Gracias (2)




Kehidupan selalu memiliki pilihannya sendiri. Ketika manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai penghuni alam dunia. Maka pilihan sebagai pemimpin atas dirinya dan alam sekitarnya melekat secara mandiri. Tumbuh sebagai proses alamiah: dilatih, dibina dan dikembangkan sehingga pada akhirnya pilihan tersebut menjadi kumpulan elemen tentang keseimbangan dunia—dalam bahasa diekonomi disebut sebagai titik equilibrium atau falah.

Nah, pertanyaan yang paling mendasar: mengapa kehidupan itu disebut sebagai pilihan? Sejak Adam dan Hawa memutuskan mengambil tindakan untuk memakan buah khuldi—buah yang dilarang untuk dimakan di dalam surga. Dari sinilah awal manusia mengambil pilihan atas kehendak diri yang lahiriah tersebut. Ia memilih pilihan tindakan yang dilarang, sekalipun resiko yang dihadapi atas tindakan pilihan tersebut sudah nyata bentuk dan jenis hukumannya. Oleh sebab itu, pilihan tindakan Adam dan Hawa sebagai bentuk sebab akibat harus meninggalkan surga dan menjadi penghuni bumi. Sekalipun, pilihan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa merupakan pilihan yang tidak terlepas dan campur tangan pihak lain: iblis.

Walaupun, Adam dan Hawa—tidak memakan buah khuldi. Tuhan akan selalu punya banyak rencana memberi peringatan terhadap manusia, sebab sebelum Adam dan Hawa diciptakan: Tuhan sudah menjelaskan alasan mengapa menciptakan manusia pada hamba ciptaannya yang lain. Barangakali, buah khuldi merupakan “simbol cobaan” bagi Adam dan Hawa sebagai bapak-ibu umat manusia. Bentuk “simbol larang” dengan segala tipu dayanya, senantiasa harus dihadapi oleh seluruh umat manusia. Khuldi yang hiperbolik tersebut dapat hanya merupakan isyarat: segala tindakan manusia akan senantiasa menghadapi cobaan, ujian, godaan—atau pilihan lainya yang sudah dipahami dan dimengerti seperti: baik-buruk, dosa-pahala, surga-neraka, hidup-mati dan lainnya. Sebab itulah, mengapa kehidupan itu dianggap sebagai pilihan, yang tentu saja, setiap pilihan memiliki sebab-akibatnya sendiri.  

Maka, ketika 3 hari yang lalu: 30 Maret—saya genap menginjak usia 28 tahun. Dan beberapa teman dan sahabat mengucapkan selamat beriring doa. Saya haturkan banyak terima yang sangat dalam: gracias!. Ucapan selamat dan doa yang ikhlas tersebut cukup menghentakkan saya untuk segera berbenah diri kembali—dalam menjalani hidup pada fase yang selanjutnya. Hal pertama yang terbesit dalam benak saya saat memasuki detik perpindahan pertambahan usia tersebut: hidup cepat berjalan dan berlalu.

Saya seakan ketinggalan kereta kehidupan yang kian cepat berjalan. Kemampuan saya berlari untuk mengejar kereta tak berarti apa-apa, kereta semakin jauh berjalan. Seperti ada banyak hal yang belum saya kerjakan. Karena terlalu banyak waktu yang saya buang secara percuma. Bukan tidak puas atas capaian yang telah saya peroleh atas apa yang telah dikerjakan—atau bahkan tidak mensyukurinya. Saya terlampau lambat menentukan visi kehidupan yang lebih real dan terencana secara jangka panjang selama tahun kemarin—atau bahkan ditahun sebelumnya. Sebab, saya hanya menentukan visi kehidupan hanya sekedar impian semu—yang kadang menguap begitu saja lewat sekadar: angan, keinginan, obsesi, target—dan cenderung hanya memikirkan mementingkan kepentingan sendiri. Barangkali, saat ini saya pun harus berbenah diri dan menentukan visi kehidupan bersama dengan banyak orang sehingga saya tidak perlu menggangap bahwa: hidup cepat berjalan dan berlalu. Dan tulisan ini menjadi tulisan untuk diri saya sendiri—sebab selama ini, saya hanya merenungkan tentang perpandangan usia bersama orang-orang yang ada disekeliling saya: Hidup, Pertemuan, Tak Lagi, Usia, Perayaan dan yang paling mendebarkan setengah nyawa saya adalah Gracias..(1).

“Cak, buka hutan dan jajah tanah orang kamu ini hati-hati. He. Yah! Yang penting masih melakukan perlawanan dari pada tidak bertindak…”

Wabil khusus, untuk sahabat saya Aminuddin Anwar (Amin) pesan pendekmu sebulan lalu itu. Isinya cukup dalam dan menggelitik isi kepala dan perasaan. Dan untuk Halim Sedyo Prasojo (Halim) suplemen pengencer otaknya buat kepala susah tidur. Maka, saat saya sudah menentukan “pilihan” diri untuk hijrah—meninggalkan zona aman dan kebersamaan kita merupakan keniscayaan yang harus dilakukan agar “kita” tidak lagi ketinggalan kereta masing-masing. Kelak, jika sudah tiba waktunya kebersamaan kita akan menjadi artefak—yang bisa dilihat banyak orang.

Ah! Abaikan saja, hal yang tidak membuat kita lebih banyak berbenah diri. Dan tidak menemukan stasiun baru untuk menaiki kereta kehidupan yang sudah kita rencanakan sebelumnya. Barangkali, kita hanya perlu bersabar dengan godaan khuldi—sehingga tidak terjungkal kembali untuk yang kesekian kalinya.  

Gracias!

0 comments: