Rahim Merah (2)



Saya baru benar-benar merasakan siraman doa. Dan merasakan peningkatan tanggung jawab atas dalam perjalanan hidup—saat saya memutuskan diri untuk menikah. Barangkali, tindakan atas pilihan menyempurnakan setengah agama, bukanlah hanya sekadar menyucapkan ikrar ijab qabul. Tapi, jauh dari itu menempatkan perjalanan dan tanggung jawab hidup semakin besar. Mungkin lebih tepatnya saya sebut sebagai—pilihan.

Ya! Pilihan. Menikah sebagai sebuah pilihan menjadikannya sebagai bentuk konsekuensi yang harus diterima—apapun dan bagaimanapun yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Tak perlu ada keraguan dan kegundahan mengapa pilihan itu harus diterima. Sebab, sebagai bagian dari sebuah proses ibadah, tentu saja akan selalu berhadapan dengan godaan dan cobaan. Saya pun juga mengalami apa yang disebut dengan keraguan, kegundahan, cobaan dan cobaan—sebelum menikah ataupun bisa jadi dalam menjalani proses perjalanan pernikahan saat ini dan masa yang akan datang. Tapi, lagi-lagi saya harus mengingat dan selalu mendendangkan proses ini sebagai proses ibadah, perjalanan—dan pilihan.

Namun, saya bukan hendak membicarakan mengenai apa itu pernikahan. Tapi hendak membicarakan beberapa momentum yang saya lalui jelang detik apa yang disebut—pernikahan. Entahlah, hingga jelang proses qabul pernikahan—masih ada beberapa teman yang mempertanyakan soal keterlibatan saya dalam hajatan besar Muktamar yang dilaksanakan di Solo: yang kebetulan bertepatan dengan hari pernikahan saya. Padahal jauh hari sebelumnya, saya sudah menyatakan tidak akan terlibat dalam bentuk apapun, yang ditandai dengan deadline gila penulisan buku “Genealogi Kaum Merah” yang saya tulis bersama dengan Aminuddin Anwar—atas donatur Halim Sedyo Prasojo sebagai sosok filantropis dibalik semua project penulisan yang kami lakukan selama ini. Sehingga semua hasil dari proses penerbitan buku ini dihibahkan untuk Lembaga creative minority MIM Indigenous School, yang kini kebetulan sudah menapaki satu dekade.
 
Posisi saya pun seakan menjadi dua sisi keping mata uang. Saya dan kaum merah menjadi satu bagian yang tidak bisa diputus begitu saja—saya adalah kader. Karenanya, saya sering menyebut kaum merah sebagai bentuk “Rahim Merah”. Barangkali, inilah fase dimana perjalan berkader di rahim merah sebagai perkaderan seumur hidup. Sekalipun, saya sendiri sungguh benar-benar tidak tahu apa saja yang telah dilakukan selama ini untuk rahim merah. Malah, justru saya banyak dibantu dengan keberadaan rahim merah hingga dimana posisi dimana saya kini berdiri. Bisa jadi, inilah yang disebut dengan feedback dari proses perkaderan.

Selain itu, saya cukup membelalakkan mata. Ketika saya bersama istri membuka kado pernikahan dan diberikan beberapa teman dan sehabat. Saya terbelalak melihat selembar kertas A-4 yang bertulis..

Barakallahu lakumaa wa baaraka ‘alaikuma
wa jamaa bainakumaa fil khaiir
Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah

Merah tetaplah merah
Sekalipun sekarang Cak Makhrus telah memiliki keluarga baru
Jangan biarkan merah itu hilang
dari dari hati Cak Makhrus
Biarlah ia tetap merah
seperti sebelumnya..

Ingatlah,
Cak Makhrus tetap warna
yang pernah memeriahkan ikatan ini

Ingatlah,
Cak Makhrus tetap kakanda dan abang kami..
Dan kami disini,
Selalu mendoakan yang terbaik untuk Cak Makhrus
“Selamat menempuh hidup baru”
—Keluarga besar IMM FAI UMY— 

Terharu! Itulah yang saya rasakan, saat membaca tulisan diatas. Ternyata, masih ada kader di rahim merah yang masih mengetahui dan mengingat saya. Padahal terakhir saya menjabat secara struktural adalah tahun 2008.

Bisa jadi, ini momentum untun saling mengingatkan. Dan tak pernah lelah dalam berkarya. Makasih para kader IMM FAI UMY. 

2 comments:

Unknown mengatakan...

Excelence

Anonim mengatakan...

Terima kasih Ustadz Harjo :))