Sebelas tahun yang lalu. Waktu
masih kelas tiga SMA tahun 2004. Saya pernah mengucapkan “selamat hari ibu”
kepada ibu saya. Waktu itu, kebetulan saya baru pertama kalinya mengucapkan
ucapan selamat tersebut. Agak gemetaran rasanya saya mengucapkan hal itu.
Barangkali, karena disebabkan dua faktor: pertama, saya yang berasal dari
kampung yang sekolah diluar daerah. Dan tentu saja, tidak pernah mengenal apa sih hari ibu—yang lebih akrab dengan
kaum metropolitan. Sebab, yang kami tahu hanya soal perayaan: tidak jauh-jauh
dengan hari raya keagamaan dan adat. Kedua, saat itu handpohone masih menjadi barang langka. Dan hanya anak dengan
kiriman uang bulanan lebih banyak—yang bisa punya handphone atau mungkin dibelikan orang tuanya. Kalau pun punya handphone modelnya serba tebal dan
berantena. Jadi, untuk berkomunikasi dengan keluarga mau tidak mau harus
melalui Wartel. Itu saja, pernyebabnya!
“Ibu tidak butuh ucapan hari ibu.
Darimana asalnya itu?” sentak saya kaget mendengar jawaban ibu tersebut diujung
telepon. Ibu saya saya, seakan tidak pernah menonton TV saja yang sering
menayangkan iklan ucapan hari ibu—Maklum saja, ibu saya penggemar berat
sinetron “Tersanjung”.
Otak saya pun berlari mencari
jawaban yang tepat, agar ibu saya bisa mengerti maksud dari ucapan selamat hari
tersebut. Sesekali, saya libat argo telpon yang terus berjalan. Tentu saja,
jelas tidak mungkin saya menjelaskan bahwa: asal muasal hari ibu itu berada
dari kongres perempuan, upaya membebas tugaskan ibu dari tugas ibu rumah
tangga. Atau mungkin saya menjelaskan bahwa tanggal 22 Desember itu merupakan
peringatan hari yang diresmikan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden
No. 316 tahun 1953... dan sebagainya. Pastilah ibu saya tak paham itu.
Secara lebih ekstrem, saya bisa
saja mengatakan, agar ibu saya—berhenti bekerja dari profesi kesehariannya yang
selalu berkutat dengan urusan domestik—ibu rumah tangga. Meski itu hanya
sehari. Dan ibu saya pun bisa memahami apa itu hari ibu. Ah! Saya rasa hal itu
sangat mustahil. Sebab sudah menjadi keharian ibu begitu shalih dalam urusan
dapur. Bahkan ia langsung masuk dapur selepas shalat malam. Ia begitu sangat
mengerti bahwa kebiasaan kami sekeluarga sarapan dulu sebelum melalui
aktivitas. Pernah ibu bilang kalau tidak ada aktivitas badannya terasa
pegal-pegal, sehingga uratnya kurang peregangan. Barangkali, karena usia ibu
saya sudah tidak muda lagi—ia sisa hasil didikan penjajahan jepang yang memaksa
bekerja keras.
“Itu dari sinetron Tersanjung
lho, Buk” jawab saya sedikit diplomatif.
“Mana ada adegan itu. Ngarang
kamu ini” ketus ibu saya. Seakan ia paham sekali tiap adegan dalam sinetron
kesayangannya itu.
“Hehe. Hari ibu itu. Hari kasih
sayang, Buk”
“Oh, Iya?”
“Ibu tidak butuh ucapan hari ibu
dan sebagainya. Yang penting kamu tidak nakal, kompak dan rukun sesama saudara
dan selalu ingat ajaran agama. Itu sudah cukup” pesan ibu saya yang selalu saya
ingat sampai hari ini. Telepon itu saya tutup dengan ragam wejangan yang
disampaikan ibu sya. Oleh sebab itu, hingga detik ini pun—saya tidak pernah
lagi mengucapkan hari ibu kepada ibu saya. Sebab ia hanya menginginkan tindakan
dan pembuktian, ketimbang ucapan yang lahir hanya setahun sekali itu.
Setelah sekian tahun berlalu.
Tepatnya, ketika saya memutuskan untuk menikah, Ibu saya pun kembali mengulang
pesannya yang dulu pernah ia sampaikan. Seakan apa yang ia sampaikan merupakan
ajimat sikap yang harus saya pegang dalam menjalani hidup. Entahlah, barangkali
karena saya merupakan anak laki-laki pertama dalam keluarga—sehingga perlu
diberikan penekanan sikap secara khusus. Saya pun memahaminya—termasuk hari ini
dan seterusnya. Bahwa apa yang kita lakukan terhadap ibu, tak lain merupakan
wajah lain kita sendiri. Kita berlaku baik atau buruk akan kembali pada kita
sendiri. Maka, memberikan yang terbaik kepada kedua orang tua. Sama halnya kita
menuntut yang terbaik itu kita sendiri.
Selamat hari ibu bagi yang
merayakan. Selamat berdamai bagi yang tidak merayakan..
0 comments:
Posting Komentar