Barangkali, bukan menjadi kabar
yang mengenakkan. Saat secara tiba-tiba seorang Ustadz Felix Siauw yang begitu
terkenal dikalangan anak muda. Berkicau di media sosial Twitter yang ia
gunakan—bahwa foto selfie itu berdosa hukumnya. Sebagai jamaah media
sosial—lebih-lebih pengguna Instagram. Tentu saja, hal ini seperti petir
disiang bolong. Mungkin saja, mereka yang suka manyun saat berfoto pakai
tongsis akan berfoto setengah badan versi KTP. Mereka foodis makin dingin makan
makanan yang sedang difoto. Mereka yang traveler memilih liburan di rumah saja.
Alasan Ustad Felix Siauw dalam tweetnya—selfie mengakibatkan orang bersifat takabur (membanggakan diri atau sombong),
riya’ (pamer) dan sedikitnya ujub. Setuju atau tidak, tentu saja
akan menempel dikepala. Sebab, yang menyampaikannya adalah seorang pendakwah.
Selfie sendiri sebagai bentuk
fenomina masyarakat atas perkembangan teknologi informasi seakan sebuah
keniscayaan. Bagaimana pun motif yang melatar belakanginya. Kepanjangan Selfie
(Self potraid) artinya mengambil foto
diri menggunakan kamera tanpa bantuan orang lain. Menurut kamus Oxford seperti
dilansir BBC bahwa selfie merupakan aktivitas diri sendiri dengan menggunakan
kamera, kemudian diunggah ke media jejaring sosial. Artinya, selfie bisa juga
dipahami sebagai kegiatan memotret diri sendiri atau bentuk narsisme. Sebuah
pengambilan foto sendiri melalui smartphone
yang diungkah ke media jejaring sosial. Dimana kata selfie muncul pertama kali
pada tahun 2002. Selfie sebagai budaya yang sedang tren mampu menyihir nyaris
berbagai kalangan. Tak terkecuali mereka yang mengganggap dirinya sebagai
aktivis gerakan. Maka, tak ayal James Franco menyebut bahwa kini lebih kita
lebih akrab dengan media elektronik dan mudah menafsirkan media sosial.
Sehingga, SMS yang selama ini menjadi media yang banyak diminati untuk
berkomunikasi dipandang belum mewakili perasaan. Namun, selfie mampu
memperjelas sekejab banyak mata sebagai alat komunikasi—sebagai bentuk budaya
egosentris.
Selfie sebagai rangkaian yang tak
terpisahkan dari smartphone, memberikan
banyak ragam kemungkinan orang untuk menjajal beragam fitur dan tren
yang marak. Bahkan tidak jarang dari kita tanpa menggunakan gaya
selfie—menggunakan cara berfoto biasa bersama rekan, keluarga, tokoh atau moment
penting diposting ke media jejaring sosial yang pasti akan dilihat oleh banyak
orang. Tanpa memperdulikan apakah awalnya untuk tujuan pamer, sombong dan
berbagai motif yang tentu saja tidak bisa diketahui sesama pengguna media
jejaring sosial. Barangkali, inilah yang dilupakan oleh Felix Siauw—bahwa foto
yang diunggah tidak selamanya berbentuk gaya selfie dan selalu berlatar
belakang sombong atau pamer. Jika kemudian alat ukur yang dipakainya adalah
niat. Maka, segala bentuk foto yang diposting ke media sosial tidak bisa
diidentifikasi secara real dengan menilai: itu sombong atau pamer. Artinya, niat
itu abstrak, hanya si pengguna media sosial (termasuk yang foto selfie) serta
Tuhan-nyalah yang tahu.
Fenomena abstrak seperti niat
selfie, tentu tidak bisa dilihat dari perspektif fikih yang kaku. Sebab dengan
demikian akan menyebabkan produk ijtihad fikihnya terjebak pada produk fikih receh.
Yang menyebabkan kita akan sulit menembus faktor pemicunya, seperti nomophobia.
Yakni sebuah jenis fobia baru, dimana seseorang merasakan gelisah, cemas dan
gundah secara berlebihan saat ia jauh atau kehilangan smartphone/gadgetnya. Istilah
nomophobia sendiri merupakan singkatan dari no-mobile-phone-phobia. Semacam ada
sebuah ketergantungan yang luar biasa—dimana seseorang seakan tidak bisa hidup
tanpa ada smartphone/gadget yang menemaninya. Tentu saja, ketergantungan ini
menyebabkan hubungan personal dikehidupan nyata dan lingkungan diganti berganti
dengan kehidupan virtual yang serba autis. Lebih parahnya lagi, cara berdoa
yang selama ini merupakan dimensi sakral personal seorang hamba Tuhan, tidak
sedikit dilakukan via media jejaring sosial dan smartphone/gadget. Maka, yang
harusnya kita lakukan bukan dengan cara menghakimi dampak yang ditimbulkan,
melainkan menyelesaikan faktor pemicu dari dampak tersebut. Sehingga seperti satu hentakan nafas dengan
cara Ibrahim yang menghancurkan berhala adalah dengan mencari faktor pemicunya.
Dimana ketergantungan dan kepasrahan baru terhadap Tuhan yang harus enyahkan.
Inilah tantangan yang harus kita
hadapi bersama sebagai hamba Tuhan yang sama-sama belajar untuk lebih shalih. Begitu
pula dengan Felix Siauw yang tidak terlalu gegabah menghakimi sesama pengguna
media jejaring sosial dan tukang selfie. Setidaknya, ia bisa merefleksikan diri
ketika ia menjadi juri ajang foto Selfie beberapa tahun yang lalu. Dan
hakikatnya kehidupan keberagamaan dan ragam fenominanya merupakan proses yang
senantiasa terus berjalan hingga akhir khayat.
0 comments:
Posting Komentar