Batu Aceng



Sudah hampir sepekan

Media masih saja belum kenyang memberitakan soal nikahnya si Aceng. Tidak hanya itu; masyarakat, ulama, aktivis perempuan, anggota dewan, menteri, gubernur, ketua partai politik, presiden—termasuk aku sendiri ikut membincang fenomina Aceng ini. Ah, terasa gatal rasanya saat media terlalu berlebihan mengekspose berita Aceng ini; dari warung kopi, angkringan, caffe, berita cetak/elektronik—sampai acara gosip. Huft!

Barangkali, penyulut massa yang geram itu dikarenakan pernikahan Aceng dengan istri yang 18 tahun itu hanya berusia 4 hari. Dan kemudian diceraikan hanya dengan pesan singkat SMS. Ah, lagi-lagi gosip itu mempengaruhi menulis dan  berpikirku. Terlepas dari benar tidaknya masalah tersebut; perempuan memang bagian dari entitas kehidupan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Semua anak Adam dilahirkan dari rahim perempuan. Merasakan hentakan nafas untuk melihat alam raya. Merasakan belaian lembut jari kasih sayang. Dan terveto pengingkaran atas pengabaian atas kaum hawa itu—perempuan selalu punya kekuatannya sendiri.

Aceng mungkin bagian pejabat publik yang lagi apes (sial). Batu berpoligami yang ia lembarkan tenyata menyentuh dinding karet pe-nyepele-an atas kaum perempuan. Sebab dilain tempat disebuah kabupaten di pulau Madura. Yang sama-sama satu level jabatan dengan Aceng juga melakukan perilaku yang sama. Menikahi anak usia 18 tahun yang kebetulan putri kecantikan daerah; kemudian dijadikan ia sebagai simpanan, dihipnotis ia dengan gelimangan harta, dikotakkan ia dengan janji-janji—dan dihias ia dengan pualam dalil pengesahan. Perempuan pun lagi-lagi dijatuhkan dalam posisi yang tidak lagi seimbang—dan dari sinilah hukum logika komoditas itu mulai berlaku.

Sebagai orang yang lagi sial, Aceng tidak perlu merasa berkewajiban mengklarifikasi ulahnya. Sebab mestinya ia berdoa agar kekesialannya itu juga membuka tabir gunung es ke-sial-annya yang juga dilakukan oleh sebagian teman yang selevel jabatan dengannya—Aceng hanya lagi sial saja dengan batunya itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau sebaian pejabat publik itu selalu bersentuhan dengan ke-egois-an diri harta, tahwa dan wanita.

Bagiku, pemberitaan soal Aceng sudah lagi tidak fair. Kalau pun ia bersalah sekali pun mestinya berbagai media perlu mengekspose secara berlebihan; karena masih banyak persoalan di negeri ini yang harus mendapatkan pemberitaan secara lebih serius. Ekspose yang berlebihan tersebut justru malah menimbulkan friksi antara poligami dan ketidakadilan atas perempuan. Poligami yang diperbolehkan dalam agama perlahan dipelintir untuk kepentingan pematuhan nafsu; bukan lagi sebagai proses ibadah. Dan timbullah asumsi poligami itu bentuk ke-tidak-adilan terhadap kaum perempuan. Kasuistik ini harusnya memberikan efek positif bagi mereka yang belum menikah, setia dalam pernikahan; atau harus berpoligami bahwa ajaran agama itu memberikan ruang kesetaraan dan keadilan bagi semua pihak. Toh, Semua ada aturan mainnya. Dan ekspose berlebihan ini sudah selayaknya dikurangi—setikdanya, ini protes dari bagian orang yang juga haus informasi.

Ya, benar! Aceng memang bagian yang bermasalah dengan batunya. Mudah-mudahan hal ini tidak harus menimbulkan asumsi yang berlebihan, termasuk pada Siomay gerobak Aceng yang berjualan saban sore didepan sekolah Muallimat Suronatan yang mayoritas pelanggannya kaum perempuan sekolah tersebut—ini bentuk yang berlebihan itu.

Masih ada berita Aceng; Matikan TVmu, termasuk menutup link posting tulisan ini!

link (gambar)

0 comments: