Saya baru benar-benar merasakan
siraman doa. Dan merasakan peningkatan tanggung jawab atas dalam perjalanan
hidup—saat saya memutuskan diri untuk menikah. Barangkali, tindakan atas
pilihan menyempurnakan setengah agama, bukanlah hanya sekadar menyucapkan ikrar
ijab qabul. Tapi, jauh dari itu menempatkan perjalanan dan tanggung jawab hidup
semakin besar. Mungkin lebih tepatnya saya sebut sebagai—pilihan.
Ya! Pilihan. Menikah sebagai
sebuah pilihan menjadikannya sebagai bentuk konsekuensi yang harus
diterima—apapun dan bagaimanapun yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Tak
perlu ada keraguan dan kegundahan mengapa pilihan itu harus diterima. Sebab,
sebagai bagian dari sebuah proses ibadah, tentu saja akan selalu berhadapan
dengan godaan dan cobaan. Saya pun juga mengalami apa yang disebut dengan
keraguan, kegundahan, cobaan dan cobaan—sebelum menikah ataupun bisa jadi dalam
menjalani proses perjalanan pernikahan saat ini dan masa yang akan datang. Tapi,
lagi-lagi saya harus mengingat dan selalu mendendangkan proses ini sebagai
proses ibadah, perjalanan—dan pilihan.
Namun, saya bukan hendak
membicarakan mengenai apa itu pernikahan. Tapi hendak membicarakan beberapa
momentum yang saya lalui jelang detik apa yang disebut—pernikahan. Entahlah,
hingga jelang proses qabul pernikahan—masih ada beberapa teman yang
mempertanyakan soal keterlibatan saya dalam hajatan besar Muktamar yang
dilaksanakan di Solo: yang kebetulan bertepatan dengan hari pernikahan saya. Padahal
jauh hari sebelumnya, saya sudah menyatakan tidak akan terlibat dalam bentuk
apapun, yang ditandai dengan deadline
gila penulisan buku “Genealogi Kaum Merah” yang saya tulis bersama dengan
Aminuddin Anwar—atas donatur Halim Sedyo Prasojo sebagai sosok filantropis
dibalik semua project penulisan yang
kami lakukan selama ini. Sehingga semua hasil dari proses penerbitan buku ini
dihibahkan untuk Lembaga creative minority MIM Indigenous School, yang kini
kebetulan sudah menapaki satu dekade.
Posisi saya pun seakan menjadi
dua sisi keping mata uang. Saya dan kaum merah menjadi satu bagian yang tidak
bisa diputus begitu saja—saya adalah kader. Karenanya, saya sering menyebut
kaum merah sebagai bentuk “Rahim Merah”. Barangkali, inilah fase dimana
perjalan berkader di rahim merah sebagai perkaderan seumur hidup. Sekalipun,
saya sendiri sungguh benar-benar tidak tahu apa saja yang telah dilakukan
selama ini untuk rahim merah. Malah, justru saya banyak dibantu dengan
keberadaan rahim merah hingga dimana posisi dimana saya kini berdiri. Bisa
jadi, inilah yang disebut dengan feedback
dari proses perkaderan.
Selain itu, saya cukup
membelalakkan mata. Ketika saya bersama istri membuka kado pernikahan dan
diberikan beberapa teman dan sehabat. Saya terbelalak melihat selembar kertas
A-4 yang bertulis..
Barakallahu lakumaa wa baaraka ‘alaikuma
Terharu! Itulah yang saya
rasakan, saat membaca tulisan diatas. Ternyata, masih ada kader di rahim merah
yang masih mengetahui dan mengingat saya. Padahal terakhir saya menjabat secara
struktural adalah tahun 2008.Barakallahu lakumaa wa baaraka ‘alaikuma
wa jamaa bainakumaa fil khaiir
Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah
Merah tetaplah merah
Sekalipun sekarang Cak Makhrus telah memiliki keluarga baru
Jangan biarkan merah itu hilang
dari dari hati Cak Makhrus
Biarlah ia tetap merah
seperti sebelumnya..
Ingatlah,
Cak Makhrus tetap warna
yang pernah memeriahkan ikatan ini
Ingatlah,
Cak Makhrus tetap kakanda dan abang kami..
Dan kami disini,
Selalu mendoakan yang terbaik untuk Cak Makhrus
“Selamat menempuh hidup baru”
—Keluarga besar IMM FAI UMY—
Bisa jadi, ini momentum untun
saling mengingatkan. Dan tak pernah lelah dalam berkarya. Makasih para kader
IMM FAI UMY.
2 comments:
Excelence
Terima kasih Ustadz Harjo :))
Posting Komentar