Ini
kisah anak kecil yang menjadi pemulung. Bukan dalam drama sinetron, cerita opera,
teater, contoh dalam data kemiskinan, statistik dalam angka pertumbuhan ekonomi
dan dijit dalam kalkulator kebijakan. Tetapi, ini kisah anak kecil yang
menenteng perutnya sambil merebahkan karung bungkus hasil memulung
disebelahnnya. Ia duduk termenung di persis depan toko pasar modern di jalan
Gedong Kuning.
Sambil
menggit bibir bawahnya. Ia melirik seisi toko modern itu. Yang konon berkantor
pusat di negeri pesepak bola tersohor Zinadine Zidane dan Karim Benzema. Bukan
untuk menggarong, mengutil atau bahkan menghipnotis penjaga toko. Ia meradarkan
kedua bola matanya hanya karena ia kelaparan, seharian belum makan. Jam kerja
memulungnya mulai selesai sekolah. Ia kelas 5 SD. Sedang orang tuanya hanya
pedagang rosok (barang bekas) keliling.
Perutnya
terus memaksanya untuk bertanya. Bagaimana lezatnya roti yang terpampang
disudut etalase, segarnya minuman ragam rasa yang baru mondok dilemari es, krez-nya jajanan kecil yang begitu
shaleh berjejer tengah toko—atau bahkan bau asap daging bakar, khas makanan
waralaba Zazizu dari negeri Samurai
yang melapak didepan toko modern itu. Bayangan dalam kepalanya cukup nakal
hingga ia pun berfantasi sambil menengadahkan tangan kanan pada dagunya. Untuk
mengobati demontrasi perutnya cukup saja ia mengkhayal saja. Sebab khayalannya
dapat ia selesaikan dengan makan bersama ketika sudah sampai di rumah satu jam
lagi; jam 9 malam.
Khayalannya
pun terganggu oleh samberan adik kandungnya dari belakang. Adiknya kira-kira
berusia 7 tahun. Ia juga memulung dan belum sekolah. Karung untuk membawa harta
hasil memulungnya hanya sisa bungkus beras. Maka, terjadilah 2 orang bocah yang
sama-sama mengkhayal isi toko modern itu.
Dirumah
yang hanya diberukuran 4x5 meter. Berbiaya sewa 350.000 perbulan. Disanalah 2
bocah itu menghabiskan malam bersama bapak dan ibu yang sedang menyusui adik
mereka. Makan malam 2 jam lalu sebungkus nasi kucing harga 1.500. Tak ada sate
karang, gorengan dan susu hangat. Karena hasil si Bapak menjual rosok hanya bisa untuk membeli nasi
kucing saja untuk seluruh anggota keluarga. Kunci yang selalu ditanamkan dalam
keluarga ini sederhana “apapun makanan
yang kita makan hari ini musti disyukuri”. Begitu agung petuah keluarga
itu.
Dalam
cerita yang lebih luas, inilah satu potret dimana kuasa modal tidak lagi
mempertimbangkan persamaan, keadilan dan kesetaraan. Toko pasar modern bukan
hanya mengancam kehidupan pasar tradisional dengan menjamurkan disudut pasar
tradisional negeri ini. Iklim investasi jauh lebih komplek ketimbang iklim
cuaca; yang hanya 2 musim di negeri ini. Semua ada penghargaan dan kehalalan
atas nama jalan investasi. Hitungan ekonomi makro memang tidak pernah bisa
membaca bagaimana masyarakat kelas bawah melawan “berhala” efek domino dari
berjalannya hitungan ekonomi makro. Pemerintah hanya mengejar angka pertumbuhan
ekonomi dan tepuk tangan sebagai kekuatan ekonomi baru di ASIA. Bukan lagi soal
keadilan dan kesejahteraan.
Dan
berjalannya modal yang kian tidak adil itu semakin dianggap biasa atau biasa-biasa saja secara perlahan. Maka jangan pernah kaget bahwa
kita bangsa pemakai (konsumen)—bukan produsen.
Linknya (Gambar)
0 comments:
Posting Komentar