“Iya, saya menerima” jawabmu sambil
mengangguk. Saat seorang sesepuh dari keluargamu menanyakan ulang tentang
permintaanku di Minggu pagi 1 September itu.
Minggu pagi kemarin itu cukup menegangkan.
Keringat dingin mengucur deras di kedua telapak tanganku. Apalagi seluruh bola
mata diruang tengah itu meneropong tepat kearahku. Sekalipun, kamu duduk
mematung tepat disebelahku dengan menatap dalam-dalam. Aku masih saja dalam
keadaan gugup. Lebih gugup—dari pendadaran.
Aku menepati permintaan—khitbah
yang sering kamu tanyakan. Menapaki mantra Tidak ada kesempurnaan, jika kita tidak berani menapaki langkah yang
pertama. Harapan dan kebahagiaan pun terpendar jelas dari dua sudut
keluarga—yang beda budaya, adat, daerah dan sistem cara berfikir. Semua sepakat dengan Februari.
Lewat
perbedaan, kita mulai belajar dan merenung jauh lebih mendalam. Agar kelak
tidak ada jurang perselisihan. Dengan perbedaan segala hal bisa menemukan
identitas diri yang lebih jujur. Tidak perlu dibuat-buat. Ataupun tidak perlu
mengoleskan bedak identitas lain hanya untuk menyenangkan pihak lain, dan menyiksa
diri sendiri. Semua seperti dirinya sendiri.
Dan tepat hari ini, tanggal 3 hubungan
kita sudah menginjak usia ke-15 bulan. Untaian doamu malam tadi—laksana
halilintar yang memencak mendung hitam—keras juga khusyuk. Ponsel kita benar-benar membuat kuping menjadi mengembang
panas. Tetapi barangkali, tidak akan ada harapan bagi seseorang, jika sudah
melupakan doa dalam tiap keadaan. Biarlah doa yang menjadi komando atas
segalanya.
Dalam layang renungan, aku ingin masih
tetap berceloteh. Sekalipun tidak selalu tentang dirimu. Sambil membiarkan
orang-orang disekitar berfikir apa yang sebenarnya—aku, kamu dan
mereka—lakukan.
0 comments:
Posting Komentar