Saban sore. Selesai maghrib jika teman-teman pernah melewati Angkringan Surip [Gang SD Muhammadiyah Suronatan]. Barangkali tak jarang menemukan pasangan anak manusia yang sedang mengobrol seru, heboh—dan kadang menegangkan. Sempat beberapa kali saya menyempatkan diri untuk menikmati obrolan mereka. Mencoba memahami dan hasilnya tetap saja saya tidak mengerti. Mereka berdua tuna wicara—bisu.
Tarian jemari mereka berdua untuk menyampaikan apa yang hendak disampaikan menjadi isyarat utama. Kadang kala si lelaki memegang tangan si cewek dengan nada mata yang meyakinkan—atau bahkan menepuk dadanya. Sungguh saya memang tak mengerti komunikasi mereka. Namun, yang jelas mereka adalah pasangan yang baru mengikat tali hubungan—mencari titk kurva persepsi dan keyakinan atas keinginan mencinta.
Dikesempatan yang lain. Di salah satu rumah sakit, saya pernah bertemu dengan pasangan tuna netra—buta. “saya tidak sabar mas, menantikan kelahiran anak kami” begitulah keluh sang suami yang menunggu sang istri melahirkan diluar kamar operasi. Kultur wajahnya cukup tegang, pasi dan hanya memegang tongkat lipat juga tas kecilnya.
“apapun yang diberikan gusti Allah, kami yakin itu yang terbaik. Meski saya dan istri tak bisa melihatnya secara langsung” imbuh laki-laki yang berumut pantaran 43 tahun itu. Saya mencoba sedikit bersabar untuk melihat kejadian yang barangkali jarang saya temukan—sekaligus menunggui keponakan yang sedang rawat inap.
Kurang lebih 2.5 jam berlalu. Telah lahir seorang anak laki-laki dengan berat 3.25 Kg. tangisannya memekakkan seisi ruangan. Dengan dipandu salah satu keluarganya sang suami mendekati anaknya kemudian meng-adzan-inya dengan suara lirih nan merdu. Sang anak lahir dengan keadaan normal meski belum bisa dipastikan apakah sang anak bisa melihat atau tidak. Namun yang jelas kebahagian benar-benar tumpah dalam keluarga mereka—menyaksikannya saya cukup terharu.
Terkadang kekurangan bukan malah menjadi alasan untuk tidak mengerti dan memahami akan keinginan. Tuhan lebih mengerti apa yang menjadi keinginan hambanya. Keinginan memberi banyak isyarat dan melihat bahwa cinta bukan hanya gium romantis yang kadang meluap dan menghilang tak berbekas. Dua pasangan diatas lebih memahami dan memaknai apa yang menjadi keinginan cintanya—tak butuh pengakuan. Sebab keinginan dan cinta mereka adalah pembuktian ditengah hiruk-pikuk cinta anak manusia yang terkadang terbalut gincu kebohongan.
Cinta memang bukan rasionalitas. Sebab muara awalnya bukan bersumber dari kritisnya permainan dialektika. Ia hadir dari hati—tempat tersuci dari dalam diri manusia. Makanya, tak jarang banyak kalangan yang berpendapat bahwa cinta bukan rasionalitas dan logika. Kita butuh pencahayaan hati yang qolbun salim—hati yang bersih/baik. Hal ini semata-mata untuk menjadi radar pendeteksi keberadaan yang cinta yang sesungguhnya tanpa topeng apa pun. Dan segalanya memang tak hadir secara tiba-tiba dan sempurnanya. Barangkali, kita terlalu egois mencari kesempurnaan hidup. Melihat dunia dalam wajah sempit bejana limbung. Sebab kesempurnaan tak lain cara kita bersyukur. Dan keterbatasan juga ketidaksempurnaan jalan kecil kita menapaki arti kehidupan. Semua butuh proses agar perjalanan hidup ini lebih indah.
So, hiduplah untuk saling meng-indah-kan dan melengkapi. Ting!:)
0 comments:
Posting Komentar