Asma Insomnia



26 Januari 2014. 02.30. Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, Zivara. 

Aku dan kamu masih saja mengalami situasi yang berbeda. Namun, nampak begitu sama saat harus melalui saat-saat menegangkan ini. Menjelang dini hari seakan menjadi suasana sulit untuk kita lalui: dengan cara yang menyenangkan. Selalu saja, saat seperti ini begitu menegangkan dan menguras banyak keringat dan kepala yang mulai sempoyongan kesana kemari. Kantuk dan bola mata seperti sedang kurang akur. Mereka seakan memiliki dunianya sendiri. Meski mendiami tubuh yang sama.

Kamu yang melawan penyakit asmamu, aku yang harus melawan insomnia: yang kadang kumat, tanpa harus permisi terlebih dahulu. Anehnya, mengapa penyakit yang kita alami ini malah: saling akrab untuk menentukan waktu, kapan harus dimulai. Barangkali, suasana ini menjadi episentrum kita menemukan cara untuk saling melengkapi. Aku bisa menemanimu dengan bercerita lebih lama, membisikkan sebanyak mungkin mantera pengusir penyakit, saling tersenyum atas penderitaan suasana yang kadang menegangkan dan menyebalkan: atau bahkan malah bertanya mengapa "penyakit ini harus hadir secara bersamaan". Tapi, sudahlah segala apa yang kita lalui sekarang ini. Tak lain sudah menjadi kehendak dari Tuhan semesta alam. Dan rencana kita, yang kadang tak begitu bijak menghargai keberadaan alam semesta.

"Bawa shalat tahajud dulu, yuk!" ajakmu, saat aku harus berkali-kali mendatangi kamarmu. Untuk mengantarkan apa yang sedang kamu butuhkan mengobati penyakit bawaanmu itu. Ajakan, yang sudah lama tidak aku dengar: selain demontrasi ajakan itu hadir dari panggilan ibuku dari pintu kamar, saat masih di rumah. 

Tanpa pikir panjang: kita shalat malam secara bersama, dikamar yang hanya berukuran 3x4 itu. Hal yang baru pertama kali kita kerjakan, sejak kita saling mengikat hubungan dan pertunangan: yang sudah menginjak 19 bulan ini. Barangkali, ini berlebihan. Tapi, tidak untukku yang harus belajar menjadi pemimpinmu: yang rencananya dilaksanakan 30 Mei tahun ini. 

Kamu ikut mengamini doa yang aku lantunkan, seakan kita sudah menjadi pasangan yang sah: tidak saja secara hukum, melainkan secara agama. Dan saat yang kita lalui ini, tak memiliki kedua persyaratan tersebut. Kita hanya bisa menanti dan mengerjakan hal baik: yang bisa mendatangkan keberkahan dan kebaikan untuk kita berdua dimasa yang akan datang. Kalaupun hal ini salah secara etika: setidaknya, kita bisa melalui masa-masa menegangkan penyakit kita ini: dengan cara kita sendiri.

0 comments: