Kembali


Hampir 19 minggu aku berada di Surabaya. Rasanya, aku hidup kembali dalam suasana yang menyenangkan juga betah. Barangkali, ini cukup berlebihan. Namun, Surabaya bagiku seperti risalah tiga kota yang menyenangkan selama aku menghirup udara di dunia; Surabaya-Jogja-Sumatera; tempat dimana aku lahirkan.

Di Surabaya—ragam tempat kuliner sudah ku singgahi, lokasi wisata rekreasi telah ku sambangi, pusat bacaan telah ku lelapi. Dan perjumpaan dengan keluarga Malika merupakan hal yang sangat membuatku terkesan. Karenanya, sebelum aku kembali ke Jogja 2 jam lalu. Mereka memberikanku kaligrafi yang bertuliskan Allah dan Muhammad. Menurut mereka kaligrafi ini dibeli Arya saat ia bertandang ke Sumatera.

Perjalanan Surabaya-Jogja yang menelan waktu 7 jam. Dan hal itu cukup membuat penumpang bus terasa kurang menyenangkan; termasuk aku sendiri. Aku pun membuka buku catatan Raka yang sengaja aku taruh di tas jinjingku. Aku sudah membacanya sebagian beberapa waktu lalu

125
Maka saat semua merasa cukup senang berlari. Aku memilih berhenti sejenak mengumpulkan sedikit tenaga. Karena, perjalananku masih panjang. Barangkali, ini dimana saat setiap orang harus memilih diantara dilema pilihan. Jangan pernah kita pilih antara keluarga dan kehidupan kita sendiri—semua itu satu.
126
Kadang-kadang aku tidak habis pikir. Mengapa penguasa makin shaleh memburu kaum miskin atas dasar mengganggu keindahan kota. Mereka dipukul, digusur, disita barang dagangannya, disidang dan barang mereka kambali dengan keadaan remuk. Apakah cara ini cukup manusiawi dikalangan para penguasa? 
Di Medan, Makasar dan Surabaya berterbangan berita penguasa berburu kaum miskin itu. jogja dan Solo mampu mengambil jalan tengah; dialog manjadi pemandu mereka—sama-sama legowo menerima keputusan; bahkan ada yang menangis karena terharu.
127
Anak muda di kelompok JIL dan JIMM menjadi bulan-bulanan para pendekar agama. Dasar liberal! Seenaknya mengaku islam—kata pendekar itu
128
Di Monas ada segerombolan pendekar memukul sesama orang beragama. Hanya dengan satu alasan; mereka Ahmadiyah. Dan hokum kelompok ini sesat—keluar dari ajaran islam. Aih! Apakah dengan memukul semua perkara akan selesai. Rahmatan lil Alamin perlahan kabur atas tafsir kaum mayoritas.
Pada lembar-lembar berikutnya Raka banyak membahas tentang konflik horizontal. Baik agama, penguasa dan kuasa  pasar. Narasi besar pelahan mulai timbul diantara lembar catatan raka. Aku pun semakin kebingunngan sebenarnya apa yang menjadi keinginannya. Apakah narasi besarnya mampu memberikan titik singgung aplikatif ditengah pertentangan dunia pragmatisme—yang serba menuntut hal instan. Bukan rentetan teori.

Barangkali, semua hal yang besifat teoritis akan menemukan area kemenangan saat wacana menemukan momentum. Disanalah timbul arena tarik menarik kepentingan revolusioner. Seperti aliran sungai yang harus menemukan rawa sebelum akhirnya menumpuk di lautan yang luas. Aku tidak tahu apakah organisasi yang dia geluti selama ini lebih banyak mendoktrin tentang narasi besar. Entahlah!

239
tidak perlu kita merasa takut
liberal, konservatif, sosialis, importir atau atheis
karena, suatu hari kita pun akan tetap berfikir
mengapa kita berbuat
dan kita pun akan kembali 
kembali pada identitas
kembali pada hakikat
kembali pada bumi lahir
dan kembali pada keyakinan 
kebenaran bukan hak veto segelintir orang dan kelompok
Tuhan adalah hakim kehidupan dan kuasa hak veto
tak perlu kita mendahului keputusannya 
240
Alea ulang tahun hari ini. Sengaja aku tidak mengucapkan lebih awal tepat jam 00.01. Aku mau usil padanya untuk kali ini saja. Tapi, aku tidak mengerti mengapa ada sesuatu yang berbeda pada ulang tahunnya kali ini; aku khawatir dan gelisah. 
Mungkinkah Alea menjadi tempatku, kembali.

Deg! Aku kaget dengan catatan Raka ini. Apa yang dimaksudnya sebagai tempat kembali. Aku benar-benar tidak mengerti. Orang jelek satu ini seperti memberikan kode untuk aku pecahkan sendiri. Lebih-lebih belakangan dia lebih banyak membicarakan tentang narasi besar. Sudahlah, Aku tidak mau memikirkan hal yang spekulatif. Terlebih tulisan ini sudah 1,5 tahun yang lalu.

Bus pun menerobos diantara hutan Caruban. Meninggalkan jejak Kota Surabaya dalam bayang maya yang kasat mana. Ditengah perjalanan bus berhenti untuk menawarkan penumpang agar menikmati sajian makanan warung makan yang hanya punya daftar menu; rawon, soto, bakso, nasi ayam bakar dan nasi ayam goreng. Sedangkan menumnya hanya ada 3 menu; teh hangat, es teh dan sirup. Setelah itu aku pun lelap.

maaf Mbak sudah sampai Jogja. Terminal terakhir” suara kondektur yang menepuk lengan kananku.

Selamat Datang di Jogjakarta—bunyi tulisan terpampang di pintu beli karcis.


Link gambar (klik)

0 comments: