Surat untuk Romo Franz Magnis Suseno




Romo Magnis yang saya hormati,

Barangkali, seperti dalam bait pertama “Surat Franz Magnis untuk Prabowo” yang beberapa waktu lalu, sudah banyak tersebar diberbagai media. Saya juga memohon maaf atas perbedaan pandangan dan pilihan—yang barangkali tidak sama dengan pilihan Romo Magnis. Romo punya pilihan dan pandangan begitu pulang dengan saya: dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
 “... Kok sekarang Prabowo sepertinya menjadi tumpuan Islam garis keras..”.
Rasanya, saya juga agak tergelitik dengan yang ditulis Romo Magnis dalam surat untuk Probowo tersebut diatas. Sambil menukil maksud ucapan perang Badar Amien Rais—terkait pertarungan Prabowo-Jokowi dalam Pilpres 2014 ini. Menurut saya, nampaknya hal tersebut amatlah berlebihan—karena relasi konteks keduanya berada dalam ruang terpisah. Maksud ucapan Amien Rais terkait hal tersebut, tidak bisa kita mengambilnya secara “sepotong-sepotong”. Sehingga memperunyam keresahan kita sama umat beragama. Saya rasa, Romo cukup bijak dalam konteks apa Amien Rais mengucapkan hal tesebut—apakah dalam bentuk maksud menerangkan sebagai analogi—ataukah arena permulaan perang. Dan terlebih selama ini Amien Rais juga sosok yang dikenal moderat.

Kekerasan atas nama apapun—termasuk atas nama agama jelas tidak bisa dibenarkan. Tak hanya oleh mereka yang beragama Islam, tapi juga pada agama lainnya. Bahkan termasuk atas masa simpatisan pendukung Capres seperti yang terjadi di Yogyakarta beberapa minggu lalu—ataukah bentuk fandalisme terhadap kantor salah satu media nasional di kota yang sama beberapa hari lalu. Kekerasan tetaplah kekerasan: baik itu kekerasan fisik maupun psikis (rasa takut atau teror). Tapi, meletakkan kekerasan kolektif pada satu orang—hal itu, nampaknya begitu berlebihan, Romo. Lebih-lebih pada Prabowo yang dianggap akan menjadi tumpuan Islam garis keras. 

Dalam barisan pendukung Prabowo sebagai Capres 2014. Tidak cukupkah seorang sosok Mahfud MD, Said Aqil Siraj—ataukah Amien Rais itu sendiri sebagai sosok moderat yang mampu: memberikan ruang kesejukan antar—atau intra umat beragama. Sebab, dukungan menjadi seorang penguasa negeri ini, tidaklah cukup hanya dilakukan oleh segelintir orang atau satu golongan saja. Barangkali, itulah pilihan kelompok garis keras menentukan pilihan hak politiknya, tanpa perlu kita larang dan memaksannya. Toh, apa yang dimaksud Romo itu hanya sekadar kekhawatiran yang belum terjadi—dan mudah-mudahan jangan sampai terjadi. Serta seakan memberikan kesan: bahwa Romo memberatkan timbangan proporsional kalau seorang Jokowi—kini, dan seandainya terpilih mampu mengendalikan kelompok garis keras—atau bahkan menihilkan kekerasan itu sendiri. Ah! Masa iya, Romo.
“Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Dilaporkan ada masjid-masjid dimana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul... Mengapa? Saya bertanya: kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time, bukan akan tiba saat saatnya dmana ia haris kembali hutan itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?”
Romo Magnis yang saya hormati, 

Isu soal agama memang cukup rentan terjadi di negeri—seperti yang selama ini Romo ketahui. Persoalan kecil akan menjadi besar, hanya karena perbedaan pemahaman yang tidak selesai dalam ruang dialog. Sialnya, terkait masalah sensititas agama kini seakan semakin meruncing jelang pemilu, yang bisa jadi disalah artikan. Sekalipun maksud dan tujuannya baik. Ya! Fanatisme pilihan inilah yang menyebabkan kita gampang saling menuduh dan sulit menerima perbedaan. Romo juga harus memberi kepercayaan terhadap umat Islam yang dianggap garis keras oleh Romo. Maka, kalau pun Romo tidak berkenan memberi kepercayaan, cukuplah berikan kepercayaan dan umat Islam yang moderat—yang jauh besar jumlahnya. Kasus saling haram tak hanya dan dikhotbahkan tidak saja melanda Jokowi, Romo. Tapi, juga melanda Prabowo. Ia bahkan dihukumi persoalan HAM yang melekat pada dirinya—jauh melebihi pengadilan yang sesungguhnya—pengadilan sosial. 

Maaf, Romo. Saya benar-benar tidak percaya golongan garis keras yang Romo bilang itu akan terbukti bisa membelenggu Prabowo. Alasannya, karena aliran ini hanya terlalu dibesar-besar saja jumlahnya. Seakan negara ini menjadi negara rimba—yang tak ada perlindungan dan penegak hukum sebagai relasi sebab-akibat. Bahwa jika dengan terpilihnya Prabowo, negeri ini akan menjadi negara rimba—atas kelompok garis keras tersebut. Atau dengan terpilihnya Jokowi bentuk kekerasan akan selesai dengan cara blusukan—yang nyatanya, setiap persoalan tidak bisa diselesaikan dengan cara blusukan: seperti yang pernah dulu Romo kemukakan. Saling sandera kepentingan dalam politik, memang bukan hal lumrah. Lebih-lebih dalam dunia politik yang serba pragmatis. Siapapun yang terpilih nantinya, baik Prabowo ataupun Jokowi juga akan tersandera dengan keputusan politiknya sendiri—kalaupun harus tersandera. Mudah-mudahan tidak ada saling sandera, selain sandera kepentingan rakyat. 

Romo Magnis yang baik, 

Selama ini, saya selalu memandang Romo sebagai orang bijak yang bisa saling memahami dan mengerti soal perbedaan—tak terkecuali, perbedaan pandangan dan pilihan politik. Mari kita hormati siapapun dan golongan dengan pilihannya sendiri. Tanpa kita perlu saling memprovokasi dan memaksa pindah pilihan. Dan mungkin itulah fitrah pesta demokrasi yang telah kita pilih: siap menerima perbedaan...

.. dan Maaf Romo. Nampaknya kegelisahan Romo tersebut, tidak perlu dirisaukan secara berlebihan. 

Selamat memasuki hari tenang, tanpa Kampanye Pilpres 2014

0 comments: