Berita KR 19/7/2013
halaman 8 yang memuat mengenai bentrok warga dengan ormas Front Pembela Islam
(FPI) di Sukorejo Kendal yang menewaskan 1 orang dan merusak beberapa kendaraan
sungguh begitu disayangkan. Apalagi hal tersebut terjadi saat bulan puasa. Niat
baik untuk memberantas penyakit masyarakat, malah justru berujung keresahan
masyarakat. Bila saja niat baik dilakukan dengan lebih humanis, barangkali
kejadian tragis ini bisa diantisipasi sebelumnya.
Bentuk sweeping ormas manapun, yang berujung pada
kekisruhan dan kekerasan di masyarakat merupakan bentuk tindakan sangat tidak
dibenarkan, sebab sweeping yang dilakukan justru terkesan
mengeliminir fungsi pihak aparat. Apalagi bentuk sweeping belakangan ini, justru tidak jarang
berujung dengan tindak kekerasan maupun pengrusakan. Karenanya, mempercayakan
kepada pihak aparat sebagai pihak yang bertanggung jawab merupakan cara yang
jauh lebih logis, daripada menujukkan arogansi atas sebuah tindakan. Apalagi,
hampir sebagian besar pemerintah terkait jelang bulan suci atau hari besar
keagamaan melarang larangan atau pembatasan jam operasional tempat hiburan.
Letak anomali sweeping ormas dapat terlihat dengan tiga
hal. Pertama, sweeping kerapkali dilaksanakan pada bulan
tertentu seperti bulan Ramadan, alasan yang sering terlontar untuk menjaga
hikmat beribadah, padahal realitanya masih banyak masyarakat yang kurang nyaman
dan terganggu, sehingga bentrok ormas dengan warga tidak bisa dihindari. Kedua,
bentuk sweeping yang dilakukan untuk memberantas
penyakit masyarakat, kadangkala berujung dengan pengrusakan maupun penyetaan
secara sepihak seperti yang terjadi di daerah Depok beberapa hari yang lalu.
Ketiga, aksi sweeping ormas menimbulkan kesan
ketidakpercayaan terhadap aparat untuk menjaga keamanan, ketertiban dan
kenyamanan di masyarakat. Aksi sweeping ormas yang frontal justru mengambil
alih peran aparat dan mengaburkan simpatik dari masyarakat.
Seharusnya, bentuk
simpatik bisa dilakukan dengan cara-cara yang jauh lebih elegan. Terlebih yang
memberi bentuk simpatik berasal ormas lebel agama tertentu. Bukankah
menyampaikan pesan kebaikan dan ajaran agama tidaklah harus dengan cara yang
frontal, melainkan masih bisa dilakukan dengan kebaikan (hikmah). Jika
kemungkaran dihadapi dengan kemungkaran, pada akhirnya juga akan menghadirkan
kemungkaran yang baru.
Stigma kekerasan
Sweeping merupakan salah satu bentuk
cara untuk menangani atau menjaga sebuah aturan. Dimana bentuk aturan yang
berlaku bisa ditegakkan tanpa adanya pelanggaran ataupun meminimalisir
pelanggaran dari aturan tersebut. Sweeping bisa dianggap sebuah ekspresi atau
sikap atas sebuah keadaan yang dianggap kurang ideal dari keadaan tertentu.
Bentuk keadaan tersebut bisa berasal dari pemahaman terhadap aturan, pemahaman
keagamaan, pemahaman budaya dan lainnya. Jadi, Sweeping bisa menjadi dua sisi yang saling
terikat untuk menghapus atau menangani sesuatu. Sisi tersebut bisa positif dan
negatif, tergantung dari sudut pandang tersebut bermula.
Bentuk sweeping ormas agama yang tidak jarang berujung
dengan kekerasan, menimbulkan kesan tindak kekerasan termanifestasi dari sebuah
ajaran agama. Pemahaman keagamaan yang dipahami oleh kelompok tertentu, yang
cenderung memaksakan untuk bisa diterima oleh kelompok yang lain atau bahkan
yang berbeda agama tidak bisa dibenarkan begitu saja. Ahmad Syafii Ma’arif
pernah menyebut kelompok yang menggunakan kekerasan dalam menyampaikan nilai
luhur agama dengan sebutan “preman berjubah”. Jauh sebelumnya Nurcholis Madjid
pernah menulis artikel berjudul “Pesan untuk Generasi Muda” yang berisi tentang
pentingnya menggali kembali wawasan keagamaan yang al-hanifah al-samhah, pesan
yang berisi tentang keberagaman yang kelapangan dan sikap toleran.
Dalam kontek sweeping, kedua tokoh ini memberikan isyarat
bahwa agama harus mampu memberikan kesejukan terhadap seluruh umat manusia,
termasuk bagi mereka yang melakukan kemungkaran. Oleh sebab itu, pendekatan
yang lebih humanis menjadi kunci untuk menyelesaikan perbedaan dan kesalahan,
sehingga konflik maupun kekerasan atas nama apapun, termasuk nama agama tidak
bisa dibenarkan. Dari sinilah pendekatan dan tingkat kesadaran menemukan ruang
untuk saling bertukar dan memahami.
Link gambar (klik)
0 comments:
Posting Komentar