Jelang fajar, 30 Juni 2013
Matahari masih
3 jam lagi menampakkan diri. Cuaca arah jalan Godean begitu cukup dingin,
menusuk tulang. Knalpot tiga motor terus membatuk, menyusuri pagi yang disesat
ditengah komplek perumahan Nogotirto Yogyakarta.
Jelang
adzan subuh kami pun terparkir di halaman masjid Nogotirto. Masjid yang berada
disebelah rumah Buya Syafii yang berukuran 170 persegi itu. Rona senyum pun
terpancar dari keempat teman saya di MIM Indigenous School—Halim, Adit, Janan
dan Ikhsan.
Umumnya
kebanyakan orang yang ingin bertemu dengan Buya Syafii, tapi juga tidak
melakukan kesepakatan khusus bertemu dengan beliau sebelumnya. Bisa menemui
Buya saat-saat waktu shalat—terutama shalat subuh. Buya selalu ada di masjid
ini untuk shalat berjamaah. Sama halnya dengan pagi ini. Kami hanya mengabari
via SMS.
Jamaah dua Shaf dalam masjid perlahan lenyap secara
bergilir selesai shalat subuh. Hingga nampak terang hamparan sajadah panjang
terlentang. Buya Syafii duduk dibarusan paling belakang. Sambil berbisik kecil
dengan jamaah yang sepantaran angkatan usianya. Kami pun menghampiri Buya
Syafii dan mencium tanganya. Persis santri ketika bertemu Kyai.
Seakan sudah
mengetahui maksud kedatangan kami. Buya Syafii pun diminta mengenalkan diri,
meski sebelumnya kami juga pernah bertemu dan berbincang. Setelah itu, Buya
mengajukan pertanyaan, apakah kami sudah membaca buku “Islam Yang Berkemajuan”.
Buku yang berisi tentang gagasan Kyai Syujak tentang Muhammadiyah dimasa awal.
Menurut Buya Syafii, buku tersebut begitu penting untuk mengaca kembali
bagaimana seharusnya ber-Muhammadiyah dan ber-Islam. ihwal fondasi mengenal gagasan besar Muhammadiyah.
Buya Syafii
diusianya yang memasuki 78 tahun. Tentu saja sudah banyak mencicipi garam
kehidupan. Mulai meninggalnya ibu diusia Buya yang baru 18 bulan, hingga
meninggalnya kedua puteranya diusia yang masih muda. Buya dengan telaten
menjelaskan kepada kami tentang perkembangan Muhammadiyah, tak terkecuali hasil
perjalannya dari Makasar—untuk menghadiri Milad Unismuh dan bedah buku terbaru
beliau Memoar Seorang Anak Kampung. Hingga kini Buya masih tetap menggap diri
sebagai anak kampung. Dan keberhasilan yang diraihnya saat ini, bukan dengan
perjalanan yang instan, melainkan dengan perjuangan yang panjang. Yang patut
ditiru dari salah satu resep kebersilan Buya Syafii yakni “selalu
mencuri waktu tidur untuk membaca”
Al Qur’an itu sangat dewasa, hanya saja
manusianya yang kurang dewasa. Sehingga bagi Buya Syafii, islam sebagai agama
yang rahmatan lil alamin itu harus bisa
menyentuh seluruh umat manusia—kalau pun ada kaum atheis bergaul. Jika perlu kalau ada setan yang buka sekolah, masuk.
Buya selalu mengulang kata agar kita bergaul dengan siapa saja untuk membuka wawasan
sebab umat islam tidak boleh memberhalakan sejarah. Penuturan Buya Syafii yang
tulus, Nampak jelas dari segala ragam ekspresi tubuhnya, yang mempertegas
kematangan spiritual dan intelektual seorang Ahmad Syafii Ma’arif. Kami seperti
melihat langsung Fazlur Rahman dari dalam diri Buya Syafii—sebab kami hanya
bisa menikmati karya Fazlur Rahman lewat beragam karya pemikirannya yang cukup
fenomenal. Barangkali karena Buya Syafii murid langsung dari Fazlur Rahman,
yang seorang pemikir besar itu.
Saya mencoba menanyakan kepada Buya
Syafii, mengenai arogansi kelompok yang selalu mengganggap diri sebagai kuasa
tuhan dimuka bumi. Menggagap diri sebagai paling benar—dan kelompok lain yang
tak sepaham dengannya dianggap pendusta agama. Hal itu mengarah kepada mereka
yang begitu phobia dengan pluralisme.
Bagi Buya Syafii, pluralisme hanyalah paham yang mengakui adanya
keberaneragaman. Dan hal tersebut tergambar dalam kedewasan Al Qur’an melihat
perbedaan yakni dari ayat yang menerangkan bahwa manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, sehingga dalam konteks ini perbedaan dan keberagaman sesama
anak manusia tidak bisa ditolak.
Anggapan pluralisme mancampur-aduk ajaran
agama hanyalah pandangan yang sempit melihat perbedaan dan keberagaman. Jauh
lebih dari itu bagi Buya Syafii, orang yang sadar akan ajaran agamanya sangat
kecil akan pindah agama. Dan jika ada manusia yang tidak mau menerima perbedaan
dan keberagaman. Sebaiknya tidak perlu datang ke muka bumi—nalar tegas Buya
Syafii ini, tak lain bentuk membumikan ajaran islam lebih inklusif, setara,
damai dan manusiawi .
Ada sebuah harapan besar dari Buya Syafii
di Muhammadiyah yaitu, lebih banyaknya kader pemikir, sehingga menjadi rujukan
inspirasi bagi banyak orang—hal senada yang juga pernah dikemukakan Moeslim
Abdurrahman, mantan direktur lembaga yang dirikan Buya Syafii yakni menjadikan
Muhammadiyah sebagai rumah berfikir, ditengah banyaknya kader yang shaleh
beramal di Muhammadiyah. Karenanya, Buya tak pernah bosan untuk selalu
mewanti-wanti agar kader Muhammadiyah tidak hanya bergaul kedalam, melankan
bisa open minded, agar wawasannya
selalu berkembang. Bagi Buya Syafii kelompok yang merasa besar di dalam, tidak
akan punya masa depan.
Perbincangan hangat kami diawal pagi pun
diakhiri dengan pesan kepada kami di MIM Indigenous School “Buka otak, buka hati dan buka jantung untuk
membaca fenomena sosial”.
0 comments:
Posting Komentar