Surat Cinta

Barangkali, waktu masih SD tidak sedikit dari kita akrab dengan menulis surat. Entah, surat kepada guru, orang tua dan teman. Isinya memang macam-macam, tapi rata-rata tentang ungkapan rasa cinta--terhadap sesorang yang ditaksir. Dan mungkin, jika kita membacanya kembali saat ini. Semacam ada tindakan bodoh yang melayang dalam pikiran kita. Betapa konyolnya surat kita waktu itu. Sebab, kita akan membandingkan dengan kehidupan kita saat ini yang serba teks virtual. Meski, sebenarnya peradaban teks virtual kian menjauhkan diri dari perasaan (cinta) akibat hal yang serba instan. Tapi, realitas itulah yang harus kita hadapi sebagai bagian perjalanan hidup.

Secara pribadi, beberapa waktu lalu. Saat saya menerbitkan buku Menggugat Tuan Presiden, yang merupakan kumpulan surat mahasiswa saya terhadap Presiden Jokowi. Awalnya, tidak sedikit yang memandang remeh dengan berkata: buat apa surat diterbitin buku paling nanti juga tidak akan dibaca oleh Jokowi, tidak ada untungnya cetak surat, tidak ada nilai akademiknya dari buku kumpulan surat dan lainnya. Tapi, semua itu saya kesampingkan dan menganggap itu hanya bagian kritik untuk menjadi lebih produktif menulis. Dan tetap mendorong diri untuk bisa berkontribusi dalam kehidupan berbangsa. Hasilnya mungkin bisa sedikit terlihat: saat sebagian kita sibuk berceloteh soal Presiden media sosial. Para penulis buku itu selangkah lebih maju dengan menulis surat cinta terhadap Tuan Presiden. Dimana hampir tiap pembuka suratnya selalu didahului: Bapak presiden yang saya hormati, saya sayangi, saya banggakan dan sederet pujian cinta lainnya. Pada saat itulah, saya semakin menyadari bahwa menulis itu bukan sekadar untuk mendapatkan uang, royalti dan mungkin untuk point untuk jenjang pangkat akademik.

Kita mungkin bisa belajar pada Joe DiMaggio yang menulis surat istrinya Marilyn Mondroe jelang perceraiaannya. Yang kini malah laku ratusan juta rupiah. Dengan kata kata lain DiMaggio mewariskan kenangan hidupnya dan materi yang berharga terhadap kerurunannya. Ya! Budaya menulis perlu diusahakan sekalipun dengan cara terkecil: kepada istri, anak, saudara dan teman. Dan bisa dimulai semampu yang kita bisa--sebatas rasa cinta dan kesadaran yang kita miliki untuk berbuat (menulis).

... Mungkin hidup tanpa tulisan. Adalah kehilangannyan yang sudah direncanakan.


0 comments: