Catatan Kepergian


Besok, saat hari sudah memilihmu untuk pergi pada setengah kesempurnaan agama. Pergilah dengan bahagia tanpa harus memikirkan masa lalu yang membelenggumu untuk kembali. Anggaplah semua hanyalah bagian hidup yang harus kita jalani—sebagai kenangan, kita berdua.

Ketika engkau pergi. Aku masih memilih menjadi orang yang kian lama terjebak dalam mimpi yang tak pernah aku bisa jelaskan. Karena aku tak mengerti apakah yang aku jalani ini benar atau tidak—semakin aku bertanya rasanya semakin aku tidak mengerti dan bertanya kembali. Rasanya, aku telah terjebak dalam mimpiku yang naïf. Dunia memang (p)erjuangan yang tiada habisnya, Alifa. Dan apa yang aku perjuangkan ini nampaknya sebagian kecil dari bentuk kebesaran sistem yang akhirnya tak pernah menghasilkan bentuk yang kita dianggap sempurna. Segalanya seakan menjadi nisbi, tak bisa diraba dan dibentuk—tapi masih bisa dirasakan. Itulah yang membuatku bertahan. Sampai detik ini.

Aku tahu ada luka yang tak bisa engkau terima atas keputusan mutlak kaum mayoritas dalam keluargamu. Mereka sudah terbelenggu dalam kisah klasik Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih. Tak perlu engkau risaukan atas kesepakatan feodal itu—sebab kebahagiaan bukan selalu berarti kesenangan. Kebahagiaan saat kita menerima dengan lapang apa yang kita maknai sebagai penghargaan. Apa pun itu bentuknya. Kebahagiaan tak lain bagian dari doa yang bisa kita maknai sebagai syukur. Sekarang hanya tinggal melapangkan hati kita untuk bisa menerima kenyataan bahwa mereka pun juga terjebak dalam posisi belenggu; kesepakatan.

Maafkan aku. Sebab kita harus mengakhiri semua ini tanpa jawaban dan keputusan yang tidak menyenangkan

Sekali lagi, kebahagiaan bukan selalu soal kesenangan. Anggap saja kita sedang pergi ke tempat yang jauh untuk sekedar menenangkan diri dari keramaian dan kebisingan hidup manusia modern. Bermain catur dan minum teh di pagi hari. Kadang-kadang kita bersepeda mengelilingi sawah yang terhampar luas. Alifa, dunia kebahagiaan diatas hanyalah dunia dalam alam pikiran kita sendiri. Tanpa menghadirkan orang lain dan realitas yang mengelilinginya. Dan kebahagiaan sesungguhnya adalah kebahagiaan yang bisa dirasakan banyak orang. kebahagiaan yang hanya dimiliki sendiri tak lain hanya kebahagiaan egoistik. Kita harus mengorbankan apa yang kita anggap kesenangan untuk kebahagiaan orang banyak—kebahagiaan bukan selalu soal kesenangan.

Kepergian kita dalam menyeberangi bentuk keputusan yang kita sepakati merupakan jalan yang harus kita terima dengan segala macam duri dan manisnya. Kita sudah memilih jalan yang berbeda dipersimpangan jalan. Dan keputusan kita untuk pergi bukan hanya sekedar keingian. Melainkan cara kita mencari ketidak -sempurnaan atas keputusan—tak adakeputusan yang sempurna. Sebab segala hal kadang-kadang tak jarang menghadirkan perbedaan atau ketidaksempurnaan. Maka tak perlu kita perdebatkan segala perbedaan—dan kita harus pergi dalam perbedaan, Kadek Alifa.

0 comments: