namanya juga kecil-kecilan pastilah yang hadir haya hitungan jari. Sehari sebelumnya saya bertemu dengan dua orang teman dekat saya, Halim dan Amien. Yang hadir itu dalam reuni kecil-kecilan itu: saya, istri saya, Rohmad “Bolang” Qomaruddin dan Ria Aulia. Selebihnya tidak bisa hadir karena alasan ada agenda lain dan cuaca hujan Jogja yang sore itu sedang hujan hebat. Selain itu, ada pula Wahab dan Ari, mereka kader IMM FAI UMY. Kader jauh dibawah saya, Bolang dan Ria..

“Wah, Bolang sama siapa nih. Nggak nyangka kamu bisa nikah secepat ini” ledek istri saya sama bolang. Maklum saja, hanya dia yang manusia paling galau waktu kami sama-sama masih aktif di BEM.

Asemeh. Bisalah. Memangnya cuma kamu doang yang mau nikah”

“Ini kamu kenal dimana Bolang. Dari katalog baru ya?” imbuh saya meledek Bolang.

Ia pun menjelaskan bahwa perempuan yang kini menjadi istrinya ini adalah salah satu guru sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Sejak terjadinya perkenalan dalam sebuah kesempatan. Ia pun langsung melakukan banyak modus operandi: bagaimana dapat menaklukkan—seseorang yang telah sreg dalam bathinnya sejak pertama kali bertemu itu. Sebab itu, waktu ia menyatakan isi bathinya ia pun langsung mengajaknya untuk menikah. Dan... terjadilah pernikahan yang berlangsung 19-20 Oktober 2014 kemarin itu. Pernikahan yang tidak bisa saya hadiri, sebab harus menghadiri pernikahan sahabat saya: Mirza di Garut.

Bolang pun semakin mati kutu dengan serentetan ledekan Ria. Dimana kedua manusia ini memang jarang sekali untuk bisa akur. Barangkali, dikarenakan karakter keduanya yang sama-sama sulit untuk mengalah. Namun, semua itu hanya untuk mengingatkan kembali masa kebersamaan kami yang berlangsung tahun 2007-2008 itu.

Saya dan Bolang pun—hanya bisa saling tertawa meledek. Karena kami berdua sama-sama punya istri bukan seorang kader IMMawati: sebutan untuk kader perempuan dalam organisasi IMM. Alasan untuk menghiburnya: kami sama-sama tidak laku dikalangan IMMawati. Atau mungkin kami terkena tulah selogan yang sering kami ledegkan dulu—bahwa IMMawan untuk IMMawati. Sekalipun kami sama-sama menyadari bahwa “ikatan” yang sejati adalah ikatan sebagai kader. Bukan hanya sekadar ikatan resmi sesama kader untuk membina hubungan rumah tangga. Melainkan adalah bagaimana membangun ikatan—baik sebagai keluarga dan seorang kader. 


Dari kanan : Wahab, Saya, Istri saya, Sukma (istri Bolang), Bolang, Ria dan Ari

0 comments: