Selesai shalat Jum’at kemarin…
“Cak, bentar…”
sapa teman saya dari belakang, saat kami di parkir deretan sandal dan sepatu
Masjid kami shalat Jum’at. Saya pun menoleh kearahnya.
“sudah baca
bulletin ini? aneh isinya” imbuhnya lagi sambil menyodorkan bulletin Jum’at
yang dipegangnya.
“di halaman
awal itu ya” jawab saya. saya pun hanya tersenyum. Seakan saya tahu maksud dari
apa yang ia ceritakan.
“iya, kasar!”
“udahlah tidak
usah dihirauin. Memang begitu aja isi bulletin ini tiap minggunya. Suka
memprovokasi. Hehe..” jawab saya menambahi apa yang dianggap kasar oleh teman saya
itu. Di halaman awal bulletin itu tertulis.
“Hari ini 92 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 28 Rajab 1342/3 Maret 1924 M, Musthafa Kamal la’natullah ‘alayh, seorang Yahudi asli, anggota Free Masonry dan antek Inggris telah menghancurkan Khilafah Islamiyah di Turki…”
Begitulah
petikan selebaran Buletin Dakwah Al Islam
Hizbut Tahrir Indonesia yang menyerbu sebagian besar Masjid jelang shalat
Jum’at kemarin siang. Pembukan tulisan di bulletin diatas cukup menggelitik
perasaan—mendoakan “laknat” terhadap seorang yang dianggap sebagai aktor yang
meruntuhkan sistem khilafah Turki Usmani. Kami pun sejenak duduk sebentar di plataran
masjid.
“Tapi jangan
sampai mendoakan laknat seperti itu-lah.
Himbauan kebaikan kok juga dibumbui doa yang kurang mendidik. Apa alasan
mendasar Musthafa Kamal atau Atatürk mendapatkan doa laknat di bulletin itu. Apakah karena ia telah membubarkan
sistem Khilafah yang dianggap Atatürk sebagai
tradisi tua nan usang itu” ujar teman
saya dengan begitu reaktif. Saya pun memakluminya, sebab waktu masih sekolah
teman saya ini begitu menyukai gagasan Mustafa Kamal.
“Kamu kan sudah tahu jawabannya itu. Tak perlu
rektif seperti itulah Bro. Apa
bedanya kamu dengan prolog bulletin itu. Tak perlu berlebihan juga kamu
bersikap” ingat saya kepada teman yang sedang memasang bungkus kakinya itu. Saya
mendengarkan keluh ketidak-setujuannya terhadap prolog bulletin itu dengan
sangat setia.
Benar! Atatürk merupakan orang dibalik
keruntuhan sistem kekhalifahan Turki Usmani yang berkuasa selama 6 abad
(1299-1923). Era kekhalifahan Turki Usmani dengan 36 sultan yang memimpin bisa
dianggap puncak kemajuan lslam dan sekaligus tahap era keruntuhan kecemerlangan
itu, yang ditandai dengan gagalnya pasukan Turki Usmani dalam penaklukan Wina
tahun 1983. Kemudian diperparah dengan adanya perjanjian 25 tahun Carltouiz pada 26 Januari 1699 yang
membagi kekuasaan Turki Usmani pada Austria, Rusia, Venesia, Polandia dan
inggris.
Ditengah kian
melemahnya Turki Usmani kian larut apalagi dengan wafatnya Ali Pasya (1871)
yang kemudian digantikan oleh para Ustmani Muda. Dimana kaum Ustmani muda
merupakan sekumpulan kaum intelektual kerajaan tahun 1865 yang menentang
keabsolutan Sultan. Kelompok ini bertujuan untuk merubah keabsolutan kesultanan
menjadi konstitusional. Namun, perkumpulan ini pun tidak begitu kuat dikarenakan kurangnya dukungan dari golongan
menengah yang berpendidikan dan kuat perekonomiannya. Baru setelah itu lahirlah
Turki Muda—kalangan intelektual yang lari keluar negeri dengan tetap menjadi
oposisi agar keabsolutan sultan harus di batasi. Kelemahan Turki Usmani pun
kian berlanjut dengan kekalahan perang Balkan 1912-1913 dan Treaty of Bukhares 1913 yang menyebabkan
80 % kekuasaan Turki Usmani berpindah ketangan Rusia dan sekutunya. Bahkan
termasuk setelah kalahnya Jerman yang didukung Turki Usmani pada perang dunia I
tahun 1918.
Kelemahan Turki
Usmani dalam rentang masa tersebut, masih diantipasi jurang kehancurannya dengan mengambil ide-ide bangsa Eropa dengan tanpa
kehilangan identitas bangsanya. Salah satunya dengan westernisasi, Sekularisasi
dan Nasionalisasi seperti yang dilakukan oleh Mustafa Kamal dengan tujuan
menyelamatkan Turki Usmani dari kehancuran dan penjajahan kolonial Barat. Tahun
29 Oktober 1923 Turki memproklamirkan terbentuknya Republik Turki dengan
Mustafa Kamal sebagai presiden Republik Turki setelah sebelumnya menghapus
lembaga kesultanan para November 1922—Mustafa Kamal pun popular dengan sebutan
Bapak Turki (Atatürk).
“Yang dilakukan
oleh Atatürk juga tidak sepenuhnya
salah bukan?” kembali keluh teman saya, sambil memasukkan bulletin Al Islam yang dipegangnya kedalam saku
bajunya.
“Barangkali, kondisi
pada saat itu pemikiran Atatürk memang dibutuhkan untuk menyelamatkan bangsa Turki, tak terkecuali kaum muslim.
Sekalipun pada akhirnya menentang kekuasaan Sultan” tenang saya pada teman saya
tersebut.
Kendati Atatürk menghapus UU syariat Islam
dengan Western Legal Code (WLC) yang
merupakan UU sipil Swiss, hukum pidana Italia dan UU perdagangan Jerman. Tetapi
hukum islam juga masih masih dipertahankan meski hanya dalam urusan al ahwal al siyasah. Tentu saja, WLC
memiliki kelemahan dalam penerapannya, termasuk masih menghadirkan banyak
perdebatan. Sekularisasi yang dilakukan Atatürk selain masalah kenegaraan, hukum, keagaamaan juga berlaku dibidang
pendidikan dengan menghapus pendidikan agama di sekolah-sekolah tahun 1935,
termasuk menutup Madrasah dan mengganti pelajaran bahasa Arab menjadi bahasa
Latin. Atatürk pun wafat tanggal 10 November 1938 setelah memimpin Republik
Turki selama 3 periode.
Apa yang
dilakukan Atatürk di Turki tidak
sepenuhnya salah juga tidak sepenunya benar. Semua tergantung pada sudut mana
pandangan kita berpijak. Bagi yang mendukung kekhalifahan Usmaniyah akan
memandang Atatürk sebagai
pengkhianat kaum muslim, sedangkan mereka yang mendukung perlunya ada pembatasan
obsoluditas Sultan mengganggap Atatürk sebagai penyelamat kehancuran Turki secara total—sekai lagi, untuk menilainya tergantung
dimana pada posisi kita memijakkan pandangan.
“Apakah kita
perlu membangun sistem kekhilafahan itu kembali pada saat ini Bro?” tanya teman
saya. Saya pun tersudut
“Saat ini, sebagian
besar kondisi daerah yang di tempati orang-orang muslim sudah menjadi negara (nation) tidak lagi menjadi negara federasi
islam yang utuh seperti dulu. Tentunya, dengan
segala macam undang-undang yang sudah berlaku yang tak berpijak secara tektual
kepada hukum islam. Namun, hukum islam secara subtansial sudah menjadi hukum
yang berlaku, termasuk di negeri ini. Begitu pula, pemimpin kita juga shalat
dan mengerjakan kebaikan. Lantas atas dasar apa kita tidak menaatinya.
Sekalipun tidak seideal yang kita pelajari ini, Bro” alibi jawaban saya.
“Asemeh! Pernyatanyaanku tadi, apakah
kita perlu membangun sistem kekhilafahan itu kembali” desak teman saya dengan
pertanyaannya kembali.
“Wallahu A’lam… karena aku tak punya
dasar yang kuat untuk merombak kembali negeri yang sangat plural ini, Bro” jawab saya sambil mengangkat bahu.
Kami pun saling berpandangan; sebel-sebel
suka!
Link (gambar)
2 comments:
Kemal Ataturk adalah anak zamannya, pecinta tanah air kalah yang mengambil langkah ekstrim untuk menang... masa azan diganti bahasa Turki, hehe apa hubungannya azan berbahasa Arab dengan sakitnya Turki si The Sick Man of East..
tapi yah, dia anak zamannya, disangkanya itu yang terbaik, tugas kita untuk membacanya, sistem Khilafah Monarki bukanlah sistem yang dipatenkan untuk diaplikasikan dlam Islam, tapi langkah Kemal yg benar-benar mende-arabisasi dan sekularisasi besar-besaran bukan juga tindakan tepat menurut saya, mereka membuang warisan budayanya yg unik..
Seperti makan kemplang tapi harus masak sendiri. Kita harus mengenal semua sudut saat dimasak agar tidak gosong keseluruhan atau sebagian. Kematangan kemplang ditentukan pengetahuan kita dalam memasak dan memahami kedua sisi. Dan Ataturk seperti kemplang yang mempunyai 2 sisi itu. :)
Posting Komentar