Kehidupan selalu memiliki pilihannya sendiri. Ketika manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai penghuni alam dunia. Maka pilihan sebagai pemimpin atas dirinya dan alam sekitarnya melekat secara mandiri. Tumbuh sebagai proses alamiah: dilatih, dibina dan dikembangkan sehingga pada akhirnya pilihan tersebut menjadi kumpulan elemen tentang keseimbangan dunia—dalam bahasa diekonomi disebut sebagai titik equilibrium atau falah.
Nah,
pertanyaan yang paling mendasar: mengapa kehidupan itu disebut sebagai pilihan?
Sejak Adam dan Hawa memutuskan mengambil tindakan untuk memakan buah khuldi—buah yang dilarang untuk dimakan
di dalam surga. Dari sinilah awal manusia mengambil pilihan atas kehendak diri
yang lahiriah tersebut. Ia memilih pilihan tindakan yang dilarang, sekalipun
resiko yang dihadapi atas tindakan pilihan tersebut sudah nyata bentuk dan
jenis hukumannya. Oleh sebab itu, pilihan tindakan Adam dan Hawa sebagai bentuk
sebab akibat harus meninggalkan surga dan menjadi penghuni bumi. Sekalipun,
pilihan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa merupakan pilihan yang tidak terlepas
dan campur tangan pihak lain: iblis.
Walaupun, Adam dan Hawa—tidak
memakan buah khuldi. Tuhan akan
selalu punya banyak rencana memberi peringatan terhadap manusia, sebab sebelum
Adam dan Hawa diciptakan: Tuhan sudah menjelaskan alasan mengapa menciptakan
manusia pada hamba ciptaannya yang lain. Barangakali, buah khuldi merupakan “simbol cobaan” bagi Adam dan Hawa sebagai
bapak-ibu umat manusia. Bentuk “simbol larang” dengan segala tipu dayanya,
senantiasa harus dihadapi oleh seluruh umat manusia. Khuldi yang hiperbolik tersebut dapat hanya merupakan isyarat:
segala tindakan manusia akan senantiasa menghadapi cobaan, ujian, godaan—atau
pilihan lainya yang sudah dipahami dan dimengerti seperti: baik-buruk,
dosa-pahala, surga-neraka, hidup-mati dan lainnya. Sebab itulah, mengapa
kehidupan itu dianggap sebagai pilihan, yang tentu saja, setiap pilihan
memiliki sebab-akibatnya sendiri.
Maka, ketika 3 hari yang lalu:
30 Maret—saya genap menginjak usia 28 tahun. Dan beberapa teman dan sahabat
mengucapkan selamat beriring doa. Saya haturkan banyak terima yang sangat dalam:
gracias!. Ucapan selamat dan doa yang
ikhlas tersebut cukup menghentakkan saya untuk segera berbenah diri kembali—dalam
menjalani hidup pada fase yang selanjutnya. Hal pertama yang terbesit dalam
benak saya saat memasuki detik perpindahan pertambahan usia tersebut: hidup
cepat berjalan dan berlalu.
Saya seakan ketinggalan kereta
kehidupan yang kian cepat berjalan. Kemampuan saya berlari untuk mengejar
kereta tak berarti apa-apa, kereta semakin jauh berjalan. Seperti ada banyak
hal yang belum saya kerjakan. Karena terlalu banyak waktu yang saya buang
secara percuma. Bukan tidak puas atas capaian yang telah saya peroleh atas apa
yang telah dikerjakan—atau bahkan tidak mensyukurinya. Saya terlampau lambat
menentukan visi kehidupan yang lebih real
dan terencana secara jangka panjang selama tahun kemarin—atau bahkan ditahun
sebelumnya. Sebab, saya hanya menentukan visi kehidupan hanya sekedar impian
semu—yang kadang menguap begitu saja lewat sekadar: angan, keinginan, obsesi,
target—dan cenderung hanya memikirkan mementingkan kepentingan sendiri. Barangkali,
saat ini saya pun harus berbenah diri dan menentukan visi kehidupan bersama
dengan banyak orang sehingga saya tidak perlu menggangap bahwa: hidup cepat
berjalan dan berlalu. Dan tulisan ini menjadi tulisan untuk diri saya
sendiri—sebab selama ini, saya hanya merenungkan tentang perpandangan usia
bersama orang-orang yang ada disekeliling saya: Hidup, Pertemuan, Tak Lagi, Usia, Perayaan dan yang paling mendebarkan setengah nyawa saya adalah Gracias..(1).
“Cak, buka hutan dan jajah tanah orang kamu ini hati-hati. He. Yah! Yang penting masih melakukan perlawanan dari pada tidak bertindak…”
Wabil
khusus, untuk sahabat saya Aminuddin Anwar (Amin) pesan pendekmu sebulan lalu
itu. Isinya cukup dalam dan menggelitik isi kepala dan perasaan. Dan untuk
Halim Sedyo Prasojo (Halim) suplemen pengencer otaknya buat kepala susah tidur.
Maka, saat saya sudah menentukan “pilihan” diri untuk hijrah—meninggalkan zona
aman dan kebersamaan kita merupakan keniscayaan yang harus dilakukan agar “kita”
tidak lagi ketinggalan kereta masing-masing. Kelak, jika sudah tiba waktunya
kebersamaan kita akan menjadi artefak—yang bisa dilihat banyak orang.
Ah!
Abaikan saja, hal yang tidak membuat kita lebih banyak berbenah diri. Dan tidak
menemukan stasiun baru untuk menaiki kereta kehidupan yang sudah kita
rencanakan sebelumnya. Barangkali, kita hanya perlu bersabar dengan godaan khuldi—sehingga tidak terjungkal kembali
untuk yang kesekian kalinya.
Gracias!
0 comments:
Posting Komentar