Sehari
lalu, di utara Pasar Serangan..
Suasana pasar Serangan sudah beranjak
padat. Hulu lalang masyarakat kian menampakkan diri. Ada ragam jual-beli
terjadi. Hari masih baru menampakkan sekitar setengah jam yang lalu.
Tapi ada pemandangan yang berbeda. Saat mobil
Avansa warna hitam berhenti di ujung Ruko Jalan Amri Yahya. Ia memuntahkan tiga
orang pemuda bersarung, berkopiah dan mengenakan baju koko. Di tangan mereka
digenggam baskom besar terbuat dari plastik. Serta sebuah megaphone kecil yang
sengaja di kalungkan di salah satu pemuda tersebut.
Tak berapa lama usai menaruh ketiga pemuda
tersebut. Mobil Avansa hitam itu berlaku meninggalkan mereka. Padahal dalam
mobil itu masih tertinggal dua orang yang berpakaian sama. Tinggallah tiga
orang pemuda yang masih berdiskusi kecil. Selang lima menit kemudian. Baskom yang
terbuat dari plastik sudah berisi uang pecahan seribu, dua ribu dan lima ribu. Aku
tidak tahu dari mana datangnya uang itu. Sebab, saat turun mereka memegangnya
dalam keadaan terbalik.
“maaf mengganggu. Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-sadara. Kami dari panti asuhan ..(sensor).. ingin mohon bantuannya untuk pembangunan asrama”
Begitulah kira-kira yang sampaikan salah
seorang pemuda itu. Mereka pun mendatangi deretan ruko. Kemudian memasuki
pasar. Ini bukan aksi demonstasi, melainkan parade simbol yang membingungkan. Tak
memberi rencengan asa menjadi kufur. Memberi menimbulkan tanya yang
menggantung. Apakah benar akan sampai sasaran?.
Memang tak bisa dielakkan. Dalam banyak
ruang, agama—dihadirkan dalam simbol cenderung memaksa. Ada kontes Da’I via polling SMS, Miss World Muslimah antithesis
Miss World, parpol islam vis a vis
parpol sekuler, aturan-aturan formalism syariat kontra konstitusi
sosiologi-kultural, pakaian hijab solusi pakaian seksi, tukang razia tempat
mesum, juru dakwah bertarif seleb—serta deretan kontradiksi pemahaman lainnya. Dan
celakanya, semua mengaku paling benar.
Ajaran agama menjadi pertetangan sengit
kala mendekati perebutan kekuasaan. Tapi menjadi mesra dalam kepentingan
perekonomian. Makanya, tidak jarang bisnis dalam komersialisasi agama menjadi
hal yang hampir tidak ada rugi dan mati. Ya!
mula-mula, umat dipaksa menjadi deretan massa yang loyal hanya dengan layangan
fatwa. Ajaran agama kemudian dianggap menjadi ruang saling menyalahkan, mencari
ketentraman—juga mobilisasi. Padahal, hakikat keberagamaan bertujuan untuk
membentuk kesadaran. Sadar akan Tuhan, alam dan diri sendiri.
Agama
Dalam Koin
Masih dalam konteks cerita diatas. Hampir tiap
saat disudut kota, lampu merah, tempat ibadah maupun fasilitas umum belakangan
ini banyak disesaki para peminta-minta. Mulai dari yang mengalami
ketidaksempurnaan fisik, manula hingga anak-anak. Motifnya juga hampir sama,
yakni mengharap derma dari sebagian orang.
Penghasilan para pengemis ini pun tidak
bisa dianggap remeh. Mereka bisa mendapatkan puluhan hingga ratusan rupiah
setiap kali mengemis. Untuk daerah seperti Jakarta, seorang pengemis bisa mengantongi
penghasilan antara 750 sampai 1 juta rupiah dalam sehari. Jika dihitung
rata-rata dari penghasilan tersebut, seorang pengemis bisa mengantongi
pendapatan 30 juta dalam sebulan. Jumlah yang tidak sedikit bagi sebuah
kebiasaan. Kebiasan mengiba ini pun tidak bisa dipahami hanya dengan kemiskinan
yang melilit, melainkan rendahnya mental yang dimiliki.
Upaya berderma dengan cara karitas bisa
diminalisir dengan cara memberikannya kepada lembaga filantropi maupun lembaga
sosial profesional yang berkonsentrasi dalam pemberdayaan masyarakat. Sebab proses
pelayanan yang dilakukan oleh lembaga filantropi dalam konteks pemanfaatkan
dana sosialnya, sudah melakukan bentuk pelayanan yang bersifat advokasi. Sehingga
pemanfaatan dana akan jauh lebih terasa bagi kaum mustadh’afin, selain didukungan program yang lebih tersistematis
dan laporan keuangan yang lebih akuntabel dan transparan.
Itulah, pekerjaan yang tidak gampang dalam
urusan—meminta-minta.
Sumber (gambar)
0 comments:
Posting Komentar