Kadang
kita—cukup sering gelisah dengan masa depan.
Ya! masa depan. Sebuah
tatanan kehidupan yang pasti menjadi impian tiap orang. Sebuah fase kehidupan
dimana capaian “keberhasilan” dari apa yang kita lakukan menemukan muara. Titik
dimana kita merasakan rasa bangga, bahagia, haru, keidealan—serta ragam espektasi yang kadang
tidak hanya melibatkan kita sendiri, melainkan juga orang lain.
Lantas mengapa
kita masih gelisah?
Masa
depan—ibarat perjalanan naik kereta. Kita harus membayar tiket perjalanan terlebih
dahulu yang tidak jarang harus memesan jauh hari: bisa ekonomi atau eksekutif. Semua
tergantung pada kemampuan kita untuk memilih jenis kereta apa yang hendak kita
naiki—hal ini bisa kita pahami sebagai cita-cita atau impian.
Kita bisa saja memiliki
cita-cita hidup yang telah dimiliki banyak orang. Ataukah kita menyediakan
banyak kemampuan dan tenaga lebih untuk biaya impian eksekutif—yang berbeda
dengan kebanyakan orang. Mungkin ini sedikit tampak aneh dan keluar dari arus.
Tapi, bisa jadi pada masa yang akan datang akan lebih menjadi orang
istimewa—yang tidak sekadar manusia kebanyakan.
Tahap yang
selanjutnya, kita akan memilih tempat duduk dan gerbong mana yang kita naiki. Pada
titik ini semuanya berlaku sama—yakni mengenal suasana yang baru. Teman duduk
baru, kursi baru, pemandangan baru dan berbagai hal yang tidak akan sama
seperti biasanya. Meski, kita pergi secara bergerombol, namun pada tahap
tertentu akan mengalami pengalaman yang berbeda. Barangkali, pada posisi ini
kita akan jauh lebih banyak berharap untuk bisa sampai ditujuan dengan
selamat—suasana dimana kita telah menentukan pilihan untuk berangkat dengan
cita-cita. Seperti, bercita-cita menjadi dokter kuliah di jurusan kedokteran,
bercita-cita menjadi guru kuliah di jurusan keguruan, bercita menjadi penguasa memulai membuka usaha dan sebagainya.
Tapi, apakah
dengan demikian kita akan merasa aman?
Tentu saja,
tidak. Sebab selama kereta itu berjalan, perjalanan yang sesungguhnya baru akan
dimulai. Sepanjang perjalanan kita perlu mengambil sebanyak mungkin pengalaman
perjalanan—baik dalam gerbong ataupun pemandangan diluar gerbong. Hingga kita
perlu mewaspadai kemungkinan terburuk kecelakaan. Makanya, tidak heran kenapa
agama memerintahkan selalu berdoa sepanjang perjalanan. Itu untuk mengingatkan
bahwa masa depan tidak cukup dengan berserah diri, melainkan perlu aktualisasi
lain: berusaha lebih keras, lebih sering berdoa dan merefleksikan diri.
Saat kita mau
sampai di tujuan perjalanan kereta—segala apa yang akan kita bawa sebelumnya
perlu dicek kembali. Apakah masih seperti awal pemberangkatan, ataukah sudah
berpindah tangan. Espektasi kita akan semakin membesar volumenya—apakah tujuan
perjalanan kita akan melempangkan senyum lebar dengan perjumpaan dengan apa dan
siapa yang hendak kita temui. Semua tergantung pada rencana awal
pemberangkatan—yakni cita-cita. Maka, cita-cita (impian) tidak bisa berangkat
hanya sekadar niat belaka. Melainkan juga membutuhkan ongkos tenaga, ongkos
biaya, ongkos doa dan ongkos merefleksi.
Gelisah dengan
masa depan itu—hal manusiawi. Justru, tidak pernah gelisah dengan masa depan menandakan diri tak pernah
memiliki rencana dan target hidup—yang sebenarnya merupakan bentuk lain dari
cara kita berdoa.
Bercita-cita,
bermasa depan adalah bagian doa terbesar untuk segera dikabulkan.
1 comments:
Jadi ingin kembali luruskan niat. Hehe
Posting Komentar