“Dasar cowok bajingan!”
Katamu dengan sangat geram. Nampaknya, ada nanar besar yang terpendam selama ini dalam dirimu. Sesuatu yang nampaknya membuatmu cukup gusar. Aku masih saja melihatmu sebagai teman yang baru aku kenal. Aku tidak mengerti mengapa kamu begitu percaya padaku sampai menumpahkan segala bentuk beban yang ada dalam hatimu—malam ini aku seakan menjadi keranjang sampahmu.
Katamu dengan sangat geram. Nampaknya, ada nanar besar yang terpendam selama ini dalam dirimu. Sesuatu yang nampaknya membuatmu cukup gusar. Aku masih saja melihatmu sebagai teman yang baru aku kenal. Aku tidak mengerti mengapa kamu begitu percaya padaku sampai menumpahkan segala bentuk beban yang ada dalam hatimu—malam ini aku seakan menjadi keranjang sampahmu.
“Dasar cowok tak betanggung jawab!”
Aku hanya menjadi pendengar setia apa yang kamu ceritakan. Dan sedikit pun tak berniat membantahnya. Mata merahmu masih saja menyala sedari tadi. Dan bundaran UGM menjadi saksi pertemuan kita berdua malam ini. Aku pun kaget saat kamu mengatakan sudah mempunyai anak. Padahal usiamu baru saja menapaki usia 22 tahun—penampilan masih menjadi bagian orang yang cukup modis—cantik!
Aku hanya menjadi pendengar setia apa yang kamu ceritakan. Dan sedikit pun tak berniat membantahnya. Mata merahmu masih saja menyala sedari tadi. Dan bundaran UGM menjadi saksi pertemuan kita berdua malam ini. Aku pun kaget saat kamu mengatakan sudah mempunyai anak. Padahal usiamu baru saja menapaki usia 22 tahun—penampilan masih menjadi bagian orang yang cukup modis—cantik!
Der, nama orang itu William. Dia teman kampusku. Anaknya pintar dan tampan. Mungkin karena ketampanannyalah anak-anak sekelas ingin sekali menjadi kekasihnya bahkan kakak dan adik tingkat pun pernah menyatakan perasaannya—ia mengabaikannya. Dan aku adalah orang yang paling beruntung waktu itu. Seakan menjadi ratu disamping pangeran tampan. Ia yang menyatakan cinta padaku selesai pulang kuliah.
Aku masih saja mengingat pertama kita berkenalan lewat Facebook. Aku aku mengenalmu lewat chating yang iseng. Kita pun berkenalan dan tak jarang bertukar info tentang bisnis distro yang beberapa bulan lalu aku tekuni. Aku dan kamu berbeda kampus meski sama-sama berada di kampus swasta. Aku pun mengajakmu ke sebuah tempat makan untuk sekedar mendengar keluhmu. Padahal sebelumnya kamu tak pernah menceritakan mengenai kehidupan pencintaamu di dunia maya—katamu, cowokku over protective. Bahkan ponsel dan facebook-mu pun terjaga olehnya.
Kami berdua berusaha saling mengerti satu sama lain. Mengenal apa yang kami sukai—atau bahkan yang sangat dibenci. Tak jarang ia mengantar dan menjemputku di kampus saat jam kuliah kami tak sekelas. Tempat rekreasi yang ada di kota ini pun sudah selesai kami jelajahi. “aku sangat mencintaimu” itulah kata yang sering ia lontarkan padaku.
Pikiranku pun bertanya. Mengapa kamu begitu percaya padaku untuk menceritakan masalah pribadimu. Padahal kita masih saja belum mengenal secara lebih jauh soal karakter. Barangkali, aku bisa menjadi orang yang bisa mendengar seluruh keluhmu.
Malam itu, jelang akhir bulan desember 2008 memasuki tahun baru 2009. Hubungan kami, sudah menginjak tahun kedua. Ia tetap tidak berubah—masih sangat mencintaiku dan aku tetap mempercayainya. Aku dan dia sudah sampai di kaliurang. Kami ingin melewatkan malam pergantian tahun malam ini berdua saja. Kembang api pun menyala dan petasan pun bersahutan. Meski tak sedahsyat di kota. Paling tidak, inilah kali pertama kami merayakan malam pergantian tahun berdua—tahun sebelumnya hanya dihabiskan untuk touring bersama teman-teman komunitas atau sekelas.
Dinginnya udara malam diakhir bulan Desember menyebabkan William dan aku merapatkan diri ke sebuah penginapan—tak jauh dari kami bermain kembang api dan petasan. Aku diajak bermalam disini malam ini, meski jam sudah menunjukkan jam 2 malam. Dari sinilah aku dan dia penderitaanku dimulai. Aku dan dia berhubungan suami istri. Menerbitkan bulir keringat ditengah dinginnya udara. Dia menggerayangiku dengan begitu buas. Seakan aku seonggok daging yang disantap singa masai yang kelaparan.
“jika ada sesuatu aku akan bertanggung jawab” bisik William setelah ia menggahiku lebih dari sekali pagi ini. Aku tak bisa menolak sebab aku mencintainya—dan dia akan bertangung jawab. Rasanya, alasan itu cukup bagiku sebagai bukti cintaku yangdalam.
3 bulan kemudian, aku merasakan ada sesuatu yang lain dari dalam diriku. Badanku sering terasa lesu, sering muntah tanpa alasan dan lainnya. Aku pun memberanikan diri untuk membeli alat tes kehamilan di salah satu Apotik. Dan hasilnya aku positif hamil. Tiba-tiba aku linglung sebab aku belum menikah. Kalaupun ada orang yang harus bertanggung jawab dialah kekasihku sendiri—William. Aku pun memberitahunya—ia pun kaget dan seakan tak percaya dengan semua ini.
Kamu pun menghela nafas panjang. Seakan ingin menghirup semua udara. Barangkali kamu ingin memberi sedikit ruang dalam rongga dadamu yang sesak. Aku pun memintamu untuk memejamkan mata sejenak agar lautan yang mendiami di sela-sela kedua bola matamu yang indah tak membanjiri pipimu yang ranum—mirip apel malang.
Perlahan selain kekasihku, keluarga, tetangga dan sekampung tempatku tinggal. Mengetahui bahwa aku sedang hamil diluar nikah. Barangkali, mereka bisa saksikan semua itu dari perubahan fisik badan—perutku sudah membuncit. Kekasihku masih belum mau menikahiku sebab orang tuanya di Sulawesi tak merestuinya. Namun, jelang kehamilanku menginjak 7 bulan. Ia pamit padaku untuk pulang kampung. Orangn tuaya yang meminta.Nampaknya, itulah terakhir kalinya ia menemuiku dan kamipun lost contect. Nomor ponselnya pun tidak aktif sampai saat ini. Aku harus membesarkan anakku sendiri. meski orang disekelilingku banyak yang menghujad. Dan sayangnya, daun telingaku sudah terlampau tebal untuk mendengar caki dan makian mereka.
Lambat laun raut wajahmu yang penuh beban terasa cukup cerah. Barangkali kamu menemukan orang untuk mendengar beban yang kamu pikul sendiri. Aku hanya bsia bersimpati mendengar kisah perjalananmu yang kuat menjalani apa yang sudah menjadi keputusanmu.
Tak ada orang yang ingin dilahirkan sebagai anak haram. Begitu juga dengan anakku yang belum mempunyai status bapak yang sesungguhnya. Namun, apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi. Diratapi pun tak akan mengubah suasana. Barangkali, dengan adanya penyesalan dan pertobatan yang agung Tuhan bisa mengampuninya.Aku memberi nama pangeran kecilku Abraham. Agar dia bisa menjadi orang yang berguna bagi seluruh umat manusia. Mencari pengetahuan dari nalarnya yang kuat. Setidaknya, bisa membahagiakan keluarganya kelak. Dan aku tak akan menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Ia harus tahu bahwa bukan cinta yang akan melahirkan kerusakan melainkan nafsu. Cinta akan menjadi dirinya yang suci dan peningkatan diri untuk menuju sang Maha cinta. Angin dan cinta tetap berlalu.
Kamu pun mendekap kedua telapak tanganmu. Dan menaruhnya dibawah dagu dengan mata terpejam. Dan kamu pun melanjutkan dengan berdoa sebelum makan. Aku baru mengetahui bahwa kami berbeda agama—cara berdoa makan kami berbeda. kamu tak membaca Allahumma Bariklanaa fii maazaktanaa waqinaa adzabannar. –kami masih saja berteman.
—Hasil obrolan ngopi ala anak kost bersama sahabatku, DPP—
0 comments:
Posting Komentar