Khitbah [2]



“Iya, saya menerima” jawabmu sambil mengangguk. Saat seorang sesepuh dari keluargamu menanyakan ulang tentang permintaanku di Minggu pagi 1 September itu.

Minggu pagi kemarin itu cukup menegangkan. Keringat dingin mengucur deras di kedua telapak tanganku. Apalagi seluruh bola mata diruang tengah itu meneropong tepat kearahku. Sekalipun, kamu duduk mematung tepat disebelahku dengan menatap dalam-dalam. Aku masih saja dalam keadaan gugup. Lebih gugup—dari pendadaran.

Aku menepati permintaan—khitbah yang sering kamu tanyakan. Menapaki mantra Tidak ada kesempurnaan, jika kita tidak berani menapaki langkah yang pertama. Harapan dan kebahagiaan pun terpendar jelas dari dua sudut keluarga—yang beda budaya, adat, daerah dan sistem cara berfikir. Semua sepakat dengan Februari.

Lewat perbedaan, kita mulai belajar dan merenung jauh lebih mendalam. Agar kelak tidak ada jurang perselisihan. Dengan perbedaan segala hal bisa menemukan identitas diri yang lebih jujur. Tidak perlu dibuat-buat. Ataupun tidak perlu mengoleskan bedak identitas lain hanya untuk menyenangkan pihak lain, dan menyiksa diri sendiri. Semua seperti dirinya sendiri.

Dan tepat hari ini, tanggal 3 hubungan kita sudah menginjak usia ke-15 bulan. Untaian doamu malam tadi—laksana halilintar yang memencak mendung hitam—keras juga khusyuk. Ponsel kita benar-benar membuat kuping menjadi mengembang panas. Tetapi barangkali, tidak akan ada harapan bagi seseorang, jika sudah melupakan doa dalam tiap keadaan. Biarlah doa yang menjadi komando atas segalanya.

Dalam layang renungan, aku ingin masih tetap berceloteh. Sekalipun tidak selalu tentang dirimu. Sambil membiarkan orang-orang disekitar berfikir apa yang sebenarnya—aku, kamu dan mereka—lakukan. 


0 comments: