Pertemuan—waktu itu masih saling melirik. Mencuri kelengahan pandangan.
Saling memendam perasaan masing-masing. Nampaknya, seperti ada yang menahan
kita berdua. Hari-hari itu kita lalui dengan cara yang menyebalkan dan
menyakitkan.
Firasat—kita mulai beranjak dari keringkihan.
Kita pun saling mengenal dan membakar gestur kecanggungan yang selama ini
mengelilingi. Inilah, saat-saat dimana kita khawatir dan berspekulasi dengan
hal yang tidak kita ketahui.
“kok ada yang berubah darimu
sih?” begitulah kira-kira yang kita selalu ucapkan. Saat dimana penampilan
kita tidak lagi berantakan. Aku makin rajin menyisir dan menggoreng rambutku agar
lebih menghilat. Mirip raja judi film Mandarin. Kamu juga perlahan demikian, ku
lihat coretan kosmetik di raut wajah
cantikmu makin menebal saban harinya. Kita sama-sama tidak mengerti apakah kita
memang jatuh cinta. Hingga kita merasa perlu merubah penampilan—setidaknya,
untuk membuat diri jauh lebih menarik; juga norak.
Kadang-kadang cinta sejoli melahirkan sikap genit dalam bertingkah. Ratusan
produk penarik diri dihabiskan untuk mengukuhkan persepsi ganteng dan cantik. Kita
semakin terbuang sebagai manusia bebas akibat menjadi korban produk eksploitasi;
sebuah persepsi—sungguh begitu memilukan. Lama-kelamaan kita pun kembali
berfikir “aku merindukan kamu yang dulu”
Hubungan—tiap perjalanan yang menapak. Tak ada
ranjau yang tak terinjak. Tak ada pula luka yang teriris. Semua punya
lengkungannya sendiri. Kemesraan ataupun pertengkaran itu kelaziman. Namun,
apakah pengukuhan hubungan itu masih berbicara tentang diri. Bukan
keberbersamaan.
Hubungan bukan tentang diri, melainkan tentang kita—tentang semuanya.
Hubungan sebagai hamba tuhan, manusia, isi alam, insan cita dan seluruh diagram
yang harus dilalui sebagai manusia yang tidak bisa mengalami kekekalan dan
kesendirian. Masihkan kita sedikit menaruh rasa khawatir, untuk sekedar membagi
perasaan terhadap segala yang kita lalui. Atau bahkan meninggalkan sedikit
kenangan baik bagi mereka yang kita temui. Hubungan memang bukan sekedar ikatan
dua orang, melainkan ikatan terhadap seluruh rangkaian dalam kehidupan.
Perpisahan—kala aku tidak lagi menemanimu menantang
hari, dan melawan malam. Semoga kita masih saling berdampingan ditengah dinding
dunia yang tidak lagi sama. Firasat dan hubungan kita pun harus diberhentikan
sementara waktu. Kita jalani saja kehidupan masing-masing. Kita nikmati pula segala
apa yang telah dikaruniakan tuhan. Dan bertasbih “sesungguhnya hanya kepada Tuhan-lah semua akan kembali”. Pada saat itulah, apa yang kita usahakan tidak lagi bermakna—kecuali peribadatan.
Semoga gestur firasatku untukmu; merupakan bagian peribadatan itu, kekasihku.
0 comments:
Posting Komentar