[AKU] dan Memori Kecilku


Minggu, 5 September 2010
Beberapa hari terakhir memang banyak sekali kejadian yang mengajarkanku hidup yang sebenarnya. Ada cinta, rindu, marah juga pemusuhan. Mungkin ini dunia yang sesungguhnya banyak hal yang kadang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Doa bulan puasa ini rasanya tak mengering diujur bibir dan dinding hati tiap muslim, tak terkecuali aku. Memohon segala sesuatu yang dianggap terbaik dan harapan besar dalam hidup dan bekal akhirat.

Sungguh saat ini aku sedang berada dalam kebimbangan yang luar biasa, mengapa “ikhlas” yang begitu gampang menjalar diujung lidah terasa kaku di lubuk hati. Agaknya, aku memang harus mengikuti apa yang menggetarkan hatiku untuk berbuat. Kadang manusia melihat persoalan dalam satu perspektif saja. Satu pandangan yang tak pernah melihat hakekat dari sebuah permasalahan. Berfikir lebih jernih mungkin akan memberi banyak perspektif bijak. Tak mengambil sesuatu yang justru memperkeruh suasana. Banggalah bila ada orang yang mengatakan “engkaulah yang membuatku besar, tak akan pernah aku membiarkan kamu menjadi orang yang tertinggal. Aku akan menempatkan kamu dalam posisi yang sama tanpa jarak”. Benar! Mereka yang besar adalah mereka yang mempunyai mimpi menjadi orang besar. Ia pun dengan besar hati harus berani membesarkan orang lain. Pandangan orang besar tidak hanya berfikir dalam satu pespektif mata kuda. Bukalah matamu, lihatlah banyak hal yang masih belum diketahui dalam dunia fatamorgana ini.

Belajar dari kesalahan masa lalu, berfikir jauh kedepan, melepaskan hal-hal yang tidak berguna saat ini dan lakukan apa yang bisa dilakukan saat ini adalah jawaban yang aku dapat dari seberang hati yang mengintip. Sapaan yang hadir dari keyakinan utuh. Hati adalah bagian tubuh yang tak bisa dibohongi. Dialah yang jujur dalam diri. Berbagialah, jika dunia hanya memberi apa adanya. Memberi yang ada diluar pikiran. Tetaplah bersyukur, tetaplah berusaha, tetaplah belajar dan tetap berbuat baik sebagai ukuran dari kekayaan hati. Jangan pernah melakukan hal besar jika hal kecil diabaikan dan dibuang.

Manusia mempunyai perjalanan hidup sendiri. Ia bisa menolak apa saja yang dianggapnya tak baik bagi masa depannya. Namun apakah dengan hal itu dunia akan mampu ditaklukkan? Tak bisa dielakkan dunia kadang dibangun dengan cinta dan penghiatan. Kepingan keyakinan lagi-lagi menjadi kunci dalam menyikapi segala bentuk masalah. Ada benarnya juga kata Fahd Djibran “bertanya tak membuatmu berdosa

Surabaya, 9 September 2010
Kakiku sudah menginjak tanah Surabaya, sekarang aku sedang pulang kampong untuk lebaran idhul fitri meski dalam keadaan tubuh yang kurang fit. Meninggalkan banyak cerita yang menggantung di kota jogja. Ada hal yang kadang membuatku begitu malas untuk pulang ke Madura yakni saat mau naik bus. Jika aku pulang pada malam hari maka hanya ada bus ekonomi. Bus patas hanya bisa beroperasi mulai jam 07.00-21.00. Lagi-lagi diri harus bersahabat dengan bus yang jorok dan penuh dengan kebulan asap rokok. Bus terjorok selama aku naik bus adalah bus jurusan Madura-Surabaya. Inilah sebagian keunikan lain dari kampungku yang kadang ditakuti oleh sebagian orang. Aku pun sampai rumah sekitar jam 9 pagi, melihat gigi adikku yang tak tahan menghantam oleh-oleh.

