Tuan SBY
Bagaimana kabar dan tidur anda semalam? Semoga anda dalam keadaan baik, juga tidur nyenyak—pulas, setelah selama 10 tahun ini anda hidup—bangun dan tidur sebagai seorang Presiden. Barangkali, mulai pagi ini, anda tidak lagi terburu-buru untuk segera berangkat kerja. Dan akan lebih banyak waktu minum teh di pagi hari bersama keluarga. Atau mungkin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Ibu Ani untuk sekadar berduaan—menikmati masa tua. Kini, anda sudah sama seperti kami yang hidup sebagai rakyat biasa. Dan tentu saja, kami akan memanggil anda sebagai Tuan SBY, bukan lagi sebagai Tuan Presiden.
10 tahun menjadi Presiden secara berturut-turut, bukanlah waktu yang sebentar. Adanya banyak ragam persoalan yang anda hadapi—baik senang ataupun susah, suka dan tidak suka. Semua anda lalui agar bangsa ini sejajar dengan bangsa lain, yang setidaknya anda sudah mengantarkan bangsa ini duduk bersama anggota negara G20. Ruang dimana negara maju itu duduk secara bersama-sama. Tentu, dari segala bentuk capaian dan keberhasilan yang anda raih, mungkin saja ada hal yang belum anda selesaikan sebagai kepala negara. Kita sama-sama tahu, kalau rakyat negeri ini begitu sangat memberi harapan besar terhadap pemimpinnya—itu karena: persoalan mendasar sebagai rakyat belum terpenuhi—pendidikan murah, akses kesehatan mudah, pendapatan meningkat dan sebagainya. Barangkali, berbagai harapan selalu menghadirkan beragam tuntutan.
Selama anda memimpin, yang paling membuat kami banyak was-was—saat tiap kali anda hendak menaikkan harga BBM. Sebab harga kebutuhan pokok beranjak lebih cepat dari biasanya, karena biasanya keputusan anda menaikkan selalu berujung dengan penolakan dan gelombang aksi massa. Sekalipun, anda menurunkan kembali—yang menyebabkan anda selalu lekat dengan tradisi pencitraan. Barangkali, anda selalu mempertimbang beban subsidi BBM yang saban tahun terus merangkak. Dimulai anda memimpin sudah mencapai angka 69,0 triliun rupiah tahun 2004, hingga menjadi 201 triliun rupiah tahun 2013. Intinya, tiap keputusan yang hendak anda keluarkan selalu dengan beragam pertimbangan—kira-kira begitu yang bisa ditangkap dalam benak publik.
Tuan SBY
Beberapa hari lalu, dalam sebuah pertemuan anda pernah berucap “... saya ingin membuat yang terbaik untuk bangsa ini, tapi saya hanya manusia biasa, ada kekurangan. Barangkali ada sejumlah sasaran yang belum dicapai, saya sebagai pemimpin meminta maaf atas belum tercapainya sasaran itu...”. Ya! Benar Tuan. Anda sudah bekerja semampu yang anda bisa. Hal itu bisa dilihat dengan suasana manis diujung pemerintahan anda—sekalipun harus melalui drama politik yang kadang membosankan. Tapi, seakan anda paham psikologi bathin politik—anda bisa tampil elegan, yang seakan tahu, bagaimana tragedi politik itu harus diakhiri—dengan manis.
Maka dengan kerendahan hati, saya—kami, sebagai bagian dari rakyat yang pernah anda pimpin. Rakyat yang juga sering mengkritik kebijakan anda, juga menyampaikan maaf dan terima kasih atas dedikasi anda selama menjadi presiden 10 tahun terakhir. Semoga surat saya yang pertama dan kedua yang dulu pernah saya tulis—menjadikan kita sama-sama berfikir dan bekerja untuk bangsa ini—sesuai dengan kemampuan dan perannya masing-masing.
Terakhir, Tuan, teruslah menulis lagu, menyanyi dan mengelurkan album..
0 comments:
Posting Komentar