Ntahlah,
Aku tidak tahu harus
memulai tulisan ini dari mana. Tapi, tiap kali aku melihat pajangan iklan salon
kecantikan diatas itu, yang biasa di jumpai diperempatan lampu merah Wirobrajan
dan Malioboro. Rasanya kedua tanganku gemetaran untuk segera menyentuh
keyboard komputer, untuk sejenak melepaskan rasa penarasan di tempurung kepala.
Benak pun terasa bergejolak karena perasaan yang timpang terhadap gambar iklan
kecantikan yang janggal—lebih-lebih selama ini, cantik dipahami dalam
mainstream dunia kecantikan: wanita cantik itu tinggi, putih, rambut panjang
dan langsing. Seperti konsep cantik komersil yang selama ini dijejali di layar
televisi. Dan tentu saja gambar
perempuan diatas, (Maaf) tak masuk dalam kriteria mainstream cantik komersil
yang selama ini dikampanyekan. Hal tersebut terlihat dari tulisan disebelah
gambar perempuan tersebut yang terasa berat hati.
Pesona eksotik kulitmu, kebanggaan wanita Indoensia. Cantik tidak hanya kulit luar.. Sehat dari dalam
Iklan baligho salon
kecantikan tersebut diatas, barangkali hanya cara untuk melakukan branding untuk menggaet para pelanggan
baru. Oleh karena itu, dibutuhkan cara beriklan unik dan tidak selalu sama. Yah! Memang begitulah jika “cantik” itu
sudah memasuki komoditas—yang bisa menghadirkan hukum demand dan suplay. Bahkan
pabrik tertentu tak cukup mengeluarkan merk tertentu, dari ujung rambut hingga
ujung kaki, dari salon pinggir jalan hingga berkelas, dari perawatan harian
hingga mingguan. Karenanya, tidak mengherankan jika seorang Kite Middleton
harus mengeluarkan uang sekitar 350 juta pertahun demi memelihara
kecantikannya.
Glamor gelar “cantik”
yang kemudian melekat pada produk tertentu. Tidak hanya menyebabkan loyalitas
pada produk, tapi mengarah pula pada penciptaan kekuasaan baru yang
paradigmatik. Hadirnya mainstream dunia kecantikan: wanita cantik itu tinggi,
putih, rambut panjang dan langsing pun tak bisa dielakkan. Padahal secara
geografis, masyarakat wanita negeri ini tak bisa sama-padankan dengan orang
barat—yang lebih memenuhi konsepsi yang ditelah dibentuk sebelumnya. Barangkali,
inilah satu dampak globalisasi kecantikan yang dilematik ini. Rasanya, semakin
lama cantik menjadi memilukan dan menyakitkan. Yang tidak menutup kemungkinan
terjurus pada pandangan problemik masyarakat Romawi dan Yunani kuno—yang tak
bisa menghargai kaum perempuan
Ah! Silahkan saja menemukan kesimpulan sendiri: saat
melihat sendiri iklan salon kecantikan.
0 comments:
Posting Komentar