Jumat 10 September 2010
Semalam aku tidur sampai larut malam, maklum saja aku harus berdiskusi panjang dengan bapak dan adikku yang baru pulang dari Arab. Ibu menggedor daun pintu kamar dengan sangat kuat hingga tak ada alasan untuk tidak shalat subuh. Aku hanya menjadi makmum shalat pagi dan mengikuti Qonut yang dibacakan adikku sebagai iman. Semalam menurut mereka saat berdiskusi mengenai Muhammadiyah dan NU, masalah qunot tak penting untuk dibahas, semua ada alasannya. Kabiasaan kami sebelum melaksanakan shalat ied adalah ziarah kubur pada para leluhur yang tidak jauh dari rumah. Aku tidak ikut, aku hanya ingin melihat reaksi ibu jika tidak mengikuti ritual itu. Bukankah doa itu bisa dilakukan dimana-mana tidak mesti hadir ke kuburan setiap saat. “ziarah kubur itu bukan menyembah tapi mendoakan orang yang meninggal. Bukti kalau ia anak baik” begitu pesan ibuku.

Kebiasaan kami, selain ziarah kubur adalah makan pagi terlebih dahulu sebelum berangkat shalat ied. Bapak selalu marah jika diantara keluarga kami tidak makan bersama, katanya menghilangkan rejeki. Aku shalat ied di masjid tidak di lapangan, semua warga dikampungku memang memang shalat ied di masjid. Jika pun ada itu ada di alun-alun kota. Selain itu, setelah selesai shalat dilanjutkan dengan tahlilan dan makan bersama. Makanya tak jarang ada sebagian wanita yang tidak shalat sebab harus menyediakan makanan.

Siapa pun yang membaca tulisan ini akan heran dengan keadaan kampungku. Didaerah ini bukan tidak ada yang sekolah dan kuliah tapi ajaran para Kyai lama masih sangat mengakar keras dalam budaya kami. Para santri juga begitu susah untuk diajak membuat gebrakan baru, hanya takut cangkolang (berani menentang guru/Kyai). Agaknya, aku hidup dimasa Kyai Dahlan dijaman modern. Kadang aku merasa sangat gerah dengan kondisi ini, namun apa boleh buat masalah ini tak segampang membalikkan telapak tangan, butuh proses. Khotbah jumat dan khotbah shalat ied masih saja menggunakan bahasa arab, aku sudah sering memprotes masalah ini. Lagi-lagi, aku hanya dianggap anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Di waktu yang lain, kebiasaan kampung kami jika ada orang meninggal di tahlil-kan dan ada acara makan-makan. Setiap orang yang melayat pasti membawa bahan kebutuhan pokok (beras/jagung) atau masih dalam bentuk rupiah. Logikanya, jika ada orang meninggal pasti sang keluarga sangat sedih dan kadang harus menanggung hutang orang yang meninggal. Nah, dari sinilah kemudian orang yang ikut tahlilan dijamu makan besar dan secara tidak langsungjuga akan menambah biaya atau mengurangi dari sumbangan orang yang melayat. Artinya akan ada beban biaya ganda. “..karena umur tidak ada yang mengetahui, jika seandainya Allah memanggil aku lebih dahulu maka budaya makan-makan dalam tahlilan ini harus ditinggalkan. Biarkan orang yang melayat membawa barang-barang dan katakan pada mereka kalau tidak ada tahlilan. Sedangkan kumpulan sumbangan dari para pelayat dikumpulkan kemudian diserahkan pada orang termiskin di kampung ini. Aku berharap ini bisa dimulai dari keluarga ini..” kritikku pada seluruh anggota keluarga saat kami berkumpul sambil diskusi menunggu datangnya shalat isya’. sekarang, budaya makan-makan sudah diganti dengan pemberian snack, perlahan tapi pasti budaya bid’ah itu mulai memudar. Yang aku kritik bukan “tahlil-nya” melainkan “tahlilan” yang didalamnya penuh dengan ritual yang dilarang seperti, bakar kemenyan sebelum acara, makan-makan dan lainnya. Perlahan tapi pasti sekarang aku sudah punya beberapa anak muda yang bisa aku ajak untuk berfikir gila di kampung ini.

Tulisan ini saya ambil dari Bab Madura Undercover halaman: 334-343. Buku Jejak Arah Perjalanan [Link Kado : http://cakmakrus.blogspot.com/2011/05/judul-jejak-arah-perjalanan-tebal-375.html ] kumpulan cacatan saya untuk kader IMM AR. Fakhruddin dan sekaligus kado MiladIMM ke-47 juga ucapan terima kasih kepada teman-teman yang mengajarkan saya banyak hal terutama cara bermimpi yang gila. Maaf ya temen-teman yang tidak bisa membaca semua kumpulan catatan saya karena tidak untuk umum. Terima kasih telah mengajarkan saya banyak berfikir dan bermimpi!

0 comments: