Elegi


…dua bulan berlalu,

Bayang semu di tepian pantai. Gugus lamun menyeruak ditepian pasir yang terhampar luas. jejak-jejak langkah tersapu ombak yang berlari. Hanya perempuan dilema tampak memaku dalam riuhnya riak-riak air laut. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan atas sebuah pertanyaan yang sebenarnya ia sendiri juga bertanya. “apa sudah saatnya aku membuka hati. Layakkah aku dicintai. Apakah aku memang mencintainya” pertanyaan itu terus berkelahi dalam pikirannya. Perempuan itu lekat-lekat memandangi laut yang entah sampai mana ujungnya—Alea sendirian di pinggir pantai parangtritis sore itu.

Sebelum ia beranjak pulang. Ia pun sudah memutuskan jawaban. Tanpa intervensi apa lagi rekayasa. Ia sudah memantapkan hati untuk tetap menghadapi harinya kedepan. Sebab ia tahu bahwa tidak perlu ada yang digelisahkan dalam menjalani hidup. Semua yang lalai juga akan menyesal, Semua yang datang juga akan pergi, semua yang susah juga akan bahagia, semua yang berselisih juga akan berdamai, semua yang sedih juga akan tertawa, semua yang benci juga akan mencinta—dan semua yang mencinta juga akan terluka.

Aku tidak menyesali masa laluku. Atau berharap besar masa lalu akan hadir menemaniku. Masa lalu sudah menemukan ruangnya sendiri. Dan masa depan merupakan jalan yang harus dinapaki. Sebagai sebuah hakikat.
Saya tulis surat ini dengan perasaan yang bimbang. 
Raka, kamulah teman terbaik saya. Teman yang mengisi ruang, dimana hari-hari saya mulai mencekam karena masa lalu. Tapi semua masa lalu yang kabur itu, juga ada yang lain; sahabat kita, keluarga dan juga Tuhan. 
Saya pikir, kamu paham maksud dari surat saya ini. Dan saya berharap kedepan kita bisa bersama seperti biasanya. Seperti sedia kala. Menikmati malam bersama, menikmati kopi dijejeran warung, mengusir bosan dengan sunset, memburu buku disudut kota. Dan semuanya. Saya berharap kita masih seperi biasanya. 
Salam, Alea.
Ku lampirkan surat ini ditengah catatan Raka yang selesai ku baca. Banyak hal yang aku ketahui dari catatannya. Ia menulis hal yang kadang oleh sebagian orang disebut sebagai hal yang tidak penting. Dan tidak sedikit ia berspekulasi dengan perasaannya sendiri. Namun, yang membuatku terheran. Raka banyak berubah dan belajar dari perjalanan kami selama ini—khususnya, perjalanan spiritualnya.

..tiga hari berlalu.

Aku memang tidak memberikan catatan Raka dan suratku langsung kepadanya. Aku menitipkan semua itu kepada teman yang Raka juga mengenalnya. Bukan aku tidak berani memberikannya sendiri. Melainkan aku tidak ingin membuat luka pada perasaannya.

“tolong perhatikan reaksinya ya, setelah menerima ini” pesanku pada temanku itu. Teman kami itu pun menghubungi Raka. Dan Raka menemuinya pada siang harinya.

Temanku pun menceritakan. Saat Raka menerima catatannya sendiri. Muka dan raut wajahnya terasa lesu. Nada dan arah pembicaraanya pun mulai melantur. Meski tidak ada air yang membanjiri pipinya. Raka, seakan memahami apa yang menjadi maksud dalam jawaban suratku itu. Dan itu merupakan keputusan untuk aku ambil. 

“Yah! Gak apa-apa aku memahami hal ini” jawab Raka. Temanku itu pun tidak mengerti dengan maksud surat itu. Ia pun membaca berulang-ulang suratku itu. Apakah aku menolak atau menerima tentang pengharapan dari perasaan Raka. Hingga Raka pun menyarankannya untuk membaca awal kalimat suratku itu—kamulah teman terbaik saya.

Ya! Aku tidak bisa menerima perasaan Raka. Tepatnya menolak perasaannya. Hal ini bukan karena soal tentang perasaan melainkan karena adat. Aku yang asli Sumatera yang menjunjung adat “mamak” dalam menentukan kepada siapa seorang perempuan melabuhkan perangai dikemudian hari. Keputusan para mamak inilah yang lebih menentukan ketimbang perasaanku sendiri. Ini bukan kisah Hayati dan Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA. Ini adalah kisahku sendiri yang terjebak dalam permasalahan yang sama dengan Hayati. Raka orang keturunan jawa yang segala bentuk keputusan ada ditangan kaum laki-laki. Aku tidak ingin apa yang dialami oleh Zainuddin dalam novel itu juga menimpa Raka. Barangkali ini berlebihan—tapi kenyataannya aku masih masih terikat kencang dengan adat itu.

Bisa saja Raka mencatat dalam catatan sebelumnya “Ah! Jatuh cinta itu memang bukan soal hukum. Tapi juga soal etika. Dan spekulasiku ini adalah etika mencintai”. Kadang-kadang hukum adat selalu kaku dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang kian akomodatif dengan keadaan. Meski tanpa kita sadari sikap akomdatif itu berujung pada abrasi identitas. Etika Raka adalah kebebasannya untuk mencintaiku. Tetapi hukum adat merupakan identitas yang terus melekat pada diriku sendiri—dan kami sama-sama belum menemukan pada posisi apa perasaan kami harus dipertalikan.

Tanpa instruksi apa-apa. Raka pun tidak pernah lagi menagih tentang perasaannya padaku setelah aku memberikan surat itu padanya. Meski kadang-kadang terletup dari bibirnya secara refleks bahwa ia masih mencintaiku. Dan setiap kali aku bertanya apa maksud perkataannya. Buru-buru ia menjawab “Nggak. Gak ada apa-apa”. Kata-kata itu tidak terhitung berapa kali ini ia mengucapkannya.

Hari-hari pun kita jalani bersama seperti biasanya. Raka masih tetap menyempatkan diri menjemputku. Kala waktu mulai dimakan malam di Muntilan dan Bantul, nongkrong menyeduh kopi, menggilai buku Habibi-Ainun. Dan makan soto bersama—sekaligus yang terakhir. Waktu aku mulai pamitan untuk kembali ke kampung halamanku; Nagariku. Atau bahkan lambaian tangan kami saling bersapa di ringroad Pasar Gamping. Aku pergi meninggalkan Raka dengan eligi perasaan yang tidak aku pedulikan kedalaman sakitnya.

Hingga saat ini pun aku belum mau memulai membuka hati dengan siapa pun—aku belum mau perasaanku kembali terkoyak. Dan dalam doaku semoga Raka mampu menjalani perjalanan panjangnya seperti apa yang dilakukan Zainuddin di novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Apapun keputusanmu. Tuhan selalu punya banyak jalan dalam setiap keputusan. Dan perjalanan panjang tidak akan pernah berakhir hanya karena perpisahan.

Link gambar (disini)
**

2 comments:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

perspisahan bkn ahir dri sgala'y...!!!!!
gan.....kroscek blog ane : albantanifirman.blogspot.com