Gestur (2)


Pertemuan—waktu itu masih  saling melirik. Mencuri kelengahan pandangan. Saling memendam perasaan masing-masing. Nampaknya, seperti ada yang menahan kita berdua. Hari-hari itu kita lalui dengan cara yang menyebalkan dan menyakitkan.

Firasat—kita mulai beranjak dari keringkihan. Kita pun saling mengenal dan membakar gestur kecanggungan yang selama ini mengelilingi. Inilah, saat-saat dimana kita khawatir dan berspekulasi dengan hal yang tidak kita ketahui.

kok ada yang berubah darimu sih?” begitulah kira-kira yang kita selalu ucapkan. Saat dimana penampilan kita tidak lagi berantakan. Aku makin rajin menyisir dan menggoreng rambutku agar lebih menghilat. Mirip raja judi film Mandarin. Kamu juga perlahan demikian, ku lihat  coretan kosmetik di raut wajah cantikmu makin menebal saban harinya. Kita sama-sama tidak mengerti apakah kita memang jatuh cinta. Hingga kita merasa perlu merubah penampilan—setidaknya, untuk membuat diri jauh lebih menarik; juga norak.

Kadang-kadang cinta sejoli melahirkan sikap genit dalam bertingkah. Ratusan produk penarik diri dihabiskan untuk mengukuhkan persepsi ganteng dan cantik. Kita semakin terbuang sebagai manusia bebas akibat menjadi korban produk eksploitasi; sebuah persepsi—sungguh begitu memilukan. Lama-kelamaan kita pun kembali berfikir “aku merindukan kamu yang dulu

Hubungan—tiap perjalanan yang menapak. Tak ada ranjau yang tak terinjak. Tak ada pula luka yang teriris. Semua punya lengkungannya sendiri. Kemesraan ataupun pertengkaran itu kelaziman. Namun, apakah pengukuhan hubungan itu masih berbicara tentang diri. Bukan keberbersamaan.

Hubungan bukan tentang diri, melainkan tentang kita—tentang semuanya. Hubungan sebagai hamba tuhan, manusia, isi alam, insan cita dan seluruh diagram yang harus dilalui sebagai manusia yang tidak bisa mengalami kekekalan dan kesendirian. Masihkan kita sedikit menaruh rasa khawatir, untuk sekedar membagi perasaan terhadap segala yang kita lalui. Atau bahkan meninggalkan sedikit kenangan baik bagi mereka yang kita temui. Hubungan memang bukan sekedar ikatan dua orang, melainkan ikatan terhadap seluruh rangkaian dalam kehidupan.

Perpisahan—kala aku tidak lagi menemanimu menantang hari, dan melawan malam. Semoga kita masih saling berdampingan ditengah dinding dunia yang tidak lagi sama. Firasat dan hubungan kita pun harus diberhentikan sementara waktu. Kita jalani saja kehidupan masing-masing. Kita nikmati pula segala apa yang telah dikaruniakan tuhan. Dan bertasbih “sesungguhnya hanya kepada Tuhan-lah semua akan kembali”. Pada saat itulah, apa yang kita usahakan tidak lagi bermakna—kecuali peribadatan.

Semoga gestur firasatku untukmu; merupakan bagian peribadatan itu, kekasihku. 

Link (gambar)

0 comments: