(Tak Sekadar) Huznuzzhan



“Mas Makrus. Saya besok selasa pulang lo. Mana neh tulisan buat saya..”

Itu SMS yang saya terima dari Huznuzzhan tadi malam (13/4/2014 : 20.17). Padahal, saat itu saya sedang mengerjakan dealine tulisan untuk project buku yang sedang saya, Amin dan Halim kerjakan. Project buku ini juga sudah molor dua bulan dari yang sudah direncanakan penerbitannya: kami menyebut project buku kami ini sebagai—“project perpisahan”. Alasan pemilihan “project perpisahan” karena kami punya dua alasan. Pertama, kami akan meninggalkan Jogja, selain Amin yang asli Jogja. Kota yang selama ini kami anggap sebagai tempat memahat gagasan dan persabatan. Sekalipun, saya hengkang duluan ke Purwokerto karena tugas mengajar—menyusul dua orang sahabat kami: Mirza dan Aie yang pulang kampung. Kedua, kami merasa masih punya “beban moril” terhadap IMM AR. Fakhruddin yang banyak berperan besar terhadap pembentukan karakter kami. Buku yang sedang kami susun ini merupakan komitmen kami, untuk menyelesaikan amanah konsepsi “Gen Pemikiran” yang sempat kami diskusikan sengit kelahirannya di tahun 2007. Kami sendiri tidak tahu: apakah nantinya apa yang kami perbuat ini, bisa memberi jawaban atau tidak. Apalagi, hal itu sudah berlalu 8 tahun, bahkan salah satu hasil keputusan Musycab setahun silam telah memvonis Gen Pemikiran sebagai “gagasan using”, yang tidak relevan. Hem!

Kembali ke Huznuzzhan.. Saya mengenalnya waktu masih menjabab Ketua BEM Fakultas. Husnu-lah yang telah berhasil menyabet “Peserta Terbaik” Mataf Fakultas tahun 2008. Siapa yang menyangka, sosok perempuan yang ceplas-ceplos gaya bicaranya itu mampu memikat Panitia Mataf yang dijuri aliran Seksi Keislaman lembaga kampus yang buka waralaba di Fakultas. Bahkan kejadian itu pun berlanjut pada saat ia mengikuti perkaderan DAD Komisariat FAI di Sedayu. Namanya masuk daftar para Instruktur yang harus dikontrol ulahnya agar tidak mempengaruhi peserta lain untuk “memberontak”. Dia juga menjadi salah satu daftar nama yang disebut mantan Ketua Komisariat FAI—Ahmad Nasik sebagai kader trouble maker yang harus diwaspadi. Sebab, anggapan kader trouble maker merupakan sosok kader yang tak bisa diatur, suka protes dan tak bisa dintervensi: tidak terkecuali oleh para senior. Dalam benak saya waktu itu: apakah ini perempuan Sumbawa yang sesungguhnya? Entahlah!

Waktu pun berlalu. Saya pun sering mengamati Husnu yang kemudian akrab dengan empat orang, yang biasa selalu saya dapati berkerumun di loby Fakultas: Husnu, Septi, Ardela dan Aya. Sekalipun satu diantara mereka ada yang bukan kader IMM, tapi nampaknya mereka cukup akrab. Hingga pada hari yang nampaknya membingungkan: Husnu, Septi dan Jenal, mengikuti prosesi perkaderan LID. Yang beberapa hari pasca pelaksanaan LID, nama mereka masuk radar Instruktur yang dianggap “begini-begitu”, akibat pengelolaanya hanya diisi materi salah seorang senior di Instruktur dari awal hingga akhir. Polemik itulah, yang mengantarkan mereka bertiga lebih intens bertemu dengan saya. Sebab, bisa dibilang saya Instruktur (atas) yang masih bisa sering bertatap muka dengan mereka. Bahkan ketiganya seringkali bermain dan menginap di kontrakan saya.  

Acapkali, bila ada yang menayakan tentang mereka bertiga (Husnu, Jenal dan Septi) sebagai kader intilan saya. Saya selalu menjawab “kita belajar bersama. Tak ada senoritas. Kita semua sama. Yang beda hanya angkatan dan usia saja”. Saya pun ikut mendorong mereka mengikuti perkaderan Madya, kala pimpinan cabang dan teman sebayanya di Komisariat enggan ikut perkaderan Madya. Tak hanya itu, saya juga mendorong mereka untuk mengikuti perkaderan Instruktur Madya, meski harus berdebat sengit salah satu Instruktur Daerah—karena persyaratan mereka yang tak lengkap. Tapi, nampaknya takdir telah memilih “jalan” mereka untuk selalu berkader, apalagi bisa dibilang saya Instruktur terakhir di Komisariat yang sampai Madya, disamping Mas Sobar—yang kian sibuk. Saya harus menunggu 3 tahun, baru ada regenerasi Instruktur. Dan yang paling Istimewa Husnu-lah, perempuan pertama yang menjabat Ketua Korps Intruktur IMM DIY dari IMM AR. Fakhruddin. Ia juga telah mengikuti DAP, meski harus meninggalkan Jenal dan Septi yang punya kesibukan yang lain. Dialah Husnu, sosok yang dianggap kader trouble maker, telah merusak tatanan kejumudan seorang kader Perempuan.

Husnu, 

Entahlah, dari mana saya harus memulai menulis tulisan seperti yang kamu minta itu?. Mengapa kamu tidak meminta benda atau barang-barang untuk kenang-kenangan, yang biasa diminta sebagian besar orang sebagai kado perpisahan. Ah! Kamu selalu punya mainstream sendiri, yang kadang tidak bisa dimengerti oleh sebagian orang. Tidak heran kamu sering dianggap aneh, dan kadang tidak dianggap bukan siapa-siapa. Apalagi, sikap “cuek” khas Sumbawa-mu itu, kadang membuat orang meringis untuk segera protes. Kalau hanya sekadar tulisan, saya penah menulis untuk kamu dan Gang SoSis-mu itu beberapa tahun yang lalu, atau mungkin celoteh tentang perasaan saya memahami psikologi Septi. Terima kasih, kamu telah ikut urunan bersama Jenal, Septi dan Rila untuk sekadar memberi hadiah untuk ulang tahun saya yang ke-25. ;))

Barangkali, apa yang sudah saya sampaikan diatas itu, tidak selalu tentang Husnu—tapi, kita semuanya. Saya hanya melempar batu kerikil untuk sejenak membangunkan alam pikiran kita yang sempat lupa, atas kenangan yang telah berlalu. Tidak perlu kita saling mengingat: masa dimana kita semua saling berproses bersama. Bukankah, kita tidak pernah memikirkan “menjadi apa” atas apa yang kita lakukan. Sebab, semua yang telah kita lalui: kita sudah mengganggapnya sebagai bagian proses alamiah—senatural kehidupan kita waktu lahir. Kerena kamu meminta saya, menulis tulisan untuk ucapan perpisahan. Jadi saya agak menulisnya jauh lebih panjang, ketimbang tulisan saya biasanya. Ini saya lakukan karena kamu agak “kurang suka” membaca. Barangkali, dengan ini kamu menjadi lebih rajin membaca, disamping kegemaranmu mendengar.

Husnu...

Ada hal menarik bagi saya. Waktu kamu mengirimkan tulisan yang saya todong agar kamu ikut terlibat dalam penulisan buku “Tak Sekadar Merah” MIM Indigenous School setahun lalu. Bentuk tulisanmu cenderung lebih alami dan jujur. Seakan waktu menulis: kamu sedang menumpahkan semua isi dalam tempurung kepala dan isi hatimu. Tulisanmu jauh lebih tertata, ketimbang pada saat kamu berbicara. Bakat terpendammu sebagai penulis hanya perlu diasah, agar nantinya terbiasa menuangkan gagasan. Husnu pun juga sudah tahu, bahwa ada banyak orang hebat dan berpengaruh, tapi tidak bisa menulis. Lambat laun kehebatan dan pengaruhnya pun pudar bersama lenyapnya usia. 

Baiklah. Saya akan mengutip tulisanmu lebih banyak, dari tata karma penulisan biasanya: jauh lebih banyak, supaya mereka yang membaca ini, dapat memahami isi dan nyawa tulisanmu. Seperti yang sering saya bilang baik dan buruk sebuah tulisan seseorang pada akhirnya menemukan pembacanya sendiri. Percayalah..
Realita yang terjadi, begitu banyak mahasiswa (calon kader) yang mendaftar dan mengikuti proses perkaderan yang ada di IMM. Setiap tahunnya IMM mengkader calon kader dengan jumlah yang sangat fantastis. Namun, tak banyak juga yang hingga akhir berdiri dan berani memegang tampuk kepemimpinan selanjutnya, bahkan kurang antusias dalam mengikuti proses perkaderan pada tahap selanjutnya. Mereka hanya puas pada tahap DAD dan Pimpinan Komisariat. Jumlah yang begitu membeludak saat DAD, tapi tidak saat level selanjutnya. Pada level ini hampir bisa dihitung jari yang antusias ikut serta.
Apa yang terjadi dalam proses perkaderan ini? Apa yang salah dalam proses perkaderan ini? Bahkan hingga detik ini segala macam formulasi dilakukan dalam proses perkaderan yang ada. Namun, mungkin memang belum ada yang tepat dan cocok. Proses perkaderan yang ada selama ini ada, ternyata belum mampu membuat kader-kader IMM bisa berjuang pada tahapan-tahapan lebih tinggi.
Nyaris tidak ada kader yang tidak gelisah melihat realitas perkaderan IMM saat ini. Entah mereka yang masih loyal ataukah mereka yang sudah kabur dengan mencibir. Berkader di IMM—atau di gerakan mahasiswa manapun saat ini: ibarat terus mencintai seseorang yang telah menolak perasaan cinta yang kita miliki. Mengapa ditolak? Bukankah IMM hanyalah benda mati yang tidak pernah hidup tanpa pengikut. Cinta akan tetap menyala selama masih ada kader yang tetap loyal terhadapnya.

Seperti yang Husnu bilang, “tak banyak juga yang hingga akhir berdiri dan berani memegang tampuk kepemimpinan selanjutnya. Bahkan kurang antusias dalam mengikuti proses perkaderan pada tahap selanjutnya”. Itulah, salah satu sebab mengapa negeri ini seakan kering mencari pemimpin. Sebab, yang produk yang ada, hanya bisa berproses secara instans, dan acapkali mempertimbangkan untung rugi. Pembangunan karakter seakan menjadi prioritas yang kesekian, demi sebuah harapan diri yang jauh lebih mementingkan kepentingan sendiri. Tahap kronik inilah, kita akan selalu berhadapan dengan—realitas budaya kepentingan pribadi menjadi hal utama.
Saat awal bergabung dalam korps instruktur, sempat terbersik dalam benak diri ini, ternyata seperti inilah kerjaan para instruktur yang saat-saat luang dan saat kumpul mereka dimaanfaatkan untuk mengupgrade keilmuan masing-masing. Selain itu, Konsep yang ditawarkan saat DAD (sesuai SOP dan SPI). Dan sikap independen yang harus dimiliki setiap instruktur saat mengelolah DAD agar tidak berpihak pada calon kader, atau bahkan komisariat manapun yang melaksanakan DAD. Namun ternyata hal itu tidak begitu baik disambut oleh kader lain yang tidak terlibat dalam Korps instruktur… 
… Ternyata memang benar apa yang dikatakan beberapa kader terdahulu yang tergabung dalam Korps Instruktur. “menjadi instruktur itu harus siap di benci oleh kader baru dan juga bahkan komisariat”. Sebagai Instruktur memang harus kuat mental, kuat intelektual, kuat iman dan kuat daya tangkap (peka terhadap lingkungan/kader). Itulah yang harus dimiliki oleh setiap instruktur. Maka sejak awal bergabung dalam Korps Instruktur banyak hal lain yang saya temui dalam proses perkaderan, dibandingkan menjadi kader yang berada diluar Korps. Dan sejak itu tak ada keinginan lain dalam benak saya dan bahkan membuat saya semakin tak pernah berfikir tentang posisi atau jabatan lagi. Posisi tidak pernah menjadi prioritas bagi saya dalam berorganisasi, bahkan saat tawaran itu datang. Tawaran saat harus menjabat di Pimpinan Komisariat, tawaran setelah demisioner dari Pimpinan Korkom, tawaran harus menjadi partner dalam memimpin dan menjalankan Korps Instruktur, dan tawaran harus memimpin Korps instruktur ditingkat selanjutnya. Posisi itu tak pernah saya inginkan dan dambakan sebelumnya, saya masih merasa tak layak atas posisi yang ditawarkan, namun saya hanya berusaha menjalani dengan baik apa yang diberikan, hanya itu yang saya lakukan selama ini. Hingga detik ini, saya masih merasa tak pantas atas semua posisi itu. Dan bahkan mungkin bisa dibilang saya bukan siapa-siapa bagi orang lain. Tapi saya hanya tak ingin mengecewakan siapapun itu, dan saya hanya berusaha menjalankan apa yang diberikan dan apa yang dipercayakan kepada saya.
Menjadi seorang Instruktur memang menuntut kita berpacu diri lebih dari kader biasanya. Instukrtur selalu dituntut serba tahu dan serba tanggap dalam situasi apapun. Maka, menjadi Instruktur acapkali saya analogikan dengan Muadzin. Seorang Muadzin (Instruktur) hanya bertugas memanggil dan menyeru untuk menunaikan kewajiban (kebaikan). Persoalan jamaah akan hadir berproses kewajiban shalat (berkader) itu akan kembali pada diri sendiri—tidak terkecuali, pada seberapa khusyuk shalat (lama proses) dan pahala yang peroleh dikemudian hari (output berkader). Semua itu hanya dirasakan para jamah itu sendiri. Seorang Mudzin dianggap bagus, kala suaranya merdu saat beradzan (bagus proses perkaderannya). Begitulah, seorang Muadzin akan digunjing, bila ia bersuara fals dan salah membaca adzan (buruk atau baik perkaderan)—tidak sesuai dengan harapan jamaah (kader atau Pimpinan). Padahal tanpa disadari bahwa harusnya para jamaah yang harus tahu diri, tak perlu mencela dan mengunjing seorang Muadzin. Sebab, seorang Muadzin tak bergaji. Ia hanya seorang penyeru bukan pemutus. Karena yang akan memimpin jalannya shalat bukan Muadzin, tapi imam (Pimpinan). Kadang diantara kita tidak cukup sadar dimana posisi kita—sebagi Mudzin, jamaah ataukah imam.

Barangkali, apa yang kamu gelisahkan ini: juga dialami tiap Instruktur IMM yang ada dibelahan negeri ini. Tidak perlu minder dengan “kepercayaan” yang telah orang amanahkan. Lakukan semua itu—sebagai proses alami, yang sama-sama kita yakini. Karena siapa yang mengira bahwa apa yang kamu lakukan dengan Jenal dan Septi: mampu menjadi magnet bagi kader lain untuk terlibat dalam barisan yang pernah kalian tata. Sebab, nyatanya kalian mampu menjadi “virus” bertambahnya 5 orang Instruktur di tingkat daerah—sesuatu yang tidak bisa saya kerjakan sebelumnya. Hingga saya pun terasa cuku sangsi: apakah masih ada orang bisa menggantikan kalian hingga tingkat daerah, ditengah keadaan budaya yang lebih mementingkan diri sendiri seperti ini. Entahlah. Mungkin ini hanya asumsi Dzu’udzan belaka.

Dalam dunia yang penuh serba keterkejutan seperti ini, kadang apa yang kita kerjakan dan pernah kita tak pikirkan, pada akhirnya seperti memberi jawaban tanpa direncanakan. Barangkali, harusnya apa yang kita upayakan dan kita usahakan selama ini. Tak perlu memikirkan apa yang menjadi hasiluntuk segera dinikmati. Kita hanya akan memetik buah apa yang kita tanam, menikmati manfaat dari cucuran keringat yang dikeluarkan. Atau lebih tepatnya: kita nikmati saja proses kehidupan yang kita jalani dengan bahagia dan membahagiatan. Untuk hal ini, saya punya video menarik tentang memberi dan mengingatkan, yang diujung klipnya ada tulisan "giving is the best communication". 

Husnu,

Saat kamu sudah menentukan pilihan untuk pulang ke kampung halaman. Saat-saat dimana kamu meninggalkan para sahabat karibmu di Jogja. Pamitilah mereka baik-baik. Berilah mereka pesan bahwa: persahabatan yang baik adalah persahabatan yang tidak lagi mengenal batas jarak dan usia.  Ajaklah mereka saling  membangun kepercayaan untuk saling mendoakan. Berilah lambaian tangan yang paling tinggi agar tetap saling mengingat. Kelak kamu akan tahu bahwa: ada yang hilang dalam jiwamu tanpa kebersamaan bersama mereka.

Barangkali, kamu, saya-atau kita. Masih memiliki luka atau rasa kesal terhadap Pimpinan di "Rahim Perjuangan". Lebih-lebih, yang paling membuat saya terasa berat adalah ketika kamu bersama Jenal dan Septi dipersalahkan  dalam sidang besar tahun 2010. Segala hal yang terjadi dalam sidang itu, hanya bisa saya ketahui melalui dering handphone di Pantai Bunaken. Keberadaan kalian yang disangsikan dan bahkan dianggap tak diinginkan keberadaannya, hanya proses perkaderan kalian yang cukup cepat, sehingga menentunan keputusan yang cepat pula. Tapi, lihatlah sekarang, siapa dan apa yang telah diperbuat dan membuktikan segalanya. Mereka yang menghardik kalian, hanya bisa diam terpaku, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mari kita saling berjabat tangan dan saling memaafkan. Ini hanya soal waktuHusnu. Itu saja..

Bagi  saya, dimanapun dan apapun saya kini dan kelak, saya tetaplah IMMawati dari PK IMM FAI UMY, PC IMM AR. Fakhruddin Yogyakarta yang merupakan rumah dan tempat kelahiran saya sebagai kader IMM. Berjuang bersama dalam suka maupun duka. Dukungan yang membuat saya “tersesat dijalan yang benar” itulah yang hingga saat ini tak pernah hilang dalam pikiran. Yang membuat saya merasa berguna. Dukungan itulah yang telah sukses membuat saya berada disini hingga saat ini.
Salut! Tulisan dibagian terakhir Husnu dibuku "Tak Sekadar Merah". Dan saya kutip dibagian terakhir tulisan saya ini begitu bermakna sangat dalam. Hingga kapanpun kita akan menjadi kader Rahim Perjuangan. Barangkali, itulah yang saya sebutbahwa berkader adalah proses seumur hidup. Kita hanya perlu memupuk ungkapanmu itu, menjadi sebuah "virus" yang nantinya bisa juga dipahami dan dimaknai oleh semua kader.

Saya juga tidak mau mengakhiri tulisan ini, agar jalinan silaturrahim kita senantiasa tetap terjalin. Sehingga, perjalanan yang kita jalani ini hanya proses awal untuk saling mengingat dan mendoakan. Selamat pulang kampung Husnu, maaf saya tidak bisa mengantarmu sampai terminal untuk saling berjabat tangan, melambaikan tangan dan meneteskan air mata..

... Semoga kita tetap bisa berkarya dan bermafaat dimana pun kita berada. Sekali lagi, jangan saling lupa dan saling mendoakan. ;))

Link (gambar)

0 comments: