Untuk Kadek Alifa.
Aku tak tahu harus mulai darimana untuk menulis surat ini untukmu Alifa. Aku bingung sekali tanpa penjelasan yang bisa aku jelaskan dengan baik. Aku hanya bisa berharap agar kamu sedikit lebih sabar membacanya. Bacalah surat ini kapan saja. Baik menjelang tidur ataupun sedang minum Capocino hangat—bacalah sejauh yang kamu mau. Aku masih bingung, Alifa.
Alifa. Belakangan ini aku banyak berfikir tentang cinta dan kematian. Aku juga tidak tahu mengapa aku harus memikirkannya. Cinta adalah anugerah Tuhan yang paling indah pada hambanya. Dan manusia tak bisa menolak kehadiran cinta. Apa pun etnis, agama maupun bangsanya. Makanya Tuhan selalu berada dalam penyebutan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Manusia yang tak mau memiliki cinta berarti menghilangkan Tuhan dalam dirinya.
Gejolak pertentangan manusia akhir-akhir ini menampakkan bahwa sebagian manusia menghilangkan cinta dalam dirinya. Tanpa ragu seorang pemimpin membunuh rakyatnya sendiri, orang tua menelantarkan anak kandungnya, anak membunuh orang tuanya dan lainnya. Pertumpahan darah nampaknya menjadi gerbang dari nafsu yang tak terelakkan. Ya, nafsu inilah lawan dari cinta Alifa. Makanya penyampai risalah agama kita pernah berpesan “apabila kau sudah tak mempunyai rasa malu (cinta) maka bertingkahlah sekehendakmu.”
Nampaknya aku harus sedikit menjelaskan beberapa hal tentang konsep cinta. Konsep yang beberapa puluh tahun silam pernah dikemukan Erich Fromm. Setidaknya aku dan kamu bisa kembali menambah pemahaman tentang cinta yang dulu pernah kita diskusikan—membangunkan kembali memori yang sempat menumpul. Erich Fromm menyatakan cinta harus memiliki ; Knowledge, Respect, Care dan Responsibility.
Pengetahuan (Knowledge). Kita harus mengetahui apa yang kita cintai. Hal ini sangat penting kepada siapa kita sedang jatuh cinta. Cinta kepada Tuhan sebagai wujud sembah, cinta pada sesama manusia untuk saling membangun relasi social, cinta pada alam untuk menjaga keseimbangan. Atau bahkan kepada lawan jenis. Bohong! Jika kita mencintai sesuatu namun tak mengenal apa yang dicinta. Barangkali itulah cinta semu.
Hormat (Pespect) menghormati apa yang kita cintai terkadang malah menyebabkan kita berada pada posisi overprotective. Hal ini terjadi karena mulai runtuhnya nilai kepercayaan. Dan juga memposisikan yang kita cintai untuk seideal mungkin dengan yang ada dalam konsepsi dan pikiran kita. Menghormati yang kita cintai adalah menghadirkan dia disebelah posisi kita. Kalau buruk-perbaiki, baik-berusaha menjadi lebih baik. Tidak saling mendahului atau membelakangi melainkan menjadikan partner untuk menuju kebaikan yang selanjutnya. Sedangkan dalam konteks menghormati Tuhan memposisikan-Nya sebagai detak jantung—dengan menghadirkan Tuhan dalam berperilaku dan berfikir.
Perhatian (Care). Perhatian adalah bentuk lain dari kepedulian dan mencintai. Meluangkan segenap apa yang kita miliki untuk memberi perhatian yang lebih terhadap apa yang kita cintai. Karena hakekat dari cinta adalah menjaga bukan merusak. Dan kerusakan yang ada di alam ini disebabkan oleh tangan jail manusia. Makanya perhatian dalam cinta memberi penghargaan dalam kehidupan, menjaga keseimbangan dan perkembangan apa yang dicintai—dan memposisikan yang dicintai sebagai bentuk lain dari dirinya.
Tanggung jawab (Responsibility). Mencintai harus menghidupkan tanggung jawab bukan perintah, dogma atau bahkan hal-hal yang menjauhkan diri hal yang membaikkan. Tanggung jawab ini menekankan diri pada posisi menghargai untuk bisa menerima segala ragam kemungkinan yang tak mampu kita duga kedepannya—inilah bentuk dari konsekuensi keputusan. Tanggung jawab sebagai proses penjagaan akan cinta dan kehidupan. Barangkali karena itulah kelak Tuhan mengumpulkan kita umat manusia di padang Mahsyar—untuk mempertanggung jawabkan kehidupan yang kita jalani.
Alifa. Aku tahu kamu sudah mulai bosan membaca surat ini. Aku mohon sedikit sabar membacanya. Namun jika kamu tidak kuat meneruskannya. Kamu bisa melipatnya dan membacanya kembali besok menjelang tidurmu.
Baiklah. Aku akan mempercepat dan menuntaskan apa yang aku pikirkkan yang kedua—kematian. Aku tak bermaksud mengajarimu tentang teori, ayat, pejelasan dan segala bentuk argumentasi lainnya mengenai kematian. Sebab semua itu bisa kamu dalami dari berbagai kitab, majalah, Koran maupun internet. Beberapa waktu lalu, Alifa. Waktu aku baru selesai shalat maghrib. Tiba-tiba tanpa aku rencanakan dalam pikiranku terlintas sebuah pertanyaan “jika aku mati saat ini apa yang ingin aku bawa dan aku tinggalkan?”
Alifa. Perlahan aku mulai merenungkan jawaban atas pertanyaan itu. Merenung atas segala hal yang sudah aku kerjakan sepanjang hidupku hidup selama ini—dosa, kebaikan, ketidakpedulian, ambisi, mimpi, egoisme, kaya-miskin, taqdir—juga cinta. Semua semacam slide gambar yang mengalir satu persatu hingga membuatku cukup gusar sampai mengeluarkan keringat dingin. Aku mengalami gugup yang luar biasa. Sebab pada saat itu aku berada dalam satu kesimpulan—bahwa aku belum siap mati. Meski aku tahu kematian itu merupakan otoritas Tuhan semesta alam.
Alam pikiranku seakan protes bahwa aku akan mengalami timbangan tak seimbang antara dosa dan pahala—tentunya aku akan menjadi penghuni hotel neraka. Barangkali aku terlalu liar berfikir sampai terjebak dalam kubangan khayalan yang tak berdasar. Padahal masalah neraka-surga tak bisa dijangkau oleh nalar. Namun, setidaknya aku masih memikirkan tentang kematianku—indah ataupun tragis.
Slide gambar yang berikutnya dihadirkan dalam ratapan mataku yang memejam—apa yang hendak aku tinggalkan. Ditengah usia labil dan kondisi yang masih berada dalam ketidakpastian. Nampaknya begitu suram aku memikirkan apa yang ingin aku tinggalkan. Harta? Mendengarkan hal ini barangkali beruk akan tertawa terpingkal-pingkal sambil menenteng perutnya yang geli. Sebab tak lain aku hanya seorang penggguran yang sibuk. Istri? Bujang nan pengangguran sepertiku ini masih belum siap menanggung beban besar rumah tangga—dramatisirnya bebanku sendiri tak tertanggungkan. Anak? Agh, jelas mustahil—kalau pun ada yang mau menjawab berarti mengalami penyakit suka menghayal stadium empat. Karya? Jika hal itu kumpulan tulisan nampaknya aku hanya mempunyai catatan yang berserakan dalam kamarku yang sempit. Rasanya tak sudi penerbit mencetaknya atau orang membuang muka untuk membacanya sebab disitu juga lokasi kecoak menyempurnakan nafsu birahi.
Dan yang masih aku punyai dan aku banggakan saat ini hanya mimpi yang tetap menyala terang dalam kepalaku. Meski untuk sebagian orang terlalu naïf. Harta, istri, anak dan karya semakin jauh untuk aku kejar. Namun aku tak penah merasa lelah untuk menyusulnya sampai aku benar-benar memeluknya erat. Bagitu erat. Ini hanya masalah momentum saja, Alifa. Yang tinggal menunggu ledakan waktu—dan sungguh aku tak mau menjadi seonggok daging yang melata dimuka tanpa hasil. Dan itu memang sesuatu yang tak menyenangkan, terasing, rugi, terkucil, tak membahagiakan—dan hanya pelengkap rotasi kehidupan.
Kali ini aku ingin membicarakan aku dan kamu Alifa—tentang kita berdua. Aku sangat kaget dan mematungkan diri saat ada pesan di ponselku. Dan tenyata itu darimu “sebaiknya, kita berjalan dengan hati masing-masing. Aku capek dengan hubungan ini..”. Begitu bunyi pesanmu.
Aku tak tahu alasanmu kenapa mengirim pesan itu padaku. Padahal saat itu tak ada pertengkaran, silang pendapat, perselingkuhan atau bahkan pertumpahan darah. Dengan gaya bahasamu yang terpatah-patah waktu aku telepon hanya kata “maaf” yang terus meluncur deras dari bibir manis; madumu. Seakan ada salah yang kamu perbuat. Dan akhirnya aku memberikan kesimpulan bahwa kamu tak nyaman dengan hubungan kita, Alifa. Aku menelponmu kurang dari 5 menit saja—frekuensi telepon tanpa kedirian atau membicarakan diri sendiri.
Aku tak pernah membantah apa yang menjadi keputusanmu malam itu. Meski aku sedang menyediakan kejutan kecil untukmu, Alifa—Kejutan kecil untuk merayakan hubungan kita. Dan segalanya lenyap bersama hembusan udara malam yang dingin. Tanpa perlu aku menanyakan ungkapanmu selama masih bersamaku—hati-hati, jangan ngebut, Love You, I Believe, Sayang, Honey, Nice Dream dan sudah pulang belum. Semua hanyalah gincu dan deret huruf yang mengalir tak tersadarkan disertai drama kebohongan. Marah, nampaknya bukan alasan yang mampu aku terima. Sebab cinta bukan hanya perjalanan hubungan yang berdetik, bermenit, berjam, berhari, berminggu, berbulan, bertahun dan selamanya. Melainkan pertemuan juga perpisahan—Dan kali ini kita memilih cinta perpisahan tanpa saling merusak membelakangi—Akhir ini Dengan Indah ; lagu Jikustik di album Perjalanan Panjang(2002)
Aku takkan pernah
Jadi sempurna
Ingin aku
Tetap seperti adanya
Jangan salahkanku
Jika diriku mengabaikanmu
Sebuah alasan
Yang sungguh sempurna
Tuk tinggalkanmu
Ketika selamanya pun harus berakhir
Akhirilah ini dengan indah
Kau harus relakan
Setiap kepingan waktu dan kenangan
Ketika pelukanku pun tak lagi bisa
Menenangkan hatimu yang sedih
Aku memilih tuk
Mengakhiri ini dengan indah
Engkau mencoba menahan isak
Tangis yang dalam
Dengan sisa-sisa
Ketegaran yang masih kau simpan
Pertemuan kita beberapa tahun lalu. Aku masih mengingatnya—meski aku mengelak untuk menghindari ledekan kerasmu. Kala itu kamu sedang memakai baju putih, rok hitam panjang, jilbab hitam. Menenteng jas almamater ditangan kanan dengan ragam asesoris yang menempel ditubuhmu. Aku mengantarkanmu ke kampus sekitar jam 05.30. Menelusuri jalan aspal yang masih lembut akibat siraman embun pagi tadi. Obrolan kita sungguh kaku dan ringkih—aku tak mengenalmu dan kamu tak mengenalku. Kita dikenalkan pihak ketiga. Sahabatmu dan orang terdekatku.
Sejak saat itu kita pun jarang bertemu—meski bertemu, terkesan perjalanan pagi itu seakan tak pernah terjadi. Aku dan kamu seakan tak lagi saling kenal. Kita sibuk dengan urusan pribadi masing-masing. Sampai akhirnya, kita pun bertemu kembali dengan keadaan yang tak biasa. Genjatan senjata sudah mulai. Cuek pun meredam. Bebek pun tertidur—Tak ada lagi cuek bebek. Kamu meledekmu—dan kita pacaran.
sayangkuketidaktahuan tak lain titik awal dan akhirmaka ijinkan aku mencintaimudengan segala ketidaktahuankumengakrabi sebagian waktumupada malam yang gelapdan melunasi kata yang sempat terucapkekasihku,gelisah hanyalah ritme dalam lagudan membutuhkan nada untuk hidupakhir lagu hanyalah pegulangan baitsedih dan gembira silih bergantiketidaktahuan dan lagudua hal yang saling mengisiawal dan akhirhanya kita yang bernyanyi
Anehnya, aku malah mengetahui nama lengkapmu setelah kita pacaran. Kadek Alifa. Alifa karena kamu anak pertama. Seperti awal huruf Hijaiyyah. Sedangkan Kadek kamu tak mau menjelaskannya. Padahal kamu bukan keturunan Bali. “sudah, panggila aku Alifa. Seperti yang ada dalam facebook.” Itulah pesanmu. Aku ngiyem sampai akhirnya aku mengetahuinya dari resep obat yang kamu bawa saat kita makan bersama—dan aku baru sadar bahwa kamu sedang dalam keadaan sakit, Alifa.
Alifa. Barangkali bagimu aku bukan orang yang romantis. Seseorang yang memberikanmu bunga dan cokelat saat bertemu—bahkan acara makan pertama bersama itu pun harus berantakan hanya karena aku teledor tak bisa membagi waktuku—selain itu aku juga terlalu kaku bagimu. Barangkali itu terlalu sepele untukku tapi besar untukmu. Namun, tahukah kamu Alifa. Aku mengagumi puisimu. Puisi dalam kertas putih yang kamu tunjukkan dan yang sering kamu kirimkan padaku. Sebenarnya kamu mempunyai jiwa sastra yang kuat, Alifa. Hanya saja kamu lebih suka menulis sesuatu yang malah membuatmu semakin mendalami luka dalam hatimu. Sastra tidak melulu bicara soal luka namun juga kabahagiaan dan impian—aku juga masih menyimpan puisimu.
seperti langitberdiri menepis bumitempat menari para pelangitempat tertawa sekawan bintang malamtempat berteduh matahari siangtempat bermimpi para awan yang berarakluas, pula sempittinggi, pula rendahnamun, sangat indahsungguh menawanku lihat dari balik tirai keangkuhan jagadku intip dibawah kelambu kehidupanku tengok dari balik-biliksemestasejenak mari kita bertanya,pada hati yang bekupada jiwa yang semakin luruhbertasbih bersama melantunnyaayat-ayat Tuhanlirihsepoi menguningjasad leburkan kealfaan diriberbalut waktu yang beningdan Tuhan memiliki cara-Nya
Alifa. Sebenarnya kamu tak membutuhkan seorang supporter. Sebab yang kamu butuhkan adalah audien yang mampu mendengar dengan baik apa saja yang menjadi keluh ataupun gagasan yang hendak dikemukakan. Makanya, tiap kali kita mengalami perbincangan kuat dan sedikit senstif aku berupaya semaksimal mungkin tak begitu banyak berpendapat. Cukup mendengarkannya saja. Itulah yang barangkali suatu ketika kamu mengirimkan pesan ke ponselku “thanks for your love, your support and all..”.Alifa. Aku hanya seorang supporter yang hanya mampu berteriak dan bernyanyi memberikan dukungan—meski hanya diluar lapangan. Itu sudah cukup untukku.
Kadek Alifa. Hal yang tak pernah kita pikirkan akan selalu hadir dalam kepala. Berfikir bukan hanya memutuskan melainkan memahami. Cukup besarkan volume hati. Berfikir selangkah lebih maju kedepan. Waktu tak pernah mundur. Sedikit pun!. Kita adalah hakim atas kehidupan kita sendiri. Tak ada pemain lain selain kita sendiri. Karenanya, tiap kehidupan yang ada di dunia ini mempunyai prosesnya masing-masing. Hanya kesabaran yang bisa kita butuhkan untuk menunggu momentum yang akan hadir. Dan terkadang keputusan lebih menyakitkan dari kegagalan tapi hal itu tak perlu disesali sebab itulah ritme kehidupan disaat kita harus memilih. Aku dan kamu tak lebih hanya—supporter dan audiens.
Terima kasih kamu telah bersedia membaca suratku ini. Semoga kebagiaan selalu mengirimu, Alifa. Amien..
—Untuk Janan, Septi dan Husnu—
Hidup kadang tak menyenangkan dan menggelisahkan
tapi itu tak bisa kita pungkiri. Masalah hanya bentuk lain
ujian kenaikan kebaikan yang selanjutnya.
bergembira dan tertawalah ; tapi kamu suka kan..!
2 comments:
cak, responsbiliti tidak hanya dilihat dari sebuah tanggung jawab moral maupun etika atas sebuah cinta sebagai tujuannya akan tetapi dari kepekaan insan dalam pencariannya menuju Cinta. Kepekaan yang dibatasi oleh pengetahuan maupun dogma yang selama ini hadir ada sehingga melahirkan nafsu yang membuat cinta menjadi dinamis dan untuk menghantarkan insan mendapatkan pengetahuan atas Cinta terhadap sesama maupun terhadap Tuhan sang pemberi cinta.
aku hanya mencoba memaknai apa yang disampai Erich Fromm boi. Barangkali jika semua manusia bisa melihat dan sadar akan tanggung jawab nampaknya tidak akan ada peng[salah]an akan pemaknaan dan implementasi cinta.cinta tak harus memiliki hanya untuk mereka yang kalah. sebab cinta selalu berada kepemilikan.
Kangen diskusi denganmu boi, kapan ke jogja lah. ngangkring depan PDM.he
Posting Komentar