Maaf


Kemarin, waktu saya mendapati Siena sedang menangis tersedu-sedu saya menghampirinya. Mencoba mendekatinya dengan pola ala anak kecil. Sebab biasanya anak kecil begitu sulit didekati orang lain saat ia dalam keadaan kesal yang memuncak.

"Seina kenapa nangis?" sapa saya sok akrab

"Huuaaa.." jawabnya tanpa aba-aba. Ia makin kencang menangisnya. Saya pun kembali berdialog dengan cara yang lebih kekanakan

"Ayo cerita sama Om, Seina kenapa nangis" tanya saya kembali

"Maudy nakal! Maudy mukul Seina.." jawab Seina dengan keadaan kesal..Perlahan ia pun menceritakan  kenakalan Maudy dengan gaya bahasanya yang cadel dan kadang-kadang saya pun terasa sulit memahaminya. 

"Seina pukul balik aja sekarang Maudy. Tuh, orangnya lagi di depan teras" usul saya tanpa dosa. Maklum saja postur badan Maudy yang rada subur. Barangkali postur besarnya menciutkan Seina untuk melawan balik pada saat Maudy mulai menakalinya. Maudy teman bemainnya disekitar tempat kami tinggal; Maudy anak tetangga

"Enggak kok Om. Siena udah maafin.." Jawab Seina yang malah mengagetkan saya. Sentak saya pun tercengang mendengar jawaban keponakan pertama saya ini. Ia pun menghampiri Maudy untuk kembali bermain. Meninggalkan saya yang geleng-geleng kepala. Seina pun lupa dengan tangisan dan mengapa ia menangis. Ia mau bermain!

Kadang-kadang kita sebagai orang dewasa terasa cukup benar dalam menyelesaikan konflik anak kecil. Barangkali, karena asumsi pengalaman hidup dan julangan usia. Tapi tidak dengan anak kecil. Mereka mampu menyelesaikan konflik yang mereka alami secara alami. Tanpa ribut-ribut yang lama. Setidaknya, alasan mereka hanya karena pertemanan. Sebeberapa besar masalah yang ditimbulkan diantara pertemanan akan segera diselesaikan dengan pola sederhana; dianggap sudah selesai dan segera bermain. Meski tidak semua masalah mereka selesaikan secara sendiri dan tuntas. 

Cara dialog ala anak kecil yang tidak terlalu kaku dengan aturan menyebabkan mereka begitu gampang menyelesaikan masalah. Cepat meredam luapan emosi yang sebelumnya timbul. Tidak terlalu pusing dengan anggapan orang sekitat. Dan lihai membangun pertemanan kembali. Akhinya, apakah karena inilah orang tua lanjut usia dianggap sebagai manusia yang kembali menjadi anak-anak; ingin diperhatikan dan menyelesaikan konflik masalah secara bijak. Entahlah!

Barangkali, Seina hanya anak ingusan bagj saya. Tapi cara dia menyelesaikan masalahnya sendiri cukup membuat saya banyak berfikir. Tidak semua masalah kekerasan dapat di selesaikan dengan cara kekerasan. Dan ini merupakan cerita kedua kalinnya dengan keponakan pertama saya ini.

Om, salut cara kamu menyelesaikan masalah!


0 comments: