Maudy






Namaku maudy, usiaku 4 tahun dan berat badanku 40 kilogram. Tentu saja aku sangat gemuk sekali. Kadang-kadang aku sulit untuk bernafas, karena kelebihan beratku. Tapi, ada yang lebih memberatkanku. Sudah dua bulan ini, aku sudah tidak punya: Mama. 

Ya! sekarang aku hanya tingggal sama Ayah, Kakak dan Kakek-Nenekku. Aku tidak punya Mama—bukan karena ia meninggal. Kata—Ayah, Mama sudah pergi dengan pacar barunya. Ia memillih Om yang sering ditemui Mama, waktu aku masih sering diajak jalan-jalan.  

“Om ini baik lho, Dy” kata Mama tiap kali Om dengan perut buncit mencubit pipi bakpaoku.
Aku tidak tahu, seperti apa kehidupan orang tua itu. Sebab yang aku pahami: anak kecil sepertiku, jika ia nakal pasti mendapat hukuman. Dan orang tua yang nakal, jarang merasa bersalah—apalagi menghukum dirinya sendiri. “Nakal” sulit aku pahami dan tidak bisa aku mengerti.

“Mamamu itu Nakal, Dy” kata Ayah tiap kali menjelang tidur. Ayah lebih sering menceritakan tentang keburukan Mamaku—perempuan yang telah melahirkanku. Istri Ayah yang dulu ia kagumi. Begitu pula dengan Nenek yang juga mengatakan hal senada dengan apa yang dikatakan Ayah.

Kataku—senakal apapun seseorang, ia masih punya hak untuk memperbaiki diri sendiri. Toh, bukan usia yang menentukan tingkat kontrol sifat nakal seseorang. Juga bukan orang lain yang menentukan orang nakal itu harus berhenti.

Kataku—senakal apapun Mamaku yang pergi dengan Om perut buncit. Ia tetap Mamaku. Mama yang selalu memberiku coklat satu jam sebelum tidur. Mama yang sering membawaku jalan-jalan. Aku percaya kenakalan Mamaku hanya sementara. Tidak akan bertahan lama, sekalipun sekarang rambutnya sudah dicat pirang. Mama mungkin hanya ingin menemukan suasana baru: ditengah seringnya Ayah menampar pipi Mamaku. 

Kataku—aku, tetaplah Maudy yang selalu menangis saat tubuh gempalku terjatuh. Maudy yang menangis saat permen lolipopku jatuh menggulung debu: dan aku mengambilnya, untuk aku cuci dan ku emot kembali. Dari itu semua, aku ingin membasuh kotor “nakal” Mamaku, agar tidak ada lagi orang yang mencibirnya sebagai orang nakal: tukang selingkuh.

Yang aku mau, Mama bisa pulang ke rumah. Dan Ayah tidak lagi sering menampar pipinya. Aku ingin keluargaku utuh. Tidak ada yang saling menyalahkan satu sama lain. Barangkali, dengan itu: kedua orang tuaku bisa akur dan bersatu. Kalau Mama masih menyangiku, ia pasti pulang. 

Ini hanya pikiran lamunku—tak perlu dianggap seriuss. Sebab, aku hanya anak kecil 4 tahun dengan berat 40 kilogram: yang berharap Mamanya pulang..

Link (gambar)

0 comments: